Bagaimanakah Kriteria Fakir dan Miskin yang Berhak Menerima Zakat?
Fakir dan miskin adalah dua kata yang berasal dari lafadz Arab. Apabila dua kata itu disebutkan salah satunya dalam satu kalimat, sudah mewakili keduanya. Namun apabila disebutkan secara bersamaan dalam satu kalimat, masing-masing memiliki makna tersendiri.
Baik fakir dan miskin sama-sama bermakna kekurangan, tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Namun fakir lebih parah kekurangannya dibandingkan miskin.
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan:
الفقير من لا مال له ولا حرفة تقع منه موقعا، زَمِنا كان أو غير زَمِن، والمسكين من كال له مال أو حرفة ولا يغنيه، سائلا أو غير سائل. فالمسكين عنده أحسن حالا من الفقير
Fakir adalah orang yang tidak memiliki harta dan tidak memiliki pekerjaan. Baik ia cacat ataupun tidak. Sedangkan miskin adalah yang memiliki harta atau pekerjaan namun belum mencukupi (kebutuhan)nya. Baik ia adalah peminta-minta ataupun bukan peminta-minya. Miskin keadaannya lebih baik dari fakir. (Tafsir al-Baghowiy (4/62))
Di dalam al-Quran, nelayan yang memiliki perahu sebagai alat transportasi mencari penghasilan ada yang masih masuk kategori miskin. Sebagaimana dalam kisah Nabi Musa dan Khidhr alaihimassalam:
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ
Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di lautan… (Q.S al-Kahfi ayat 79)
Artinya, meski ia punya perahu, tapi penghasilannya belum sepenuhnya mencukupi kebutuhan hidupnya secara normal. Sehingga ia masuk kategori miskin.
Sebagian Ulama menjelaskan bahwa fakir tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya meski separuhnya. Sedangkan miskin bisa memenuhi kebutuhan hidupnya lebih dari separuh, tapi belum mencukupi seluruh kebutuhannya. Ulama yang berpendapat demikian di antaranya Syaikh Abdurrahman as-Sa’diy dan Syaikh Ibnu Utsaimin.
Dalam tafsir as-Sa’diy terhadap ayat ke-60 surah atTaubah dinyatakan:
ففسر الفقير بأنه الذي لا يجد شيئا، أو يجد بعض كفايته دون نصفها. والمسكين: الذي يجد نصفها فأكثر، ولا يجد تمام كفايته، لأنه لو وجدها لكان غنيا
Fakir ditafsirkan sebagai orang yang mendapatkan sesuatu atau sebagian dari kebutuhan hidupnya namun di bawah setengahnya. Sedangkan miskin adalah yang bisa mendapatkan (penghasilan untuk) lebih dari setengah kebutuhannya, namun tidak sampai terpenuhi semua. Karena kalau ia bisa memenuhi seluruh kebutuhannya, niscaya ia terhitung kaya. (Tafsir as-Sa’diy (1/341))
Berdasarkan penjelasan Syaikh as-Sa’diy tersebut berarti dari sisi kemampuan ekonomi, secara fiqh tiap orang dibagi menjadi 3, yaitu: fakir, miskin, dan ghoniy (kaya/mampu). Ghoniy tidak berhak menerima zakat. Justru zakat (maal) diberikan dari ghoniy kepada fakir dan miskin.
Sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi kepada Muadz bin Jabal:
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
Beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah mewajibkan kepada mereka zakat pada harta mereka, diambil dari orang-orang kaya mereka dan diserahkan kepada orang-orang fakir mereka. (H.R al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits itu hanya disebut fakir sebagai sasaran penerima. Namun, miskin juga masuk di dalamnya. Karena kata fakir dan miskin apabila salah satu dari kata itu disebut dalam suatu kalimat, sudah mewakili dan mencakup dua-duanya.
Artikel menarik lainnya:
Bolehkah Memberikan Zakat Kepada Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)?
Syaikh Ibn Utsaimin menjelaskan bahwa patokan kemampuan ekonomi seseorang adalah berdasarkan penghasilannya dalam setahun (hijriyah). Untuk memudahkan penghitungan bisa dirunut penghasilan per bulannya. Kemudian standar berapa kebutuhan hidupnya yang layak untuk suatu daerah di suatu waktu dikembalikan kepada ‘urf (kebiasaan setempat) (disarikan dari asy-Syarhul Mumti’ (6/220)).
Sebagai contoh, apabila dalam sebulan kebutuhan hidup normal seseorang di suatu daerah adalah 2 juta rupiah, miskin memiliki penghasilan yang setidaknya mencapai lebih dari 1 juta rupiah tapi kurang dari 2 juta rupiah. Misalkan jika penghasilan bulanannya adalah 1,7 juta padahal kebutuhan hidupnya per bulan 2 juta rupiah, maka ia terhitung miskin. Sedangkan fakir penghasilannya tidak sampai 1 juta rupiah. Bisa jadi ia memang tidak punya penghasilan sama sekali.
Di Indonesia, Biro Pusat Statistik sebagai lembaga resmi pemerintah merilis Survei Biaya Hidup (SBH) setiap 5 tahun sekali. Pada SBH yang dirilis pada tahun 2012, Kab Probolinggo biaya hidupnya adalah Rp. 3.295.045,- per bulan dengan rata-rata jumlah anggota keluarga sebanyak 4 orang.
Acuan lain yang mungkin bisa dijadikan rujukan adalah penetapan Upah Minimum Kabupaten (UMK) berdasarkan SK Gubernur. Misalkan, pada UMK Kab Probolinggo untuk tahun 2021 adalah Rp. 2.553.265,95 atau sekitar 2,5 juta rupiah per bulan. Jika ini dijadikan acuan, apabila seseorang memiliki penghasilan 2,5 juta per bulan atau (2,5 x 12 bulan) = 30 juta rupiah setahun, ia terhitung mampu (ghoniy) dan tidak layak menerima zakat. Jika penghasilan per tahun dia tidak sampai 15 juta rupiah, ia terhitung fakir. Apabila penghasilan per tahun dia lebih dari 15 juta namun kurang dari 30 juta rupiah, ia terhitung miskin.
Tentunya SBH dan UMK berbeda-beda tiap Kabupaten/Kota. Di waktu yang berbeda, nilai SBH dan UMK pada suatu Kab/Kota akan berbeda pula.
Fakir dan miskin berhak mendapatkan zakat maal maupun zakat fithr.
Dalam daftar penerima zakat maal, fakir dan miskin adalah termasuk penerima:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat (maal) itu hanyalah diberikan kepada fakir, miskin, amil zakat, orang yang dilunakkan hatinya, hamba sahaya (untuk dimerdekakan), orang yang terlilit utang, (jihad) di jalan Allah, Ibnus Sabil (musafir yang kehabisan bekal atau dana, pent). Hal itu adalah kewajiban dari Allah, dan Allah adalah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S atTaubah ayat 60)
Zakat fithr adalah makanan pokok yang penerimanya hanyalah fakir dan miskin saja:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
Dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam mewajibkan zakat fithr sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari (ucapan/perbuatan) sia-sia dan ucapan kotor, serta pemberian makanan untuk orang-orang miskin. (H.R Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Namun, khusus untuk zakat fithr, kriteria mampu standarnya lebih rendah. Seorang yang memiliki kelebihan makan sehari semalam sebelum Iedul Fithr adalah terhitung mampu. Sehingga ia harus membayar zakat fithr.
مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ. فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا يُغْنِيهِ؟ أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبْعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ
Barangsiapa yang meminta-minta sedangkan ia memiliki sesuatu yang mencukupinya, maka (pada hakikatnya) ia sedang memperbanyak api neraka. Para Sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, apakah yang mencukupinya (kadar kecukupan)? Rasul bersabda: Ia memiliki sesuatu yang mengenyangkannya sehari semalam atau semalam dan sehari. (H.R Abu Dawud dan al-Baihaqy)
Karena itu, bisa jadi seseorang masih wajib mengeluarkan zakat fithr untuk diri dan keluarganya meskipun dia miskin, kalau ia memiliki kelebihan makanan untuk diri dan keluarganya dalam sehari semalam. Namun, apabila penghasilannya setahun masih kurang dari UMK, ia masuk kategori miskin dan berhak menerima zakat fithr juga. Ia tergolong miskin karena secara urf belum mampu mencukupi kebutuhan dasar diri dan keluarganya.
Apabila di tanggal 29 Ramadhan ia menerima beras yang cukup banyak sebagai zakat fithr dari orang lain. Setelah ia terima, beras itu berhak ia tanak menjadi nasi untuk makan keluarganya, atau boleh juga ia jual, atau boleh juga ia berikan kepada orang miskin lain sebagai pembayaran zakat fithr jika ia terhitung wajib mengeluarkan zakat fithr.
Wallaahu A’lam
Oleh: Abu Utsman Kharisman