Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

KAJIAN KITABUS SHIYAAM MIN BULUGHIL MARAM (Bag ke-14)

Hadits no 672

وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا; – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ عَامَ اَلْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ, فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ, فَصَامَ النَّاسُ, ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ, حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ, ثُمَّ شَرِبَ, فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ: إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ. قَالَ: “أُولَئِكَ الْعُصَاةُ, أُولَئِكَ الْعُصَاةُ” – وَفِي لَفْظٍ: – فَقِيلَ لَهُ: إِنَّ النَّاسَ قَدْ شَقَّ عَلَيْهِمُ الصِّيَامُ, وَإِنَّمَا يَنْظُرُونَ فِيمَا فَعَلْتَ، فَدَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ بَعْدَ الْعَصْرِ، فَشَرِبَ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dan dari Jabir bin Abdillah –semoga Allah meridhainya- bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam keluar pada tahun Fathu Makkah menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau berpuasa hingga sampai di Kuraa’ al-Ghamiim. Orang-orang pun berpuasa. Kemudian Nabi meminta diambilkan segelas air dan gelas itu beliau angkat hingga bisa dilihat orang-orang. Kemudian beliau minum. Dikatakan setelah itu: Sebagian orang masih berpuasa. Nabi bersabda: Mereka adalah orang-orang yang bermaksiat…mereka adalah orang-orang yang bermaksiat.

Dalam lafadz (yang lain dinyatakan): Ada yang berkata kepada beliau: Sesungguhnya orang-orang merasakan kesulitan saat berpuasa. Mereka ingin melihat apa yang akan anda lakukan. Nabi pun meminta diambilkan segelas air setelah Ashar. Kemudian beliau meminumnya.

(Hadits riwayat Muslim)

Hadits no 673

وَعَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيِّ رِضَى اللَّهُ عَنْهُ; أَنَّهُ قَالَ: – يَا رَسُولَ اَللَّهِ! أَجِدُ بِي قُوَّةً عَلَى الصِّيَامِ فِي اَلسَّفَرِ, فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ؟ فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – ” هِيَ رُخْصَةٌ مِنَ اللَّهِ, فَمَنْ أَخَذَ بِهَا فَحَسَنٌ, وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُومَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ ” – رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dan dari Hamzah bin ‘Amr al-Aslamiy –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Wahai Rasulullah, aku kuat untuk berpuasa saat safar. Apakah ada dosa bagiku (jika tetap berpuasa)? Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Itu adalah keringanan dari Allah. Barang siapa yang mengambil keringanan itu, itu adalah baik. Barang siapa yang suka untuk tetap berpuasa, tidak mengapa.

(Hadits riwayat Muslim)

Penjelasan:

Hadits Jabir menceritakan kejadian saat Nabi safar bersama para Sahabat di bulan Ramadhan. Beliau dan para Sahabat itu berpuasa hingga sampai di daerah yang disebut Kuraa’ al-Ghomiim. Al-Fayyuumiy menjelaskan bahwa daerah itu berjarak sekitar 170 mil atau sekitar 255 km dari Madinah. Di daerah tersebut Nabi mendapat pengaduan bahwa banyak dari para Sahabat beliau yang kepayahan dan merasa berat untuk berpuasa. Mereka menunggu dan ingin melihat langsung apa yang akan dilakukan oleh Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Maka Nabi pun minta diambilkan gelas berisi air dan mengangkat gelas itu agar dilihat orang-orang, kemudian Nabi meminumnya membatalkan puasa. Tujuannya agar diikuti oleh yang lain. Hal itu menunjukkan bolehnya membatalkan puasa bagi musafir. Nabi membatalkan puasa itu saat setelah masuk waktu Ashar.

Namun ternyata ada sebagian orang yang tetap berpuasa. Padahal Nabi sudah memerintahkan secara perbuatan agar mereka membatalkan puasa dalam kondisi safar itu. Sehingga Nabi menyatakan: “mereka adalah orang-orang yang bermaksiat”. Menurut Ibnu Hibban Nabi menyatakan demikian karena orang-orang itu tidak menjalankan perintah beliau untuk membatalkan puasa, bukan karena menilai bahwa berpuasa saat safar adalah kemaksiatan.

Syaikh Sholih al-Fauzan menjelaskan bahwa mereka dinilai bermaksiat karena menyelisihi sunnah Nabi. Karena orang yang meninggalkan keringanan (rukhshoh) padahal ia (sangat) butuh kepada keringanan itu terhitung bermaksiat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ

Sesungguhnya Allah suka jika keringanan-keringanan-Nya diambil sebagaimana Dia benci kemaksiatan dilakukan. (H.R Ahmad)


Baca juga:

Pendapat Sahabat Nabi Ibnu Abbas Tentang Jarak Minimum Safar

Niat Jamak Baru Muncul Setelah Shalat Pertama

Keharusan Berniat di Waktu Malam untuk Puasa Wajib


Berapakah jarak minimal sehingga perjalanan seseorang terhitung safar?

Sahabat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar berpendapat bahwa jarak minimum safar adalah 4 barid atau 16 farsakh. Jika dikonversikan ke kilometer adalah sekitar 80 km menurut Syaikh Bin Baz. Pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar itu adalah pendapat dari 3 madzhab fiqh: Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad.

Sedangkan hadits Hamzah bin ‘Amr al-Aslamiy menjelaskan adanya pilihan bagi orang yang safar apakah berpuasa atau tidak berpuasa. Keduanya boleh dilakukan.

Apabila dalam kondisi safar yang tidak menimbulkan kesulitan dalam berpuasa, sebaiknya tetap berpuasa di bulan Ramadhan. Sebagaimana Nabi tetap memilih berpuasa, di saat mayoritas Sahabat lainnya tidak berpuasa.

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ – رضي الله عنه – قَالَ : (( خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِي شَهْرِ رَمَضَانَ . فِي حَرٍّ شَدِيدٍ , حَتَّى إنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ . وَمَا فِينَا صَائِمٌ إلاَّ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ )) .

Dari Abud Dardaa’ –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Kami keluar bersama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pada bulan Ramadhan. Pada saat panas menyengat. Hingga salah seorang dari kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena demikian panasnya. Tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dan Abdullah bin Rowaahah. (H.R al-Bukhari dan Muslim)

Tetap berpuasa di bulan Ramadhan juga lebih baik dibandingkan mengganti di luar Ramadhan karena itu bulan yang penuh keutamaan dan keberkahan. Hal itu juga lebih cepat dalam menggugurkan tanggungan kewajiban. Lebih banyak teman yang ikut berpuasa, dibandingkan jika dilakukan di luar bulan itu.

Saat safar bersama, sebagian Sahabat Nabi ada yang berpuasa dan sebagian lain tidak berpuasa. Masing-masing tidak ada yang mencela rekannya.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضي الله عنه – قَالَ : (( كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ . وَلا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ ))

Dari Anas bin Malik –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Kami pernah safar bersama Nabi shollallahu alaihi wasallam. Orang yang berpuasa (di antara kami) tidaklah mencela orang yang tidak berpuasa. Sedangkan orang yang tidak berpuasa juga tidak mencela orang yang berpuasa (dalam kondisi safar). (H.R al-Bukhari dan Muslim, dikutip dalam Umdatul Ahkam)

Sedangkan jika puasa itu di saat safar terasa menyulitkan dan memberatkan, dianjurkan dan lebih utama untuk tidak berpuasa. Sebagaimana hadits Jabir di atas. Demikian juga hadits:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رضي الله عنهما قَالَ : (( كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي سَفَرٍ . فَرَأَى زِحَاماً وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ , فَقَالَ : مَا هَذَا ؟ قَالُوا : صَائِمٌ . قَالَ : لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ ))

Dari Jabir bin Abdillah –semoga Allah meridhai keduanya- ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam berada dalam keadaan safar. Kemudian beliau melihat ada sekelompok orang berkerumun ada laki-laki yang (pingsan) dinaungi oleh orang lain. Nabi bertanya: Apa ini? Para Sahabat menyatakan: Ia berpuasa. Nabi bersabda: Bukanlah termasuk kebaikan, berpuasa dalam keadaan safar. (H.R al-Bukhari dan Muslim)

Syaikh Ahmad bin Yahya anNajmiy rahimahullah menyatakan: Jika kesulitan yang dirasakan oleh orang yang berpuasa saat safar sampai pada batasan mengkhawatirkan (membahayakan), maka haram baginya meneruskan puasa. Bahkan wajib baginya untuk berbuka (membatalkan puasa). (Ta’siisul Ahkaam (3/194))

Apabila saat safar seorang yang tidak berpuasa lebih energik dan lebih banyak manfaat yang dia berikan dengan keaktifan dia, hal itu akan mendulang pahala yang banyak.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضي الله عنه – قَالَ : (( كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فِي السَّفَرِ فَمِنَّا الصَّائِمُ , وَمِنَّا الْمُفْطِرُ قَالَ : فَنَزَلْنَا مَنْزِلاً فِي يَوْمٍ حَارٍّ , وَأَكْثَرُنَا ظِلاً : صَاحِبُ الْكِسَاءِ . وَمِنَّا مَنْ يَتَّقِي الشَّمْسَ بِيَدِهِ . قَالَ : فَسَقَطَ الصُّوَّامُ , وَقَامَ الْمُفْطِرُونَ فَضَرَبُوا الأَبْنِيَةَ . وَسَقَوْا الرِّكَابَ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – : ذَهَبَ الْمُفْطِرُونَ الْيَوْمَ بِالأَجْرِ ))

Dari Anas bin Malik –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Kami pernah bersama Nabi shollallahu alaihi wasallam dalam suatu safar. Di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa. Kemudian kami turun di suatu persinggahan pada cuaca yang panas terik. Orang yang paling banyak mendapat peneduhan adalah pemilik kain (yang bisa dipakai berteduh). Di antara kami ada yang menahan terpaan sinar matahari dengan tangannya. Orang-orang yang berpuasa pun berjatuhan (tidak mampu lagi banyak beraktifitas, pent). Maka bangkitlah orang-orang yang tidak berpuasa (aktif) membangun kemah, memberi minum hewan tunggangan (unta). Maka Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Pada hari ini orang-orang yang tidak berpuasa pergi (dengan membawa) pahala. (H.R al-Bukhari dan Muslim, dinukil dalam Umdatul Ahkam)

 

Oleh: Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan