Bolehkah Seorang Wanita Muslimah Menikah Dengan Laki-Laki Non Muslim?
Saudaraku kaum muslimin…
Sesungguhnya ajaran agama Islam telah begitu jelas dan gamblang dipahami serta diterapkan sejak masa Sahabat Nabi shollallahu alaihi wasallam. Bimbingan alQuran dan Sunnah dengan pemahaman para Sahabat Nabi begitu terang benderang.
Namun, semakin berjarak waktu, sebagian pihak membuat samar hukum yang telah jelas. Seperti masalah apakah seorang wanita muslimah boleh menikah dengan laki-laki non muslim?
Sebenarnya, masalah itu sudah sangat jelas. Jelas terlarang dalam al-Quran, atsar hadits Nabi maupun Sahabat Nabi dan kesepakatan para Ulama (ijma’). Dulunya, sempat diperbolehkan seorang wanita muslimah menikah dengan laki-laki musyrik atau kafir, namun kemudian dilarang selamanya.
Insyaallah nantinya akan diuraikan dalil-dalil akan hal itu.
Baca Juga: Hukum Hubungan Perniagaan dengan Orang Kafir
Larangan dalam al-Quran
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّار
…dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (laki) dengan (wanita muslimah) hingga laki-laki itu beriman. Sungguh seorang hamba sahaya laki-laki beriman masih lebih baik dibandingkan orang musyrik (merdeka) meskipun laki-laki itu membuat kalian terpesona. Mereka akan mengajak kepada neraka…
(Q.S al-Baqoroh ayat 221)
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
…Jika kalian mengetahui bahwa mereka (para wanita itu) beriman, jangan kembalikan mereka pada orang-orang kafir. Para wanita (beriman) itu tidaklah halal bagi mereka dan mereka pun tidak halal bagi para wanita tersebut…
(Q.S al-Mumtahanah ayat 10)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa dulu masih diperbolehkan seorang wanita muslimah menikah dengan laki-laki musyrik. Sebagaimana putri Nabi yang bernama Zainab masih diperkenankan menikah dengan suaminya yang musyrik waktu itu yaitu Abul ‘Ash bin arRobi’. Namun kemudian dilarang dengan turunnya ayat itu.
Terkait pasangan Zainab putri Nabi dengan Abul ‘Ash bin arRobi’ itu, ada kisah menarik. Sebelum Rasul Muhammad shollallahu alaihi wasallam diutus sebagai Nabi, Zainab putri tertuanya tersebut telah menikah dengan Abul ‘Ash bin arRobi’. Saat ayahnya diutus menjadi Nabi, Zainab masuk Islam mengikuti seruan dakwah ayahnya. Berbeda dengan suaminya yang tetap musyrik. Zainab pun ikut berhijrah ke Madinah sedangkan suaminya tetap di Makkah.
Pada perang Badr di tahun ke-2 Hijriyah, Abul ‘Ash bin arRobi’ membela kaum musyrikin, hingga menjadi tawanan. Ketika Abul ‘Ash bin arRobi’ itu menjadi tawanan, Zainab merasa kasihan dan menawarkan untuk menebusnya dengan tebusan gelang milik ibunya, yaitu Khodijah. Nabi shollallahu alaihi wasallam sangat terkesan dengan gelang milik Khodijah itu dan mempersilakan kaum muslimin jika hendak melepaskan tawanannya. Singkat cerita, Abul ‘Ash pun dilepaskan dan kembali ke Makkah. Beberapa tahun kemudian Abul ‘Ash masuk Islam dan Nabi pun mengembalikan Zainab menjadi istrinya.
Baca Juga: Khotbah Jumat: Sikap yang Benar Terhadap Hari Raya Orang Kafir
Hadits Nabi dan Atsar Sahabat Nabi
Diriwayatkan dalam hadits Jabir radhiyallahu anhu secara marfu’:
نَتَزَوَّجُ نِسَاءَ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا يَتَزَوَّجُوْنَ نِسَاءَنَا
Kita (laki-laki muslim boleh) menikahi para wanita Ahli Kitab, namun mereka (para lelaki ahli kitab) tidak boleh menikahi para wanita kita
(H.R atThobariy dalam Tafsirnya dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir)
Dalam riwayat lain, Jabir radhiyallahu anhu menyatakan:
وَنِسَاؤُهُنَّ لَنَا حِلٌّ وَنِسَاؤُنَا حَرَامٌ عَلَيْهِمْ
Dan para wanita mereka (ahli kitab) halal bagi kita, sedangkan para wanita kita (kaum muslimat) haram bagi mereka (untuk menikahinya)
(riwayat asy-Syafii dalam al-Umm)
Diriwayatkan bahwa Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu menyatakan:
الْمُسْلِمُ يَتَزَوَّجُ النَّصْرَانِيَّةَ، وَلَا يَتَزَوَّجُ النَّصْرَانِيَّ الْمُسْلِمَةَ
Seorang laki-laki muslim boleh menikahi wanita Nasrani, namun seorang laki-laki Nasrani tidak boleh menikahi wanita muslimah
(riwayat atThobariy dalam Tafsirnya, dinyatakan sanadnya shahih oleh al-Imam Ibnu Katsir)
Ijma’ (Kesepakatan Ulama)
Ada banyak nukilan ijma’ (kesepakatan) Ulama akan haramnya wanita muslimah menikahi laki-laki kafir. Di antaranya adalah nukilan ijma’ yang disampaikan oleh al-Baghowiy, al-Qurthubiy, dan Ibnu Qudamah –semoga Allah merahmati beliau semua -.
al-Imam al-Baghowiy rahimahullah menyatakan:
هَذَا إِجْمَاعٌ: لَا يَجُوْزُ لِلْمُسْلِمَةِ أَنْ تَنْكِحَ الْمُشْرِكَ
Ini adalah ijma’ (kesepakatan Ulama) bahwasanya seorang wanita muslimah tidak boleh menikahi seorang (laki-laki) musyrik
(Tafsir al-Baghowiy)
Al-Imam al-Qurthubiy rahimahullah menyatakan:
وَأَجْمَعَتِ الْأُمَّةُ عَلَى أَنَّ الْمُشْرِكَ لَا يَطَأُ الْمُؤْمِنَةَ بِوَجْهٍ
Dan umat sepakat bahwasanya seorang laki-laki musyrik tidak boleh mengawini wanita beriman dengan cara apapun
(Tafsir al-Qurthubiy)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan:
وَالْإِجْمَاعُ الْمُنْعَقِدُ عَلَى تَحْرِيمِ تَزَوُّجِ الْمُسْلِمَاتِ عَلَى الْكُفَّارِ
Ijma’ yang telah tetap adalah haramnya wanita-wanita muslimah menikah dengan orang-orang kafir
(al-Mughniy (15/203))
Al-Imam asy-Syafii rahimahullah menyatakan:
فإذا أَسْلَمَتْ الْمَرْأَةُ أو وُلِدَتْ على الْإِسْلَامِ أو أَسْلَمَ أَحَدُ أَبَوَيْهَا وَهِيَ صَبِيَّةٌ لم تَبْلُغْ حَرُمَ على كل مُشْرِكٍ كِتَابِيٍّ وَوَثَنِيٍّ نِكَاحُهَا بِكُلِّ حَال
Jika seorang wanita masuk Islam atau terlahir dalam Islam, atau salah satu dari kedua orangtuanya masuk Islam saat ia kecil, belum dewasa, maka haram bagi setiap laki-laki yang musyrik baik ahli kitab ataupun penyembah berhala untuk menikahinya dalam kondisi apapun
(al-Umm (5/7))
Sebenarnya masih banyak nukilan ijma’ dari para Ulama lain. Namun dicukupkan kutipan penyebutannya sebagaimana di atas. Apabila telah jelas sebagai suatu ijma’ (kesepakatan) Ulama kaum muslimin terdahulu, maka tidak boleh lagi ada perbedaan pendapat yang menyelisihinya. Tidak ada perbedaan pendapat dari kalangan Sahabat Nabi maupun para Imam madzhab akan haramnya hal itu.
Baca Juga: Bertanya Kepada Para Ulama Serta Meninggalkan Pertikaian dan Perselisihan
Seseorang yang sengaja menyelisihi kesepakatan kaum muslimin (para Sahabat Nabi dan Ulama setelahnya), terhitung mengikuti selain jalan orang-orang beriman, terancam oleh Allah Ta’ala:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
dan barang siapa yang menyelisihi Rasul, setelah jelas baginya petunjuk, serta mengikuti selain jalan orang-orang beriman, Kami akan palingkan ia ke arah berpalingnya, dan Kami akan masukkan ia ke Jahannam. Dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali
(Q.S anNisaa’ ayat 115)
Penulis:
Abu Utsman Kharisman