Ijtihad dan Taklid Sejak Masa Sahabat Hingga Kini
Pertanyaan:
Semoga Allah memberkahi anda, seorang penanya yang juga berasal dari Pakistan bertanya:
“Syaikh yang mulia, mohon kami diberi pengetahuan tentang ijtihad dan taqlid. Apakah taklid itu? Dan apa pula ijtihad itu?
Juga apakah taklid itu ada di zaman pata sahabat dan tabi’in, sehingga mereka saling bertaqlid satu sama lain, ataukah tidak?”
Jawaban (Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah):
“Ya, ijtihad adalah berusaha mencurahkan kemampuan untuk mencapai (kesimpulan) hukum syariat dari dalil-dalil syariat (yaitu) Al Kitab (Al Quran), sunnah (Nabi), ijma’ serta qiyas yang benar. Demikianlah yang dimaksud ijtihad.
Dan termasuk perkara yang dimaklumi bahwasanya tidaklah berwenang untuk melakukan ijtihad, melainkan orang yang mengetahui metodologinya. Dia juga memilki ilmu dan pengetahuan sehingga memungkinkan untuk bisa menarik kesimpulan hukum dari dalil-dalilnya, yang telah saya isyaratkan.
Adapun taklid yaitu mengikuti pendapat ahli ijtihad tanpa mengetahui dalil rujukannya, namun dia hanya ikut-ikutan karena mempercayai dengan pendapatnya.
Dan taklid itu pada kenyataannya terjadi sejak masa sahabat radhiyallahu anhum, karena sesungguhnya Allah telah berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
‘Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kalian tidak mengetahui.’ ( QS An Nahl: 43)
Dan tidak diragukan lagi bahwa orang-orang di masa para sahabat radhiyallahu anhum hingga masa kita sekarang ada yang belum mampu mencapai (kapasitas) pengambilan kesimpulan hukum sendiri karena ketidakmampuan akalnya dan keterbatasan pemahamannya. Sehingga tugas jenis orang semacam ini adalah bertanya kepada orang yang berilmu.
Sementara bertanya kepada orang-orang yang berilmu itu mengandung konsekwensi mengikuti pendapat yang disampaikan mereka. Sedangkan sikap mengikuti pendapat yang mereka sampaikan itu merupakan taklid.
Atas dasar itulah kami menyatakan:
Barangsiapa yang tidak memungkinkan mencapai kebenaran sendiri, hendaklah dia berusaha (tetap) menjangkaunya (walaupun) dengan cara mengikuti orang lain dari kalangan orang berilmu. Di mana tipe orang-orang semacam itu memang telah diperintahkan untuk bertanya kepada mereka (ulama) tersebut jika dia (yang mencari kebenaran) bukan orang yang berilmu.
Akan tetapi (yang perlu diperhatikan) apabila kita mengajukan satu pertanyaan; siapakah yang (pantas) saya ikuti?
Maka jawabannya bahwa yang menjadi kewajiban hendaklah anda mengikuti sosok yang anda memandangnya lebih dekat kepada kebenaran.
Karena orang berilmu itu seperti para dokter. Mereka adalah para dokter hati.
Sementara salah seorang di antara kita apabila mengalami sakit, sedangkan di daerah tersebut terdapat banyak dokter, tentunya dia akan berusaha memilih (dokter) yang paling ahli dan mengerti benar seluk-beluk kedokteran, penyakit-penyakit dan berbagai pengobatan.
Tidaklah mungkin seseorang berangkat menemui dokter yang memiliki kekurangan, ketika ada dokter yang lebih berkompeten darinya, kecuali dalam situasi darurat.
Begitu pula dalam permasalahan taklid, hendaklah seseorang memilih sosok yang lebih dekat kepada kebenaran. Karena keadaannya yang lebih berilmu dan bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Sehingga dalam kondisi semacam ini, dia telah menjalankan firman Allah Ta’ala dalam ayat-Nya:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
‘Sehingga bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kalian tidak mengetahui.’ …”
(Majmu’ Fatawa Asy Syaikh Ibni Utsaimin 26/403)
Baca Juga: Beberapa Jenis Pendapat Ahlul Ijtihad
Teks Arab:
ما هو الاجتهاد والتقليد وهل كان موجودا في زمن الصحابة ؟
السؤال
بارك الله فيكم المستمع أيضاً من باكستان يقول: فضيلة الشيخ؛ عرفونا بالاجتهاد والتقليد ما التقليد وما الاجتهاد، وهل التقليد كان موجوداً في زمن الصحابة والتابعين فيقلد بعضهم بعضا أم لا؟
الجواب
الشيخ: نعم الاجتهاد؛ هو بذل الجهد في الوصول إلى حكمٍ شرعي من الأدلة الشرعية الكتاب والسنة والإجماع والقياس الصحيح، هذا هو الاجتهاد، ومن المعلوم أنه لا يصلح للاجتهاد إلا من كان عارفاً بطرقه، وعنده علم ودراية حتى يتمكن من الوصول إلى استنباط الأحكام من أدلتها التي أشرت إليها،
وأما التقليد فهو الأخذ بقول مجتهد من غير معرفة دليله، بل يقلده ثقةً بقوله والتقليد في الواقع حاصلٌ من عهد الصحابة رضي الله عنهم، فإن الله تعالى يقول: فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
ولا شك أن من الناس في عهد الصحابة رضي الله عنهم وإلى عهدنا هذا من لا يستطيع الوصول إلى الحكم بنفسه؛ لجهله، وقصوره، ووظيفة هذا أن يسأل أهل العلم، وسؤال أهل العلم يستلزم الأخذ بما قالوا، والأخذ بما قالوا هو التقليد،
وعلى هذا فنقول: من لا يتمكن من الوصول إلى الحق بنفسه، فليتمكن من الوصول إليه بتقليد غيره من أهل العلم الذين أمر بسؤالهم إن لم يكن عالماً؛ ولكن إذا سألنا سائلاً من أقلد؟ فالجواب أن الواجب أن تقلد من تراه أقرب إلى الحق؛ لأن أهل العلم كالأطباء فهم أطباء القلوب، وإذا كان الواحد منا إذا مرض وكان في البلد أطباء كثيرون، فإنه سوف يختار من كان أحذق وأعرف بالطب والأدوية والعلاج، ولا يمكن لأحد أن يذهب إلى طبيبٍ قاصر مع وجود من هو أحذق منه إلا عند الضرورة، كذلك في التقليد اختر من تراه أقرب إلى الحق؛ لكونه أعلم وأتقى لله عز وجل، وفي هذه الحال تكون قد امتثلت قول الله تعالى في قوله: ﴿فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
مجموع فتاوى الشيخ ابن عثيمين(26/403)
Tautan Sumber:
- https://binothaimeen.net/content/9347
- https://fatawapedia.com/بيان-معنى-الاجتهاد-والتقليد-وهل-كان-موجودا-في-زمن-الصحابة-50265
Diterjemahkan oleh: Abu Abdirrohman Sofian