Keharusan Membayar Kaffaroh Bagi yang Berhubungan Badan di Siang Hari Ramadhan
KAJIAN KITABUS SHIYAAM MIN BULUGHIL MARAM (Bag ke-16)
Hadits no 676
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: – جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. قَالَ: “وَمَا أَهْلَكَكَ؟” قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى اِمْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ، فَقَالَ: “هَلْ تَجِدُ مَا تَعْتِقُ رَقَبَةً؟” قَالَ: لَا. قَالَ: “فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟” قَالَ: لَا. قَالَ: “فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟” قَالَ: لَا, ثُمَّ جَلَسَ, فَأُتِي اَلنَّبِيُّ -صلى الله عليه وسلم- بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ. فَقَالَ: “تَصَدَّقْ بِهَذَا”, فَقَالَ: أَعَلَى أَفْقَرَ مِنَّا؟ فَمَا بَيْنَ لَابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيْهِ مِنَّا, فَضَحِكَ اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَالَ: “اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
رَوَاهُ اَلسَّبْعَةُ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ
Dan dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Seorang laki-laki datang menemui Nabi shollallahu alaihi wasallam kemudian ia berkata: Aku telah binasa wahai Rasulullah. Nabi bertanya: Apa yang membinasakanmu? Ia berkata: Aku telah berhubungan badan dengan istriku pada bulan Ramadhan. Nabi bersabda: Apakah engkau bisa mendapatkan sesuatu untuk memerdekakan hamba sahaya? Ia berkata: Tidak. Nabi bertanya: Apakah engkau bisa berpuasa dua bulan berturut-turut? Ia berkata: Tidak. Nabi bertanya: Apakah engkau bisa memberi makan 60 orang miskin? Ia berkata: Tidak. Kemudian ia duduk. Nabi shollallahu alaihi wasallam kemudian mendapatkan sekeranjang kurma. Beliau bersabda: Bersedekahlah dengan ini. Orang itu berkata: Apakah ada orang yang lebih fakir dariku? Tidaklah ada penghuni rumah yang berada di antara dua batas (bebatuan hitam Madinah) ini lebih membutuhkan (fakir) dibandingkan kami. Nabi shollallahu alaihi wasallam tertawa hingga nampak gigi taring beliau. Kemudian beliau bersabda: Pergilah, berikan makan keluargamu dengan ini.
(Hadits riwayat Imam yang Tujuh. Lafadz sesuai riwayat Muslim)
Penjelasan:
Hadits ini menunjukkan larangan berhubungan badan (jimak) di siang hari Ramadhan bagi seorang yang mukim (tidak safar) dan tidak memiliki udzur seperti sakit. Jika seorang melakukan hubungan badan di siang hari Ramadhan secara sengaja, puasanya tidak hanya batal, namun ia juga berdosa dan harus membayar kaffaroh.
Kaffarohnya bertingkat sesuai kemampuan. Tahapan pertama ia harus memerdekakan hamba sahaya. Jika tidak mampu atau tidak bisa mendapatkannya, ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut sesuai perhitungan bulan Hijriyah. Jika ia tidak mampu, harus memberi makan 60 orang miskin.
Dalam hadits yang lain riwayat Abu Dawud, Nabi memberikan kurma sebanyak 15 sho’ kepada orang itu dan menyuruhnya untuk memberi makan keluarganya dengan kurma itu, mengganti di hari lain, dan memohon ampun kepada Allah:
فَأُتِيَ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ قَدْرُ خَمْسَةَ عَشَرَ صَاعًا وَقَالَ فِيهِ كُلْهُ أَنْتَ وَأَهْلُ بَيْتِكَ وَصُمْ يَوْمًا وَاسْتَغْفِرْ اللَّهَ
Dan didatangkan kepada beliau sekeranjang kurma seukuran 15 sho’ dan Nabi bersabda: Makanlah ini dan beri makan keluargamu, berpuasalah sehari (sebagai gantinya), dan mohonlah ampunan kepada Allah. (H.R Abu Dawud, dishahihkan Syaikh al-Albaniy)
Berdasarkan riwayat Abu Dawud tersebut berarti kadar pemberian untuk orang miskin sebagai kaffaroh jimak di siang hari Ramadhan adalah 15 sho’ dibagi 60 orang, yaitu 0,25 sho’ atau 1 mud atau sekitar 0,75 kg makanan pokok mentah per orang miskin.
baca juga:
Bolehnya Mencium Istri Saat Berpuasa Bagi yang Mampu Menjaga Syahwatnya
Bagaimana dengan sang wanita (istri)? Apakah juga harus membayar kaffaroh?
Apabila ia dalam kondisi dipaksa, maka ia tidak harus membayar kaffaroh berdasarkan kesepakatan Ulama. Ia hanya harus mengganti di hari lain. Namun apabila sang wanita juga melakukannya dengan suka rela, ada perbedaan pendapat Ulama terhadap kewajiban kaffaroh bagi wanita itu. Al-Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat harus membayar kaffaroh. Al-Imam asy-Syafi’i memiliki dua pendapat dalam hal itu. Al-Imam Ahmad juga memiliki dua riwayat pendapatnya, namun yang lebih jelas dari beliau adalah keharusan membayar kaffaroh juga bagi sang istri (disarikan dari kitab Ikhtilaf Aimmatil Ulamaa’ karya Ibnu Hubairoh (1/237)).
Hadits di atas memiliki banyak sekali kandungan faidah (pelajaran berharga). Ibnu Hajar al-Asqolaaniy rahimahullah menyatakan:
وَقَدِ اعْتَنَى بِهِ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ مِمَّنْ أَدْرَكَهُ شُيُوخُنَا فَتَكَلَّمَ عَلَيْهِ فِي مُجَلَّدَيْنِ جَمَعَ فِيهِمَا أَلْفَ فَائِدَةٍ وَفَائِدَةً
Sebagian (Ulama) mutaakhhirin yang pernah dijumpai guru kami ada yang membahas hadits itu dalam 2 jilid kitab, terkumpulkan padanya 1001 (seribu satu) faidah (Fathul Baari (4/173)).
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah menyebutkan 45 faidah dalam kitab Fathu Dzil Jalaali wal Ikraam. Dianjurkan sebagai bahan penelaahan bagi yang mampu untuk mengkaji dan merujuknya.
Oleh: Abu Utsman Kharisman