Rambu-Rambu Ukhuwwah Islamiyyah (bag. ke-2)
Lanjutan Rambu-Rambu Ukhuwwah Islamiyyah bagian yang pertama…
Kajian Syarh Arbain An Nawawiyyah Hadits ke-35
Tolonglah Saudaramu jika Mampu, Jangan Membiarkannya Tanpa Pertolongan
Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda:
وَلاَ يَخْذُلُهُ
Dan janganlah (seorang muslim) menelantarkan saudaranya (tanpa pertolongan)…
Semestinya, seseorang menolong saudaranya baik dalam kondisi mendzhalimi ataupun terdzhalimi.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا نَنْصُرُهُ مَظْلُومًا فَكَيْفَ نَنْصُرُهُ ظَالِمًا قَالَ تَأْخُذُ فَوْقَ يَدَيْهِ
Dari Anas –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:
Tolonglah saudaramu, baik ia dalam keadaan dzhalim atau terdzhalimi. Para Sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, kami memahami jika orang terdzhalimi, seharusnya kami tolong. Bagaimana kami menolong orang yang dzhalim? Nabi bersabda: Engkau pegang tangannya (agar ia tidak jadi atau melanjutkan kedzhalimannya, pent).
(H.R al-Bukhari)
Di antara hak muslim terhadap muslim lainnya adalah menolongnya ketika ia membutuhkan pertolongan. Baik dalam perkara duniawi atau pun dalam urusan Dien. Dalam urusan duniawi seperti ketika ada musuh yang akan menyerang dia, kita tolong untuk menghindarkannya dari bahaya. Dalam urusan Dien seperti seseorang yang mampu memberikan nasihat kepada seseorang yang tersesat atau menyimpang, berikan nasihat padanya. Jika dibiarkan, ini termasuk menelentarkan dia tanpa pertolongan, yang dilarang oleh Nabi dalam hadits ini (disarikan dari atTuhfatur Robbaaniyyah syarh al-Arbain anNawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Ismail al-Anshariy (36/2)).
Tingginya Kedudukan Seseorang adalah Berdasarkan Ketakwaannya
Seseorang tidak boleh merendahkan dan melecehkan orang lain. Sikap merendahkan saudaranya sesama muslim terjadi karena adanya kesombongan dalam diri orang yang melecehkan itu.
Mungkin saja seseorang terpandang rendah di mata manusia, namun sesungguhnya ia tinggi kedudukannya di sisi Allah karena ketakwaannya.
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa… (Q.S al-Hujuraat ayat 13)
Ketakwaan asalnya adalah di dalam hati. Karena itu Nabi shollallahu alaihi wasallam mengisyaratkan pada dada beliau 3 kali sebagaimana dalam hadits ini. Demikian pula yang disebutkan dalam al-Quran bahwa ketakwaan itu berasal dari hati:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
Yang demikian itu, barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sesungguhnya itu berasal dari ketakwaan hati (Q.S al-Hajj ayat 32)
(Faidah penjelasan dalam Jami’ul Uluum wal Hikaam karya Ibnu Rojab al-Hanbaliy (37/23)).
Hadits ini juga menunjukkan bahwa tiang penopang ketakwaan itu adalah perasaan takut dan pengagungan kepada Allah, perasaan selalu diawasi oleh-Nya, dan keikhlasan di dalam hati (Subulus Salam syarh Bulughil Maram karya as-Shon’aaniy (4/195), atTuhfatur Robbaaniyyah syarh al-Arbain anNawawiyyah karya Syaikh Muhammad bin Ismail al-Anshariy (36/2)).
Mulianya Darah, Harta, dan Kehormatan Seorang Muslim
Darah seorang muslim sangat mulia. Tidak boleh ditumpahkan. Baik sekedar dilukai, apalagi dibunuh.
Kemuliaan (darah) seorang muslim lebih besar di sisi Allah dibandingkan kemuliaan Ka’bah. Sahabat Nabi Ibnu Umar radhiyallahu anhu pernah memandang ke arah Ka’bah dan berkata:
مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ وَالْمُؤْمِنُ أَعْظَمُ حُرْمَةً عِنْدَ اللَّهِ مِنْكِ
Sungguh demikian agungnya dirimu, dan demikian agungnya kemuliaanmu. Namun seorang beriman lebih besar kemuliaannya di sisi Allah dibandingkan dirimu. (Riwayat atTirmidzi dan dinyatakan hasan shahih oleh Syaikh al-Albaniy)
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Sungguh lenyapnya dunia masih lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya satu orang muslim. (H.R atTirmidzi, anNasaai, Ibnu Majah, dishahihkan Syaikh al-Albaniy)
Harta seorang muslim sangat mulia, harus dijaga. Tidak boleh kita mendapatkan harta darinya kecuali dengan kerelaan hatinya.
لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِطِيْبِ نَفْسٍ مِنْهُ
Tidaklah halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya. (H.R ad-Daaraquthniy dishahihkan Syaikh al-Albaniy dalam Shahih al-Jami’is Shoghir)
لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ أَنْ يَأْخُذَ مَالَ أَخِيهِ بِغَيْرِ حَقِّهِ وَذَلِكَ لِمَا حَرَّمَ اللَّهُ مَالَ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ
Tidak halal bagi seorang muslim untuk mengambil harta saudaranya tanpa haknya. Yang demikian itu karena Allah mengharamkan harta seorang muslim terhadap muslim lainnya (H.R Ahmad, dishahihkan Syaikh al-Albaniy dalam Ghoyatul Maraam)
Termasuk perbuatan yang haram dilakukan terhadap harta seorang muslim adalah meminjam uang darinya dengan niat tidak ingin mengembalikan.
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
Barangsiapa yang mengambil (pinjaman) harta-harta manusia dengan keinginan untuk mengembalikannya, Allah akan menunaikannya untuknya. Barangsiapa yang mengambil harta manusia itu dengan tujuan untuk membinasakannya, Allah akan membinasakannya (H.R al-Bukhari)
Hadits tersebut pada penggalan yang terakhir diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah dengan judul Bab Man iddaana daynan lam yanwi qodhoo-ahu (Barangsiapa yang meminjam utang tidak bermaksud mengembalikannya).
Kehormatan seseorang muslim tidak boleh dinodai. Baik dengan ghibah (membicarakan keburukannya tanpa diketahui oleh dia), apalagi melecehkan dan merendahkan ia di hadapannya langsung. Ataupun berupa namimah (perbuatan mengadudomba). Bisa pula berupa pelecehan terhadap keluarganya. (Faidah penjelasan Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalusy Syaikh dalam syarh Arbain anNawawiyyah).
(dikutip dari naskah buku “42 HADITS PANDUAN HIDUP MUSLIM SYARH ARBAIN ANNAWAWIYYAH”, Abu Utsman Kharisman)