Mengambil Ilmu Dari Ulama dan Kitab
Pertanyaan :
Bagaimana pendapat anda tentang ucapan seseorang: Sesungguhnya menuntut ilmu itu adalah dengan membaca buku saja. Tidak harus berhubungan dengan para Ulama yang mulia.
Dia juga berkata: Jika aku dihadapkan dengan suatu permasalahan, aku akan mengkajinya. Setelah itu, jika aku tidak mampu, aku akan kembalikan pada para masyayikh.
Padahal, orang tersebut tidak berilmu dalam hal itu.
Berikanlah fatwa kepada kami, semoga Allah memberikan pahala kepada Anda.
Jawaban Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah:
Dalam mayoritas perkara, manusia terbagi menjadi 2 kutub yang berseberangan dan 1 sisi yang bersikap pertengahan.
Ucapan seseorang ini (yang dimaksud dalam pertanyaan) bertentangan dengan ucapan : Barang siapa yang kitabnya adalah gurunya, maka kesalahannya akan lebih banyak dari benarnya.
Ada sebagian orang yang berkata: Tidak ada jalan untuk sampai pada ilmu kecuali hanya dengan belajar langsung kepada seorang guru. Ada pula yang berkata: justru cara untuk memperoleh ilmu adalah dengan mengambilnya dari kitab-kitab (buku-buku).
Pendapat yang tepat adalah bahwa 2 metode itu sama-sama benar. Bisa dengan belajar dari buku dan dari penjelasan langsung para Ulama.
Namun, syarat utama dari 2 hal ini adalah: penulisnya terpercaya dalam akidah, keilmuan, dan amanahnya. Demikian pula kita nyatakan terkait pengajar: haruslah yang terpercaya akidah, keilmuan, dan amanahnya.
Namun, mengambil ilmu dari para Ulama lebih mudah, lebih tepat, dan lebih cepat. Karena para Ulama itu seperti juru masak yang menyiapkan makanan untukmu. Berbeda dengan orang yang berjuang untuk memasak sendiri makanan, berat baginya. Kadang bisa jadi ia makan makanan yg belum matang. Kadang masakannya itu gosong sebelum sempat ia makan. Maka mengambil ilmu dari Ulama itu lebih mudah dan lebih tepat.
Karena inilah kita melihat sebagian ikhwah bahkan orang berilmu yang menyandarkan ilmunya hanya sekedar dari membaca saja, kita melihat kadang mereka pendapatnya sangat jauh dari kebenaran. Karena mereka tidak mengambil dari para Ulama yang telah matang.
Namun, jika engkau tidak bisa mendapati Ulama yang bisa langsung engkau ambil ilmu darinya, bacalah kitab-kitab (buku-buku).
Kemudian, jika kita katakan bahwasanya mengambil ilmu langsung dari seorang Ulama itu lebih cepat dan lebih mudah terjaga, bukanlah artinya seorang penuntut ilmu tidak perlu merujuk pada kitab-kitab (buku-buku). Justru hendaknya ia merujuk pula pada kitab-kitab. Namun, dengan terikat pada arahan Ulama yg membimbingnya dalam bacaan itu.
Sumber: Liqa’ al-Baab al-Maftuh bagian ke-10
Transkrip Fatwa dalam Bahasa Arab
السؤال: ما رأيك فيمن يقول: إن طلب العلم في قراءة الكتب فقط، ولا يتعلق ذلك بالعلماء الأفاضل، وإنه يقول: إذا عارضتني مسألة من المسائل أبحث فيها، وبعد ذلك إن لم أستطع، فأردها إلى المشايخ، مع العلم أنه ليس عنده العلم الذي يعينه على ذلك، أفتونا مأجورين؟
الجواب
الغالب في الأمور أن الناس يكونون فيها طرفين ووسطاً، فهذا القول الذي قاله الأخ يعارض بقول من قال: (من كان شيخه كتابه فخطأه أكثر من صوابه)، فمن الناس من يقول: إنه لا طريق إلى العلم إلا بالتعلم من معلم، ومن الناس من يقول: بل هناك طريق إلى العلم وهو التلقي من الكتب
والصواب: أن الطريقين صحيحان، التلقي من الكتب والتلقي من أفواه العلماء، ولكن لا بد من شرطٍ أساسي في هذين الأمرين: وهو أن يكون المؤلف موثوقاً في عقيدته وعلمه وأمانته، وكذلك نقول في المعلِّم: لا بد أن يكون موثوقاً في عقيدته، وعلمه وأمانته، ولكن تلقي العلم من أفواه العلماء أيسر وأضبط وأسرع؛ لأن العلماء كالطباخين الذين جهزوا لك الطعام، بخلاف الذي يعاني طبخ الطعام، فإنه يشق عليه، وربما يأكله قبل أن ينضج، وربما يحرق قبل أن يأكله، فالتلقي من العلماء أيسر وأضبط
ولهذا نرى بعض الإخوة بل بعض العلماء الذين اعتمدوا في علمهم على قراءة الكتب فقط، نرى عندهم أحياناً شطحات بعيدة جداً عن الصواب؛ لأنهم لم يتلقوا عن علماء ناضجين، لكن إذا لم تجد العالم الذي تتلقى من فِيه، فاقرأ الكتب، ثم إنه إذا قلنا: إنَّ التلقي من العالم أسرع وأحفظ، فلا يعني ذلك ألا يرجع الطالب إلى الكتب، بل يرجع إلى الكتب، ولكن رجوعاً مقيداً بتوجيه العالم الذي يقرأ عليه
المصدر: سلسلة لقاءات الباب المفتوح > لقاء الباب المفتوح [10]
Penerjemah: Abu Utsman Kharisman