Kebaikan Adalah Akhlak yang Mulia
SERIAL KAJIAN KITABUL JAMI’ MIN BULUGHIL MARAM (bag 3)
Hadits Ke-1439
وَعَنِ النَوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ رضي الله عنه قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ؟ فَقَالَ: الْبِرُّ: حُسْنُ الْخُلُقِ, وَالْإِثْمُ: مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ, وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ . أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Dari anNawwaas bin Sam’aan -semoga Allah meridainya- ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam tentang kebaikan dan dosa. Beliau bersabda: Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah yang menggelisahkan hatimu dan engkau tidak suka diketahui oleh orang lain.
(H.R Muslim)
Baca Bagian Sebelumnya: Melihat Orang yang di Bawah Untuk Menumbuhkan Perasaan Bersyukur
Penjelasan:
Para Ulama’ Salaf mendefinisikan akhlak yang baik, di antaranya:
Al-Hasan al-Bashri mengatakan:
“Akhlak yang baik adalah dermawan, banyak memberi bantuan, dan bersikap ihtimaal (memaafkan).”
AsySya’bi menjelaskan:
“Akhlaq yang baik adalah suka memberi pertolongan dan bermuka manis.“
Ibnul Mubaarok mengatakan:
“Akhlak yang baik adalah bermuka manis, suka memberi bantuan (ma’ruf) , dan menahan diri untuk tidak mengganggu/menyakiti orang lain.“
(Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam karya Ibnu Rajab juz 1 hal 454-457)
Baca Juga: Menjauhi Perbuatan Dusta
Di antara hadits tentang keutamaan akhlak yang mulia adalah:
أَكْثَر مَا يُدْخِلُ اْلجَنَّةَ تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ اْلخُلُقِ
(Hal) yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga adalah taqwa kepada Allah dan akhlak yang baik. (H.R Ahmad, AtTirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al-Albany )
أَنَا زَعِيْمُ بَيْتٍ فِي أَعْلَى اْلجَنَّةِ لِمَنْ حَسُنَ خُلُقُهُ
Aku menjamin rumah di bagian surga yang tertinggi bagi orang yang baik akhlaknya. (H.R Abu Dawud dan AtThobrooni dan dihasankan oleh Syaikh al-Albany)
Allah Ta’ala menyebutkan satu ayat yang mencakup macam-macam kebaikan (al-Birr) sekaligus merupakan bentuk akhlak yang mulia:
وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآَتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآَتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
…akan tetapi, kebaikan itu adalah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, para Malaikat, Kitab (yang diturunkan Allah), para Nabi. Dan memberikan harta yang disukai kepada karib kerabat, anak-anak yatim, kaum miskin, Ibnus Sabil, (memerdekakan) hamba sahaya, menegakkan sholat, menunaikan zakat, memenuhi janji jika berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kondisi kekurangan, sakit, maupun saat pertempuran. Mereka itu adalah orang-orang yang jujur dan mereka adalah orang-orang yang bertaqwa. (Q.S al-Baqoroh ayat 177)
Hadits ini juga menjelaskan tanda-tanda untuk mengenali suatu dosa. Sesuatu yang menggelisahkan hati orang beriman dan tidak suka jika orang lain mengetahuinya.
Artikel Penting Lainnya:
Kedepankan Prasangka Baik pada Saudaramu Ahlussunnah yang Secara Dzahir Bersikap Adil
Kadangkala kita dihadapkan dengan suatu hal yang masih baru dan asing bagi kita hukumnya. Tidak jelas apakah ini halal atau haram. Jika sesuatu itu jelas berdasarkan dalil yang shahih bahwa itu haram, kita seharusnya meninggalkannya. Sebaliknya, jika jelas halal, kita juga dengan lapang dada memanfaatkannya.
Apabila seseorang masih berada di atas fitrahnya, ia akan mengenali dengan kondisi hati dan jiwanya saat melakukan perbuatan yang masih samar hukumnya tersebut. Jika saat melakukannya hati menjadi gelisah dan tidak tenang, itu salah satu tanda bahwa perbuatan tersebut adalah dosa. Demikian juga jika kita tidak suka apabila orang lain mengetahui saat kita melakukannya. Itu tanda yang menunjukkan bahwa perbuatan itu dosa.
Nabi memberikan bimbingan demikian kepada anNawwaas bin Sam’aan seorang Sahabat Nabi yang mulia yang hatinya masih lurus bisa mengenali tanda-tanda dosa itu dengan hatinya. Berbeda dengan orang yang sudah rusak tabiatnya, banyak berbuat kefasikan dan dosa, ia tidak akan merasa gelisah dengan perbuatan dosa yang dikerjakannya. Bahkan justru akan merasa bangga. Parameter membedakan kebaikan dan dosa yang disebut dalam hadits ini hanya berlaku untuk orang yang baik dan lurus. Demikian juga hadits: mintalah fatwa kepada hatimu. (disarikan dari penjelasan Syaikh Ibn Utsaimin dalam Syarh Arbain anNawawiyyah).
Penulis:
Abu Utsman Kharisman