Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Bantahan Ilmiah Terhadap UAS Terkait Dengan Takwil Ayat AlQuran dan Penisbatannya Kepada Al-Imam Al-Bukhari dan Malik (Bagian ke-1)

Bagian ke-1: Penjelasan tentang Makna Takwil

Pendahuluan

Saudaraku kaum muslimin, rahimakumullah…

Sebagian saudara kita mengirimkan video berisi potongan tanya jawab dalam kajian yang dipandu UAS (Ustadz Abdul Somad) berdurasi 2.16 menit. Sang pengirim kemudian berharap penjelasan secara ilmiah terhadap pernyataan UAS di video tersebut.

Setelah dicermati, memang ada beberapa poin penting yang perlu diluruskan dari pernyataan UAS di potongan video tersebut. Insyaallah tulisan kita ini akan berseri menjadi beberapa pembahasan:

  1. Penjelasan tentang makna takwil
  2. Penjelasan tentang penafsiran Ulama salaf terkait surah al-Qolam ayat 42.
  3. Penafsiran tentang ayat alQuran surah al-Qoshosh ayat 88 yang dinisbatkan kepada al-Imam al-Bukhari.
  4. Penakwilan yang dinisbatkan kepada al-Imam Malik

Ini adalah tulisan bagian pertama yang akan memuat penjelasan tentang makna takwil. Semoga Allah Ta’ala memberikan taufiq dan pertolongan kepada kita.

Berikut ini akan dikutip transkrip pernyataan UAS pada potongan video tersebut, kemudian akan diuraikan tanggapan ilmiah terhadapnya.

Kutipan ucapan UAS dalam potongan video tersebut: “Apakah mentakwil itu haram? Mentakwil itu mengalihkan lafadz dari makna hakiki kepada makna lain”.

== selesai kutipan ucapan UAS ==

Tanggapan Ilmiah terhadap Ucapan UAS tersebut

Ucapan UAS tersebut kurang lengkap. Beliau mempersempit makna takwil. Hanya mengambil pengertian takwil menurut para Ahli Kalam yang belakangan. Tidak menyertakan pengertian makna takwil dalam pemahaman para Ulama salaf terdahulu. Seharusnya, kalau beliau hanya menyebut satu sisi pemaknaan takwil yang beliau ambil, misalkan karena tujuan meringkas atau keterbatasan waktu, beliau isyaratkan dalam jawaban itu bahwa takwil juga memiliki makna lain.

Takwil itu ada yang benar dan ada yang menyimpang. Penakwilan yang benar adalah jika berdasarkan dalil. Sedangkan takwil yang menyimpang apabila tidak berlandaskan dalil.

Jadi, kalau ditanyakan: Apakah mentakwil itu haram? Jawabannya adalah tergantung bagaimana penakwilannya. Apabila penakwilan itu menyelisihi dalil, maka ia bisa haram. Tetapi jika ia berlandaskan dalil, tidaklah haram.

Penakwilan yang berlandaskan logika semata, hal itu tidak dibenarkan. Penakwilan yang benar jika berlandaskan pada dalil ayat alQuran, hadits Nabi yang shahih, maupun penjelasan para Sahabat Nabi atau sesuai dengan makna bahasa Arab sebagaimana asal penuturannya yang asli.

Nukilan Penjelasan Syaikh Ibn Utsaimin tentang 3 Makna Takwil

Berikut ini akan disampaikan penjelasan tentang makna takwil menurut Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah. Beliau uraikan termasuk dengan dalil-dalilnya.

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan:

Sesungguhnya makna takwil ada 3:

Pertama adalah tafsir, yaitu memperjelas makna dan menerangkannya. Ini adalah istilah mayoritas para ahli tafsir.

Di antaranya adalah sabda (doa) Nabi shollallahu alaihi wasallam untuk Ibnu Abbas:

اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ

Ya Allah, jadikanlah ia paham (faqih) dalam ilmu agama dan ajarkanlah kepada dia tafsir (H.R Ahmad dan lainnya, pen)

Ini telah dimaklumi oleh para Ulama baik terkait ayat-ayat Sifat (Allah) maupun selainnya.

Kedua: Hakikat yang menjadi hasil akhir (akibat) sesuatu. Ini telah dipahami dari makna takwil dalam alQuran dan sunnah.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا تَأْوِيلَهُ

Tidakkah mereka menunggu melainkan takwilnya (hasil akhirnya/akibatnya)…(Q.S al-A’raaf ayat 53)

ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Itu adalah lebih baik dan lebih indah takwilnya (akibatnya) Q.S anNisaa’ ayat 59 dan al-Israa’ ayat 35)

Maka menakwilkan ayat-ayat tentang Sifat (Allah) dalam makna ini adalah menakwilkan hakikatnya. Ini tidak ada yang mengetahui kecuali Allah.

Ketiga: Memalingkan lafadz dari dzhahir (lahiriah)nya kepada makna yang menyelisihi dzhahir. Ini adalah istilah dari Ahlul Kalam belakangan dan selain mereka. Ini memiliki 2 macam (metode), yaitu yang benar dan yang rusak. Yang benar adalah yang ditunjukkan oleh dalil, seperti penakwilan terhadap firman Allah Ta’ala:

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Jika engkau membaca alQuran, berlindunglah kepada Allah dari setan yang terkutuk (Q.S an-Nahl ayat 98)

Ditakwilkan pada makna: Apabila engkau hendak membaca (alQuran).

Yang rusak adalah apabila tanpa dalil. Seperti mentakwil istiwa’ Allah di atas Arsy-nya dengan istawla (menguasai), Tangan Allah ditakwilkan kekuatan dan nikmat-Nya, dan semisalnya.

(Majmu’ Fatawa wa Rosaail al-Utsaimin 4/83).

Dari penjelasan Syaikh Ibn Utsaimin tersebut, jelaslah bahwa takwil itu tidak khusus terhadap ayat yang terkait penyebutan Sifat-Sifat Allah saja. Sedangkan UAS mengarahkan bahwa takwil itu terkait ayat-ayat Sifat. Nampak jelas dari contoh-contoh yang disebutkannya.

Bahaya Penakwilan Secara Batil

Takwil yang batil adalah jika mengarahkan seseorang untuk menolak penetapan Sifat-Sifat Allah dalam dalil yang shahih. Hal ini sangat berbahaya, bisa mengarahkan seseorang menolak beriman terhadap hal yang secara tegas dinyatakan dalam alQuran dan hadits yang shahih. Padahal, salah satu hal utama yang membuat seseorang selamat di alam kuburnya adalah karena ia membaca alQuran dan beriman dengan isi kandungannya.

Disebutkan dalam hadits:

وَمَا عِلْمُكَ؟ فَيَقُولُ: قَرَأْتُ كِتَابَ اللهِ، فَآمَنْتُ بِهِ وَصَدَّقْتُ، فَيُنَادِي مُنَادٍ فِي السَّمَاءِ: أَنْ صَدَقَ عَبْدِي، فَأَفْرِشُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَأَلْبِسُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى الْجَنَّةِ

(Kedua Malaikat itu berkata) apa yang menyebabkan engkau mengetahuinya (sehingga menjawab pertanyaan secara benar?) Orang itu berkata: Aku membaca Kitab Allah (alQuran), kemudian aku beriman dan membenarkannya. Kemudian ada penyeru di langit yang berseru: Hamba-Ku telah benar. Hamparkanlah hamparan dari surga, pakaikanlah kepadanya pakaian dari surga, dan bukakanlah pintu menuju surga (H.R Ahmad)

Sedangkan takwil yang batil adalah ketika disebutkan dalam dalil yang shahih suatu Sifat Allah yang harus diyakini, justru disimpangkan maknanya pada makna yang lain. Ia mengalihkan makna itu karena ia tidak meyakini atau justru menolaknya. Sebagai contoh, apabila disebutkan dalam dalil alQuran dan hadits yang shahih bahwa Allah memiliki Tangan, maka seorang yang beriman secara benar akan meyakini Sifat itu serta tidak menolaknya. Seakan-akan ia berkata: Kami membaca firman-Mu demikian dan hadits dari Rasul-Mu demikian, kemudian kami benarkan hal itu, ya Allah. Kemudian orang yang beriman secara benar itu tidak membayangkan atau mempertanyakan seperti apa kaifiyat Sifat itu. Tidak ia samakan pula sifat Allah itu dengan sifat makhluk-Nya.

Sebaliknya, kelompok lain akan berusaha menolak penetapan Sifat Allah itu kemudian mentakwilnya secara batil, dengan menyatakan: Itu bukan Tangan secara hakiki, itu maksudnya adalah kekuatan atau nikmat Allah. Sesungguhnya itu adalah contoh takwil secara batil.

Kutipan Penjelasan al-Imam atTirmidzi dalam Sunannya

Untuk semakin memperjelas bahwa apa yang telah kami kemukakan itu sesuai dengan keyakinan para Ulama Ahlul Hadits, kita akan kutipkan penjelasan dari al-Imam atTirmidzi, penyusun Sunan atTirmidzi.

Beliau meriwayatkan hadits berikut dalam Sunan atTirmidzi pada Kitabuz Zakaah atau Abwaabuz Zakaah ‘an Rasulillah shollallahu alaihi wasallam pada Bab ke-28 Maa Ja-a fi Fadhlis Shodaqoh. Sebagian cetakan penerbitan memberi nomor hadits 662:

 إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ الصَّدَقَةَ وَيَأْخُذُهَا بِيَمِينِهِ فَيُرَبِّيهَا لِأَحَدِكُمْ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ مُهْرَهُ حَتَّى إِنَّ اللُّقْمَةَ لَتَصِيرُ مِثْلَ أُحُدٍ وَتَصْدِيقُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ { أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ } وَ { يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ }

Sesungguhnya Allah menerima shodaqoh dengan Tangan Kanannya kemudian Allah tumbuhkan untuk salah seorang dari kalian sebagaimana kalian memelihara kuda kecil (hingga menjadi besar). Sampai-sampai (shodaqoh) sesuap (makanan) akan terus membesar hingga sebesar gunung Uhud. Bukti pembenaran hal itu dalam al-Quran adalah :

أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ

Tidakkah kalian tahu bahwasanya Allah menerima taubat dari hambaNya dan mengambil shodaqoh-shodaqoh (Q.S atTaubah:104).

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ

Allah membinasakan riba dan menumbuhkan shodaqoh-shodaqoh (Q.S al-Baqoroh: 276).

(H.R atTirmidzi no 662)

Bagian penting yang berkaitan dengan pembahasan kita ini adalah pernyataan al-Imam at-Tirmidzi setelah menyebutkan hadits itu. Selanjutnya, al-Imam atTirmidzi menyatakan:

وَقَدْ قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَمَا يُشْبِهُ هَذَا مِنْ الرِّوَايَاتِ مِنْ الصِّفَاتِ وَنُزُولِ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالُوا قَدْ تَثْبُتُ الرِّوَايَاتُ فِي هَذَا وَيُؤْمَنُ بِهَا وَلَا يُتَوَهَّمُ وَلَا يُقَالُ كَيْفَ هَكَذَا رُوِيَ عَنْ مَالِكٍ وَسُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُمْ قَالُوا فِي هَذِهِ الْأَحَادِيثِ أَمِرُّوهَا بِلَا كَيْفٍ وَهَكَذَا قَوْلُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَأَمَّا الْجَهْمِيَّةُ فَأَنْكَرَتْ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ وَقَالُوا هَذَا تَشْبِيهٌ وَقَدْ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي غَيْرِ مَوْضِعٍ مِنْ كِتَابهِ الْيَدَ وَالسَّمْعَ وَالْبَصَرَ فَتَأَوَّلَتْ الْجَهْمِيَّةُ هَذِهِ الْآيَاتِ فَفَسَّرُوهَا عَلَى غَيْرِ مَا فَسَّرَ أَهْلُ الْعِلْمِ وَقَالُوا إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَخْلُقْ آدَمَ بِيَدِهِ وَقَالُوا إِنَّ مَعْنَى الْيَدِ هَاهُنَا الْقُوَّةُ و قَالَ إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَإِذَا قَالَ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ وَأَمَّا إِذَا قَالَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ وَلَا يَقُولُ كَيْفَ وَلَا يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلَا كَسَمْعٍ فَهَذَا لَا يَكُونُ تَشْبِيهًا وَهُوَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابهِ { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ }

Lebih dari 1 Ulama menyikapi hadits ini maupun hadits lain yang semisal dengan ini berupa periwayatan tentang Sifat-Sifat dan Turunnya Allah Ta’ala pada tiap malam ke langit dunia, mereka berkata: Riwayat-riwayat tentang ini adalah sah, wajib diimani, tidak boleh dipersangkakan atau dikatakan : ‘Bagaimana?’. Demikianlah yang diriwayatkan dari Malik, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin alMubarok, bahwasanya mereka menyatakan tentang hadits-hadits semacam ini: Tetapkanlah tanpa bertanya ‘bagaimana’. Demikian juga ucapan para Ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Adapun al-Jahmiyyah, mereka mengingkari riwayat-riwayat ini dan berkata: Ini adalah tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk). Padahal Allah telah menyebutkan tidak hanya di satu tempat dalam KitabNya (tentang) Tangan, Pendengaran, Penglihatan. Al-Jahmiyyah menakwilkan ayat-ayat ini kemudian menafsirkan dengan penafsiran yang berbeda dengan penafsiran para Ulama. Mereka (al-Jahmiyyah) berkata: Sesungguhnya Allah tidaklah menciptakan Adam dengan TanganNya. Mereka (al-Jahmiyyah) berkata: Sesungguhnya makna ‘tangan’ di sini adalah ‘kekuatan’. Ishaq bin Ibrahim (salah seorang guru al-Bukhari) menyatakan: Tasybih adalah jika seseorang berkata Tangan (Allah) seperti tangan (makhluk), Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk). Jika seseorang menyatakan: Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk), maka ini adalah tasybih (penyerupaan). Namun jika seseorang berkata sebagaimana perkataan Allah: Tangan, Pendengaran, Penglihatan, dan dia tidak menyatakan ‘bagaimana’, tidak juga menyamakan Pendengaran (Alla) seperti pendengaran (makhluk), maka ini bukanlah tasybih. Itu adalah seperti yang disabdakan Allah Ta’ala dalam KitabNya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatupun yang semisal denganNya, sedangkan Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.S asy-Syuuro:11)(Sunan atTirmidzi no riwayat (3/71)).

Jelaslah dari pemaparan al-Imam atTirmidzi tersebut bahwa para Ulama hadits tidak ada yang menakwilkan ayat-ayat maupun hadits-hadits tentang Sifat Allah dengan penakwilan yang batil.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan taufiq, pertolongan, dan ampunan kepada segenap kaum muslimin.


Penulis: Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan