Bolehkah Shalat Jamak Dilakukan Saat Masih Belum Berangkat Safar?

Keringanan menjamak shalat ada yang disebabkan karena safar. Barulah boleh dilakukan saat sudah menyandang predikat sebagai musafir. Atau, ia sudah dalam proses perjalanan meninggalkan bangunan-bangunan yang ada dalam wilayah mukimnya. Saat itu ia sudah boleh menqoshor maupun menjamak shalat.
Sebagaimana Nabi shollallahu alaihi wasallam dan Umar bin al-Khoththob mulai mengqoshor shalat dan mengambil keringanan-keringanan safar saat sudah meninggalkan bangunan-bangunan di wilayah mukimnya. Pada saat itu, jika perjalanan sudah menempuh sekitar 3 mil, sudah terpisah dari pemukiman di wilayah mukimnya. Satu mil jika dikonversikan dalam meter adalah sekitar 1.600 meter atau 1,6 km (Taudhihul Ahkam syarh Bulughil Maram karya Syaikh Abdullah al-Bassam (2/539)).
Sehingga, setidaknya saat sudah menempuh 3 mil atau sekitar 4,8 km dari kediaman mukimnya, seseorang sudah boleh melakukan keringanan-keringanan dalam safar.
Namun, jika seseorang masih berada di tempat kediamannya, atau masjid yang dekat dengan rumah tempatnya bermukim, ia masih hendak akan berangkat safar, belum boleh melakukan keringanan-keringanan yang dilakukan musafir, termasuk menjamak shalat.
Dalam fatwa al-Lajnah ad-Daaimah nomor 8136 disebutkan tentang hal itu. Terjemahan fatwanya adalah sebagai berikut:
Pertanyaan: “Ada seseorang yang hendak safar, ia masih berada di tempat tinggalnya. Bolehkah bagi dia untuk menjamak shalat Dzhuhur dengan Ashar tanpa qoshor? Dalam keadaan ia tidak bisa shalat Ashar hingga sampainya ia di tempat yang dituju bersamaan dengan masuknya waktu Maghrib (di sana)?”
Jawaban al-Lajnah adDaimah: Tidak boleh menjamak shalat Ashar dengan Dzhuhur atau Isya dengan Maghrib bagi orang yang berniat safar selama ia masih berada di tempat tinggalnya, belum mulai melakukan perjalanan (safar). Karena belum adanya kondisi yang memperbolehkannya untuk menjamak, yaitu safar. Namun, keringanan dalam mengqoshor dan menjamak (shalat) adalah saat ia sudah meninggalkan (deretan) pemukiman tempat tinggalnya (Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah (8/107))
Demikianlah keadaan secara asal. Tidak boleh menjamak shalat jika ia belum menjadi musafir. Namun, apabila dirasa kesulitan bagi seseorang yang mukim (hendak safar) kalau tidak menjamak shalatnya, boleh bagi dia menjamak saat masih di kediaman tempat tinggalnya. Hal itu khusus dalam kondisi yang menyulitkan. Ia menjamak shalat bukan karena sebagai musafir, namun sebagai mukim yang mengalami kesulitan melakukan shalat masing-masing pada waktunya.
Nabi shollallahu alaihi wasallam pernah menjamak shalat di Madinah bukan karena takut dan juga bukan karena hujan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ فِي حَدِيثِ وَكِيعٍ قَالَ قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ
Dari Ibnu Abbas –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menjamak antara Dzhuhur dengan Ashar, Maghrib dengan Isya di Madinah bukan karena takut, dan juga bukan karena hujan. Dalam hadits Waki’ dinyatakan: Aku (Said bin Jubair) berkata kepada Ibnu Abbas: Mengapa Nabi melakukan hal itu? Ibnu Abbas berkata: Agar tidak memberatkan umatnya (H.R Muslim)
Ada pertanyaan kepada Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah bagi seorang yang hendak safar dan dirasa menyulitkan jika ia melakukan shalat di pesawat dalam perjalanan yang panjang. Beliau membolehkan menjamak shalat sebelum berangkat safar karena sebab kesulitan itu. Bukan karena keringanan dalam safar. Berikut ini terjemahan fatwa beliau:
Pertanyaan: Seseorang yang hendak safar perjalanan udara jauh, bolehkah menjamak Ashar dengan Dzhuhur dengan jamak taqdim di negerinya untuk menghindarkan kesulitan shalat di pesawat karena sulitnya tempat pelaksanaan shalat, atau kesulitan menghadap kiblat, atau karena gangguan kegaduhan atau guncangan dalam pesawat, dan semisalnya?
Jawaban Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah: Ya, hal itu diperbolehkan. Namun ia menjamak saja tanpa mengqoshor. Karena sebab kesulitan. Bukan karena sebab safar. Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkhotbah di hadapan manusia sejak Ashar. Telah terbenam matahari dan telah nampak bintang-bintang, ada yang mengatakan: (mari menegakkan) shalat… Ibnu Abbas berkata: Aku lebih tahu tentang hal itu dibandingkan engkau.
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menjamak antara Dzhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya di Madinah bukan karena takut, tidak pula karena hujan. Ditanyakan kepada Ibnu Abbas: Mengapa beliau melakukan hal itu? Ibnu Abbas menyatakan: Agar tidak menyulitkan umatnya (Tsamarootut Tadwiin min Masaail Ibn Utsaimin yang disusun Dr. Ahmad bin Abdirrahman al-Qodhiy(1/40))
Dikutip dari: Buku Fiqh Bersuci dan Sholat edisi 2.0, Abu Utsman Kharisman