Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Serba-serbi Zakat Fithri yang Patut Dimengerti

Kewajiban tahunan bagi setiap muslim berupa pembayaran zakat fithri berulang penunaiannya. Jangan sampai karena sering dilakukan malah terkesan menjadi ritual rutin irit makna. Jangan pula diabaikan kewajiban memahami ilmu dan hikmah seputar hukumnya.

Melengkapi pembahasan dalam artikel-artikel sebelumnya, berikut dipaparkan tambahan beberapa sisi hukum seputar zakat fithri yang tentu juga perlu kita ketahui. Semoga menjadi pencerahan yang bermanfaat.


Artikel terkait: Beberapa Cara Penyaluran Zakat Fithri dan Harta


Sasarannya Bagi Muslim yang Miskin Selain Ahli Bait Nabi ﷺ

Ibnul Mundzir rahimahullah menukilkan,

ﻭﺃﺟﻤﻌﻮا ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻻ ﻳﺠﺰﺉ ﺃﻥ ﻳﻌﻄﻲ ﺯﻛﺎﺓ اﻟﻤﺎﻝ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﺬﻣﺔ

“Mereka (para ulama) telah bersepakat bahwa tidak sah memberikan zakat dari harta kepada (non muslim) ahli dzimmah (yang tidak memerangi kita).” (Al Ijma’, hal. 48)

Ibnu Qoyyim Al Jauziyah rahimahullah menyebutkan,

ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﻫﺪﻳﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺗﺨﺼﻴﺺ اﻟﻤﺴﺎﻛﻴﻦ ﺑﻬﺬﻩ اﻟﺼﺪﻗﺔ، ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻳﻘﺴﻤﻬﺎ ﻋﻠﻰ اﻷﺻﻨﺎﻑ اﻟﺜﻤﺎﻧﻴﺔ ﻗﺒﻀﺔ ﻗﺒﻀﺔ، ﻭﻻ ﺃﻣﺮ ﺑﺬﻟﻚ، ﻭﻻ ﻓﻌﻠﻪ ﺃﺣﺪ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ، ﻭﻻ ﻣﻦ ﺑﻌﺪﻫﻢ، ﺑﻞ ﺃﺣﺪ اﻟﻘﻮﻟﻴﻦ ﻋﻨﺪﻧﺎ: ﺇﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺇﺧﺮاﺟﻬﺎ ﺇﻻ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺴﺎﻛﻴﻦ ﺧﺎﺻﺔ، ﻭﻫﺬا اﻟﻘﻮﻝ ﺃﺭﺟﺢ ﻣﻦ اﻟﻘﻮﻝ ﺑﻮﺟﻮﺏ ﻗﺴﻤﺘﻬﺎ ﻋﻠﻰ اﻷﺻﻨﺎﻑ اﻟﺜﻤﺎﻧﻴﺔ.

“Mengkhususkan masyarakat miskin sebagai sasaran jenis sedekah ini nerupakan bimbingan beliau shallallahu alaihi wasallam. Beliau juga tidak membagikan kepada kelompok lain satupun dari delapan golongan (seperti sasaran zakat mal-pen), tidak pula beliau memerintahkan untuk sasaran-sasaran itu. Begitu pula para sahabat beliau tidak ada satupun yang melakukannya, tidak pula (ulama) lain sepeninggal mereka.

Bahkan salah satu pendapat terpilih menurut kami adalah tidak diperbolehkannya memberikannya kecuali khusus bagi sasaran masyarakat miskin saja.

Pendapat inilah yang lebih kuat dibandingkan yang menyatakan diwajibkannya mengarahkan sasaran zakat fithri untuk kedelapan golongan tersebut.” (Zadul Ma’ad, 2/21)

Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath Thohawi (w. 321) rahimahullah menyatakan,

ﻣﻦ ﺗﺤﺮﻡ ﻋﻠﻴﻬﻢ اﻟﺼﺪﻗﺔ ﺑﻨﻮ ﻫﺎﺷﻢ ﻭﻫﻮ ﺁﻝ اﻟﻌﺒﺎﺱ ﻭﺁﻝ ﻋﻠﻲ ﻭﺁﻝ ﺟﻌﻔﺮ ﻭﺁﻝ ﻋﻘﻴﻞ ﻭﻭﻟﺪ اﻟﺤﺎﺭﺙ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻤﻄﻠﺐ ﻭﻭﻟﺪ ﻋﺒﺪ اﻟﻤﻄﻠﺐ ﺟﻤﻴﻌﺎ ﻭﻣﻮاﻟﻴﻬﻢ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺗﺤﺮﻡ ﻋﻠﻴﻬﻢ اﻟﺼﺪﻗﺎﺕ اﻟﻮاﺟﺒﺔ ﻓﺄﻣﺎ اﻟﺘﻄﻮﻉ ﻓﻼ ﺑﺄﺱ ﺑﺄﻥ ﻳﻌﻄﻮا

“Sasaran yang diharamkan menerima sedekah yaitu (marga) Bani Hasyim yang mereka adalah keluarga Al Abbas, keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga Aqil, keturunan Al Harits bin Abdul Muth-thalib, keturunan Abdul Muth-thalib seluruhnya beserta mantan budak yang mereka merdekakan. Hanya saja yang diharamkan bagi mereka jenis sedekah wajib (zakat). Adapun sedekah yang sunnah tidak mengapa mereka menerimanya.” (Mukhtashor Ikhtilaful Ulama’ 1/477)


Artikel terkait: Bolehkah Menyalurkan Zakat Fithri Berupa Uang Atau Barang Lain?


Kualitas Komoditasnya Perlu Dijaga

Imam Asy Syafi’i rahimahullah menyatakan,

وَإِذَا كَانَ لَهُ تَمْرٌ أَخْرَجَ مِنْ وَسَطِهِ الَّذِي تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ، فَإِنْ أَخْرَجَ مِنْ أَعْلَاهُ كَانَ أَحَبَّ إلَيَّ

“Apabila seseorang hendak mengeluarkan (zakat fithri berupa) kurma, hendaklah diambilkan kualitas pertengahan dari bahan yang diwajibkan zakatnya. Namun jika dia mengeluarkan dari kualitas yang lebih tinggi, tentu hal itu lebih saya sukai.

وَلَا يَكُونُ لَهُ أَنْ يُخْرِجَ مِنْ تَمْرٍ وَلَا حِنْطَةٍ وَلَا غَيْرِهَا إذَا كَانَ مُسَوِّسًا، أَوْ مَعِيبًا، لَا يُخْرِجُهُ إلَّا سَالِمًا. وَيَجُوزُ لَهُ أَنْ يُخْرِجَهُ قَدِيمًا سَالِمًا مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ، أَوْ لَوْنُهُ فَيَكُونَ ذَلِكَ عَيْبًا فِيهِ

Dan janganlah dia mengeluarkan bagian dari kurma, gandum maupun bahan lainnya jika (rendah kualitasnya akibat) dimakan ngengat/serangga, ataupun mengandung cacat. Janganlah dia mengeluarkan (bagian zakatnya) kecuali yang terjaga kualitasnya.

Boleh saja baginya mengeluarkan bagian stok lama selama kualitasnya terjaga, jika tidak berubah rasa maupun warnanya yang dapat menjadikannya cacat.” (Al Umm hal. 73)


Artikel terkait: Sasaran Zakat Fithri Ditujukan Bagi Faqir Miskin Muslimin Saja


Yang Memiliki Hutang Tetap Wajib Berzakat Fithri Selama Belum Ditagih

Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan,

ﻭﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﻳﺪﻩ ﻣﺎ ﻳﺨﺮﺟﻪ ﻋﻦ ﺻﺪﻗﺔ اﻟﻔﻄﺮ، ﻭﻋﻠﻴﻪ ﺩﻳﻦ ﻣﺜﻠﻪ، ﻟﺰﻣﻪ ﺃﻥ ﻳﺨﺮﺝ، ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻄﺎﻟﺒﺎ ﺑﺎﻟﺪﻳﻦ، ﻓﻌﻠﻴﻪ ﻗﻀﺎء اﻟﺪﻳﻦ ﻭﻻ ﺯﻛﺎﺓ ﻋﻠﻴﻪ ﺇﻧﻤﺎ ﻟﻢ ﻳﻤﻨﻊ اﻟﺪﻳﻦ اﻟﻔﻄﺮﺓ؛ ﻷﻧﻬﺎ ﺁﻛﺪ ﻭﺟﻮﺑﺎ ﺑﺪﻟﻴﻞ ﻭﺟﻮﺑﻬﺎ ﻋﻠﻰ اﻟﻔﻘﻴﺮ

“Bagi orang yang memiliki takaran (makanan pokok) yang bisa dikeluarkan untuk menunaikan zakat fithri, sementara dia sendiri masih memiliki tanggungan hutang yang setara, tetap wajib baginya mengeluarkan (zakat fithri). Kecuali apabila dia memang sudah ditagih untuk segera membayarkan hutangnya. Saat itu wajib baginya segera membayarkan hutangnya dan tidak ada kewajiban membayar zakat baginya. Hanya saja (secara asal) hutang tidak menjadi penghalang kewajiban zakat fithrah. Karena memang kewajiban zakat (fitrah) itu lebih kuat dibandingan pembayaran hutang, dengan dalil tetap diwajibkan penunaiannya bagi fakir miskin (selama mereka memiliki kelebihan makanan pokok di hari raya-pen).” (Al Mughni 3/100)

Janin Dalam Kandungan Ibu, Tidak Wajib Dikeluarkan Zakat Fitrahnya

Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

ﻭاﻹﺧﺮاﺝ ﻋﻨﻪ ﻗﺒﻞ ﻧﻔﺦ اﻟﺮﻭﺡ ﻓﻴﻪ ﻧﻈﺮ؛ ﻷﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﺇﻧﺴﺎﻧﺎ، ﻗﺎﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ: {ﻛﻴﻒ ﺗﻜﻔﺮﻭﻥ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻭﻛﻨﺘﻢ ﺃﻣﻮاﺗﺎ ﻓﺄﺣﻴﺎﻛﻢ} [ اﻟﺒﻘﺮﺓ: 28] ﻓﻬﻮ ﻣﻴﺖ ﻻ ﺣﻴﺎﺓ ﻓﻴﻪ، ﻓﺎﻟﺬﻱ ﻳﻈﻬﺮ ﻟﻲ ﺃﻧﻨﺎ ﺇﺫا ﻗﻠﻨﺎ ﺑﺎﺳﺘﺤﺒﺎﺏ ﺇﺧﺮاﺟﻬﺎ ﻋﻦ اﻟﺠﻨﻴﻦ ﻓﺈﻧﻤﺎ ﺗﺨﺮﺝ ﻋﻤﻦ ﻧﻔﺨﺖ ﻓﻴﻪ اﻟﺮﻭﺡ، ﻭﻻ ﺗﻨﻔﺦ اﻟﺮﻭﺡ ﺇﻻ ﺑﻌﺪ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺃﺷﻬﺮ ﻟﺤﺪﻳﺚ اﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ

“Adapun (pendapat) mengeluarkan zakat dari janin sebelum ditiupkan ruh padanya perlu ditinjau ulang, karena saat itu dia belum menjadi manusia. Allah ta’ala berfirman:

كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ۖ

“Mengapa kalian kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kalian?” (QS Al Baqarah: 28)

Ketika itu dia masih berupa jasad mati belum ada kehidupan padanya. Jadi yang terang bagi saya, apabila kita berpendapat disunnahkannya mengeluarkan zakat fithri dari janin, hendaknya dikeluarkan hanya dari janin yang telah masuk fase ditiupkan ruh. Sementara ruh tidaklah ditiupkan melainkan setelah masuk usia 4 bulan, berdasarkan hadits Abdullah Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu.” (Asy-Syarhul Mumti’ 6/161)


Penulis: Abu Abdirrohman Sofian

Tinggalkan Balasan