Kam 12 Rabiul awal 1447AH 4-9-2025AD

Ibadah itu Adalah Puncak Kecintaan Diiringi Puncak Ketundukan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan:

وَالْعِبَادَة هِيَ الْغَايَة الَّتِي خلق الله لَهَا الْعباد من جِهَة أَمر الله ومحبته وَرضَاهُ كَمَا قَالَ تَعَالَى في الذاريات وَمَا خلقت الْجِنّ وَالْإِنْس إِلَّا ليعبدون وَبهَا أرسل الرُّسُل وَأنزل الْكتب وَهِي اسْم يجمع كَمَال الذل ونهايته وَكَمَال الْحبّ لله ونهايته فالحب الخلي عَن ذل والذل الخلي عَن حب لَا يكون عبَادَة وَإِنَّمَا الْعِبَادَة مَا يجمع كَمَال الْأَمريْنِ

Ibadah adalah tujuan Allah ciptakan para hamba dari sisi perintah, kecintaan, dan keridhaan Allah. Allah Ta’ala di dalam surah adz-Dzaariyaat:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنَ

Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah (hanya) kepada-Ku (Q.S adz-Dzaariyaat ayat 56)

Dengan itu diutuslah para Rasul dan diturunkan kitab-kitab. Ibadah itu adalah suatu kata yang mengumpulkan kesempurnaan dan puncak ketundukan dengan kesempurnaan dan puncak cinta kepada Allah. Kecintaan yang kosong dari ketundukan, dan ketundukan yang kosong dari cinta tidaklah menjadi ibadah. Hanyalah disebut ibadah jika berkumpul 2 perkara itu (cinta dan tunduk/merendahkan diri secara penuh, pen (Amroodhul Quluub wa Syifaa-uhaa 1/44)

الْعِبَادَة الْمَأْمُور بهَا تَتَضَمَّن معنى الذل وَمعنى الْحبّ فهى تَتَضَمَّن غَايَة الذل لله بغاية الْمحبَّة لَهُ

Ibadah yang diperintahkan adalah yang mengandung makna merendahkan diri (ketundukan) dan cinta. Sehingga ibadah itu mengandung puncak perendahan diri kepada Allah dengan puncak kecintaan kepada-Nya (al-Ubudiyyah karya Ibnu Taimiyyah 1/48)

وَمَنْ خَضَعَ لِإِنْسَانٍ مَعَ بُغْضِهِ لَهُ لَا يَكُونُ عَابِدًا لَهُ، وَلَوْ أَحَبَّ شَيْئًا وَلَمْ يَخْضَعْ لَهُ لَمْ يَكُنْ عَابِدًا لَهُ، كَمَا قَدْ يُحِبُّ وَلَدَهُ وَصَدِيقَهُ، وَلِهَذَا لَا يَكْفِي أَحَدُهُمَا فِي عِبَادَةِ اللَّهِ تَعَالَى، بَلْ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ أَحَبَّ إلَى الْعَبْدِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، وَأَنْ يَكُونَ اللَّهُ أَعْظَمَ عِنْدَهُ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ، بَلْ لَا يَسْتَحِقُّ الْمَحَبَّةَ وَالذُّلَّ التَّامَّ إلَّا اللَّهُ.

Barang siapa yang tunduk kepada seorang manusia namun diiringi perasaan benci kepadanya, tidaklah ia dinilai beribadah kepadanya. Meskipun ia cinta pada seseorang, tapi tidak tunduk kepadanya, tidaklah ternilai sebagai hamba baginya. Sebagaimana seseorang kadang mencintai anak dan temannya. Sehingga, tidaklah cukup salah satu unsur itu dalam beribadah kepada Allah ta’ala. Justru yang wajib adalah menjadikan Allah sebagai yang paling dicintai oleh seorang hamba dari segala sesuatu dan dia menjadikan Allah adalah yang paling agung baginya dibandingkan segala sesuatu. Bahkan, tidaklah layak untuk dicintai dan disikapi dengan ketundukan yang sempurna kecuali Allah (al-Fatawa al-Kubra karya Ibnu Taimiyyah 5/158).


Oleh: Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan