Beberapa Kondisi yang Diperbolehkan dari Tindakan Pengintaian kepada Sesama Muslim
Muslimin yang budiman, Allah telah menentukan sekian larangan yang mesti kita hindari. Begitu pula batasan-batasannya juga telah sempurna diatur dalam syariat Islam. Terkadang batasannya disebutkan dengan gamblang dalam ayat dan hadits. Namun sekian perkara memerlukan bimbingan Ulama untuk memahami kesimpulan ijma’ atau qiyas dari sumber rujukan utama hukum Islam. Begitu pula mana larangan yang bersifat khusus dari kemumannya, mana pula yang terikat dengan keadaan tertentu dari kemutlakannya. Banyak ketentuan yang memerlukan bimbingan ulama dalam memahaminya.
Termasuk dalam hal larangan memata-matai (tajassus) terhadap sesama muslim, para ulama telah menyampaikan beberapa perkecualian dari hukum asalnya yang terlarang.
Berikut ini disebutkan beberapa di antara perkecualian dari haramnya melakukan tajassus kepada sesama muslim. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan kaum muslimin.
Tindakan pengintaian dan memata-matai sesama muslim tidak lagi terlarang pada beberapa keadaan, antara lain:
1. Untuk memperoleh bukti tindak kejahatan yang membahayakan muslim lainnya dengan berbekal informasi kalangan terpercaya.
Al ‘Allamah Muhammad bin Ali Al Qusyairi yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Daqiqil ‘Id (w. 702 H) rahimahullah, ketika menjelaskan hadits tentang larangan tajassus (memata-matai) sesama muslim, beliau di antaranya menyatakan:
ﻭﻟﻴﺲ ﻟﻵﻣﺮ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻭاﻟﻨﺎﻫﻲ ﻋﻦ اﻟﻤﻨﻜﺮ اﻟﺒﺤﺚ ﻭاﻟﺘﻔﺘﻴﺶ ﻭاﻟﺘﺠﺴﺲ ﻭاﻗﺘﺤﺎﻡ اﻟﺪﻭﺭ ﺑﺎﻟﻈﻨﻮﻥ ﺑﻞ ﺇﻥ ﻋﺜﺮ ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻜﺮ ﻏﻴﺮﻩ، ﻭﻗﺎﻝ اﻟﻤﺎﻭﺭﺩﻯ: ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﻘﺘﺤﻢ ﻭﻳﺘﺠﺴﺲ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﺨﺒﺮﻩ ﻣﻦ ﻳﺜﻖ ﺑﻘﻮﻟﻪ ﺃﻥ ﺭﺟﻼ ﺧﻼ ﺑﺮﺟﻞ ﻟﻴﻘﺘﻠﻪ ﺃﻭ اﻣﺮﺃﺓ ﻟﻴﺰﻧﻰ ﺑﻬﺎ. ﻓﻴﺠﻮﺯ ﻟﻪ ﻓﻲ ﻣﺜﻞ ﻫﺬﻩ اﻟﺤﺎﻝ ﺃﻥ ﻳﺘﺠﺴﺲ ﻭﻳﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﺸﻒ ﻭاﻟﺒﺤﺚ ﺣﺬﺭا ﻣﻦ ﻓﻮاﺕ ﻣﺎ ﻻ ﻳﺴﺘﺪﺭﻛﻪ.
“Bukanlah termasuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran tindakan penyelidikan, penggeledahan dan pengintaian dan pendobrakan rumah hanya berdasar prasangka, akan tetapi bisa diterapkan jika berpotensi menimbulkan kemungkaran kepada pihak lainnya.
Al Mawardi berkata: Seseorang tidak dibenarkan melakukan pendobrakan atau memata-matai kecuali apabila ada pihak terpercaya yang menyampaikan informasi bahwa seseorang tengah menyendiri dengan orang lainnya dalam rangka membunuhnya, atau bersama seorang wanita (asing) untuk berzina dengannya. Sehingga diperbolehkan bagi orang itu pada keadaan semacam ini untuk melakukan tindakan pengintaian, dan mulai melakukan penggeledahan maupun pemeriksaan, karena dikhawatirkan kehilangan bukti yang tidak bisa diperoleh (kecuali dengan berbuat demikian).”
(Syarh Al Arba’in An Nawawiyyah hal. 115)
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy rahimahullah juga mengingatkan dalam penjelasan Bab Hukum Mata-mata dalam Shohih Al Bukhori:
ﻭﻓﻲ ﻗﺼﺔ ﺑﻦ ﺻﻴﺎﺩ اﻫﺘﻤﺎﻡ اﻹﻣﺎﻡ ﺑﺎﻷﻣﻮﺭ اﻟﺘﻲ ﻳﺨﺸﻰ ﻣﻨﻬﺎ اﻟﻔﺴﺎﺩ ﻭاﻟﺘﻨﻘﻴﺐ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﺇﻇﻬﺎﺭ ﻛﺬﺏ اﻟﻤﺪﻋﻲ اﻟﺒﺎﻃﻞ ﻭاﻣﺘﺤﺎﻧﻪ ﺑﻤﺎ ﻳﻜﺸﻒ ﺣﺎﻟﻪ ﻭاﻟﺘﺠﺴﺲ ﻋﻠﻰ ﺃﻫﻞ اﻟﺮﻳﺐ
“Sedangkan pada kisah ibnu Shoyyad (terdapat pelajaran) perhatian pemimpin negara terhadap perkara yang dikhawatirkan menimbulkan kerusakan, berusaha menggali informasi tentangnya, dan memaparkan kedustaan orang yang membuat pengakuan batil, serta mengujinya dengan hal-hal yang dapat menyingkapkan keadaan sebenarnya, begitu pula tajassus terhadap pihak yang meletupkan keraguan (pada masyarakat muslimin).” (Fathul Bari 6/174)
Artikel lain yang semoga bermanfaat:
- Memeriksa Perangkar Anak adalah Kewajiban Orang Tua
- Berbicaralah Saat Dibutuhkan dan Jangan Berbicara Kecuali Berlandaskan Ilmu
- Berhati-Hati Dalam Berbicara
2. Terhadap Tersangka Kejahatan yang Berdampak Luas Seperti Bandar Narkoba dan Semisalnya.
Pernah diajukan pertanyaan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah:
Kitabullah dan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam telah melarang kegiatan mata-mata. Apakah diperbolehkan kegiatan semacam itu dalam rangka memata-matai para bandar atau para penjual (barang terlarang) sebagai bentuk pengintaian terhadap mereka?
Jawaban beliau rahimahullah:
نعم، ليس هذا من التَّجسس، بل هذا من النَّصيحة لله ولعباده، إذا عرف المُروج والمُهرب فلا بأس من التَّجسس عليه حتى تعلم أخباره، وحتى يرفع أمره إلى ولاة الأمور؛ لأنَّ ضرره يعمّ، بخلاف الشارب نفسه، وبخلاف العاصي نفسه الذي بينه وبين الله، هذا هو محل الستر وعدم التَّجسس. أما مَن يضرُّ الناس ويُروج شرّه ويهرب الفساد؛ فهذا ضرره عظيم، ضرره متعدٍّ، فأشبه قُطَّاع الطريق، بل أضرّ -نسأل الله العافية
“Benar, yang seperti itu bukanlah tajassus (yang haram-pen). Justru hal itu merupakan bentuk nasihat kepada Allah dan bagi hamba-hamba-Nya. Jika dia mengetahui si-bandar dan penyelundupnya, tidak ada salahnya memata-matai dia sampai Anda mengetahui beberapa informasi tentangnya, dan sampai kasusnya diangkat atau dilaporkan ke pihak berwajib/pemerintah. Hal ini dikarenakan cakupan bahayanya yang luas, berbeda dengan yang sekadar mengkonsumsinya untuk dirinya sendiri. Juga tidak seperti terhadap orang yang melakukan dosa privasi antara dia dan Allah, demikian ini pantas ditutup atau dijaga privasinya dan tidak dilakukan tajassus.
Adapun terhadap pihak yang mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, menyebarluaskan keburukannya, dan berusaha meloloskan kejahatan, yang seperti ini bahayanya sangat besar, yang bahayanya dapat menimbulkan korban (orang lain), sehingga lebih serupa dengan (bahaya yang ditimbulkan) perampok, bahkan lebih parah. Kita memohon keselamatan kepada Allah semata.”
Sumber: is.gd/7O4Yzd
3. Sebagai Upaya Memastikan Kecurigaan sebelum Memberikan Nasihat.
Karena mengingkari kemungkaran dipersyaratkan ilmu. Termasuk bagian ilmu yang dibutuhkan adalah pengetahuan bahwa hal yang akan diingatkan benar-benar terjadi pada seseorang yang dinasihati.
Pernah diajukan pertanyaan kepada Komisi Tetap Urusan Penelitian Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia dengan nomor 19515, secara makna:
Salah seorang kerabat perempuan saya berbicara kepada saya tentang seorang pria yang bekerja dengan ayah di fasilitas khusus untuk ayah, dan dia berkata kepada saya: Istri pria ini berkata: Suami saya jarang sholat dan suka menonton film porno. Istri pria tersebut juga mengatakan: Semoga Abdullah – maksudnya saya – barangkali dia bersedia menasihatinya tentang masalah ini.
Pada saat kerabat saya tadi menyampaikan hal itu, perbuatan itu menyebabkan saya sedih dan saya menilai penting perkara ini. Sekedar diketahui bahwa saya telah pernah menasehati pria itu terkait meninggalkan sholat, dan tentang sholat berjama’ah secara khusus. Akan tetapi untuk permasalahan film itu, belum saya ketahui sebelumnya. Sebagai upaya sungguh-sungguh untuk memastikan kasus (meninggalkan) sholat dan menonton film itu, saya sampaikan kepada salah satu kerabat saya yang lain sebagai bentuk pemastian terjadinya kasus, karena kerabat yang ini memiliki hubungan baik dengan istri pria tadi. Yang seperti itu agar kami bisa menyampaikan nasihat baginya dari sisi ini. Dan supaya saya dapat memberi informasi kepada ayah saya tentang keadaan pria tersebut.
Karena berbagai kemaksiatan dampak buruknya berpengaruh di dunia sebelum nantinya di akhirat. Demikian pula dampaknya akan mengenai pelaku dan juga orang lain. Sehingga saya bersemangat untuk menyampaikan nasihat dan menjalankannya, juga motivasi terhadap ayah saya dalam mencapai hasil upaya tersebut, saya menerapkan hal-hal yang saya tulis ini.
Pertanyaannya, wahai Syaikh yang mulia:
Ternyata ayah justru marah kepada saya, dan beliau berkata: “Ini termasuk tajassus! Engkau tidak boleh menghubungi (pihak lain) dan mencari tahu tentang dia. Cukup bagimu memperhatikan keadaan dirimu sendiri dan anak-anakmu saja.”
Di mana istri pria tersebut menduga bahwa telah ada beberapa orang yang berbicara dengan suaminya, dan mereka bertanya tentang hal itu.
Apakah tindakan yang demikian termasuk kategori tajassus? Lalu apa pula pengertian tajassus? Saya berharap pula penjelasan tentang kewajiban mengajak kepada hal yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran?
Jawaban Al Lajnah Ad Daimah:
قد أحسنت في بذل النصيحة، وما تعمله من التحري والتثبت لأجل مناصحة المذكور لا يعتبر من التجسس المنهي عنه، وإنما هو من قبيل التثبت من أجل النصيحة. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
“Anda telah berbuat baik dalam menyampaikan nasihat, adapun tindakan anda mencari informasi dan pemastian dalam mengupayakan nasihat tersebut bukan termasuk tajassus yang terlarang. Hal itu sekadar upaya klarifikasi dalam rangka nasihat.
Hanya Allah-lah Yang Memberikan taufiq, begitu pula sholawat dan salam dari Allah semoga tercurahkan bagi Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para sahabat beliau.”
Tertanda
Ketua: Abdul Aziz bin Baz
Wakil Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah Alu asy Syaikh
Anggota: Sholih bin Fauzan Al Fauzan
Sumber: Fatawa Al Lajnah Ad daimah 8/9-26
Dikutip dari: is.gd/PPl3rp
4. Bentuk Pembinaan Para Wali terhadap Orang-orang di bawah Perwaliannya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah ditanya tentang hukum penggunaan alat penyadap. Setelah beliau mengigatkan tidak diperbolehkannya penggunaanya terhadap sesama muslimin secara umum, kemudian beliau sebutkan sebagian perkecualiannya:
أما الذي يأخذه ليتصنت مثلاً على أولاده أين ذهبوا وأين راحوا، أو على الخادمة أو على أهله، فهذا إن كان هناك قرينة فساد واضحة يريد أن يتحقق منها فلا بأس، وإلا فإنه من التجسس والنبي – صلى الله عليه وسلم – نهى عن التجسس. لقاءات الباب المفتوح، لقاء رقم (157)
“Adapun tindakan memasang alat penyadap misalkan, terhadap anak-anaknya (agar diketahui) ke mana mereka berangkat dan ke mana mereka pergi, atau terhadap asisten rumah tangga atau terhadap istrinya. Yang seperti ini, apabila memang ada indikasi perilaku buruk yang jelas, yang hendak dia memastikannya, tidak mengapa.
Sedangkan jika bukan seperti itu, berarti termasuk tajassus. Sementara Nabi shollallahu alaihi wa sallam telah melarang perbuatan tajassus.”
Liqo-at al Bab al Maftuh, Liqo’ 157
Melalui sumber: is.gd/2CaJdg
Demikianlah beberapa hal yang perlu dipahami bukan termasuk tindakan tajassus yang terlarang. Semoga kita bisa memperoleh hikmah dari pembahasan ini serta bijak dalam berucap dan bersikap sesuai tuntunan Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman salaf yang terbimbing melalui para ulama ahlussunnah.
Penulis:
Abu Abdirrohman Sofian