Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Bantahan Terhadap Ustadz Khalid Basalamah Terkait Sumpahnya di Hadapan Jamaah Bahwa Mereka Akan Bertemu di Surga (Bagian ke-3 – Selesai)

Ketiga: Anggapan ustadz Khalid Basalamah bahwa Sahabat Nabi berlomba-lomba mengingatkan syafaat kepada orang yang berperang dan akan mati syahid.

Ustadz Khalid Basalamah menyatakan:

….itu yang Nabi shollallahu alaihi wasallam tanamkan kepada para sahabat makanya mereka saling berlomba-lomba kalau ada yang perang begitu mati syahid kalau ada yang jatuh tertusuk pedang kena panah jatuh teman-temannya pada jatuhin badan bersama mereka sambil mengatakan wahai fulan jangan lupa syafaatmu. Dia kejar temannya yang mati itu yang jatuh mumpung dia belum meninggal maka dia jatuhkan juga badannya sambil mengatakan wahai fulan jangan lupa syafaatmu. Dia kan punya 70 orang yang akan dia selamatkan. Dengan penuh keyakinan pasti temannya itu akan mati syahid dan juga akan mendapatkan apa yang dijanjikan.

(selesai nukilan perkataan ustadz Khalid Basalamah).

Benarkah apa yang disampaikan ustadz Khalid Basalamah di atas? Saya sendiri belum pernah mendengar atau membaca dalam hadits yang shahih bahwa kebiasaan para Sahabat Nabi demikian. Apalagi ustadz Khalid Basalamah tidak menyebutkan kisah itu diriwayatkan oleh siapa dan di kitab apa. Beliau tidak menyebutkan rujukannya sama sekali.

Bahkan, indikasi-indikasi yang terlihat dari hadits-hadits shahih menunjukkan bahwa yang disampaikan ustadz Khalid Basalamah tersebut tidaklah benar.

Kita ambil contoh, hadits dari Sahabat al-Bara’ riwayat Muslim. Ketika seorang laki-laki datang dalam pertempuran dan baru bersyahadat di saat itu, kemudian ia berperang hingga terbunuh. Tidak ada seorang pun dari Sahabat Nabi yang melakukan seperti yang diceritakan ustadz Khalid Basalamah bahwa ketika terjatuh sebelum meninggalnya mereka berlomba mengejar dan mengatakan: wahai fulan jangan lupa syafaatmu. Atau dengan kalimat semakna.

Silakan disimak hadits berikut:

عَنِ الْبَرَاءِ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي النَّبِيتِ قَبِيلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّكَ عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، ثُمَّ تَقَدَّمَ فَقَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَمِلَ هَذَا يَسِيرًا، وَأُجِرَ كَثِيرًا

Dari al-Bara’ ia berkata: Seorang laki-laki dari Bani an-Nabiit Anshar datang dan berkata: Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah dan bahwasanya anda adalah hamba dan utusan-Nya. Kemudian laki-laki itu maju dan bertempur hingga terbunuh. Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: Ia telah mengamalkan sesuatu yang sedikit (sebentar), namun diberi balasan kebaikan yang banyak (H.R Muslim)

Nabi tidak menyuruh Sahabat lain saat orang itu akan meninggal: Segeralah ingatkan ia dengan syafaatnya nanti. Atau kalimat semacam itu. Para Sahabat pun tidak ada yang melakukan hal itu atas inisiatifnya sendiri.

Contoh lain, masih dalam hadits Shahih Muslim. Ketika Sahabat Nabi Abu Musa al-Asy’ariy menyampaikan sabda Nabi bahwa pintu surga berada di bawah bayangan pedang, mendengar itu seorang laki-laki bertanya ulang: Apakah engkau benar-benar mendengar Nabi bersabda demikian? Setelah diyakinkan oleh Abu Musa, orang itu mengucapkan salam kepada orang-orang lain, kemudian merusak sarung pedangnya, masuk ke kancah pertempuran, hingga terbunuh. Tidak ada penyebutan bahwa para Sahabat berlomba-lomba mengejar orang itu sebelum terbunuh dan menyatakan: “wahai fulan, jangan lupa syafaatmu” seperti yang disebutkan ustadz Khalid Basalamah di atas. Tidak ada.

Perhatikan hadits berikut:

عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي، وَهُوَ بِحَضْرَةِ الْعَدُوِّ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوفِ. فَقَامَ رَجُلٌ رَثُّ الْهَيْئَةِ فَقَالَ: يَا أَبَا مُوسَى، آنْتَ سَمِعْتَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ هَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَرَجَعَ إِلَى أَصْحَابِهِ، فَقَالَ: أَقْرَأُ عَلَيْكُمُ السَّلَامَ، ثُمَّ كَسَرَ جَفْنَ سَيْفِهِ فَأَلْقَاهُ، ثُمَّ مَشَى بِسَيْفِهِ إِلَى الْعَدُوِّ فَضَرَبَ بِهِ حَتَّى قُتِلَ

Dari Abu Bakr bin Abdillah bin Qoys dari ayahnya ia berkata: Aku mendengar ayahku pada saat akan berhadapan dengan musuh berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya pintu-pintu surga berada di bawah bayangan pedang. Kemudian bangkitlah seorang laki-laki yang berperawakan lemah dan berkata: Wahai Abu Musa, apakah engkau mendengar Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda demikian? Ia berkata: Ya. Kemudian orang itu kembali pada rekan-rekannya dan berkata: Aku sampaikan salam kepada kalian. Kemudian ia mematahkan sarung pedangnya dan melemparkannya. Kemudian ia berjalan dengan pedangnya ke arah musuh, ia ayunkan hingga ia terbunuh (H.R Muslim)

Sisi lain yang perlu dicermati adalah larangan memastikan seseorang yang terbunuh di pertempuran adalah orang yang jelas mati syahid. Jangan memastikan bahwa fulan adalah orang yang mati syahid. Selain orang-orang yang dipastikan oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam.

Al-Imam al-Bukhari menuliskan bab khusus dalam Shahihnya dengan penamaan:

بَابُ لاَ يَقُولُ فُلاَنٌ شَهِيدٌ

Bab: Tidak boleh menyatakan bahwa fulaan telah mati syahid (salah satu Bab dalam Kitabul Jihad was-Siyar Shahih al-Bukhari)

Salah satu hadits yang disampaikan pada bab itu adalah kisah dalam salah satu pertempuran di masa Nabi. Seseorang yang berada di barisan kaum muslimin berperang dengan gagah berani. Hingga hal itu menakjubkan para Sahabat yang lain. Tapi Nabi menyatakan: Dia adalah penghuni neraka. Salah seorang Sahabat yang terkejut dengan ucapan Nabi itu akhirnya berusaha terus mengikuti dan memperhatikan gerak-gerak orang tersebut. Ternyata, suatu ketika saat ia sudah terluka sangat parah, ia tidak kuat menahan itu hingga bunuh diri (H.R al-Bukhari dan Muslim). Hal itu menunjukkan bahwa kita tidak bisa memastikan seorang muslim pasti segera masuk surga atau pasti mati syahid. Kita hanya bisa berharap, semoga ia termasuk penghuni surga dan terjauhkan dari neraka.

Dalam suatu hadits yang lain dari Umar bin al-Khotthob dinyatakan:

لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ أَقْبَلَ نَفَرٌ مِنْ صَحَابَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا فُلَانٌ شَهِيدٌ فُلَانٌ شَهِيدٌ حَتَّى مَرُّوا عَلَى رَجُلٍ فَقَالُوا فُلَانٌ شَهِيدٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلَّا إِنِّي رَأَيْتُهُ فِي النَّارِ فِي بُرْدَةٍ غَلَّهَا أَوْ عَبَاءَةٍ

Pada saat hari (perang) Khaibar, sekelompok para Sahabat Nabi datang dan berkata: Fulan syahid, fulan syahid, hingga melewati seseorang dan berkata: Fulan telah mati syahid. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Sekali-kali tidak, sesungguhnya aku melihatnya di neraka karena ada selendang yang dia ambil secara curang (ghulul) (H.R Muslim).

Kita hanya tahu secara lahiriah yang tampak saja. Tidak tahu bagaimana batin orang tersebut dan bagaimana akhir kehidupannya. Hanya Allah saja yang tahu. Dalam beberapa keadaan, Nabi diberitahu oleh Allah siapa saja yang mati syahid dan siapa yang tidak mati syahid meski secara lahiriah terbunuh di medan jihad. Para Sahabat Nabi tidak bisa memastikan itu. Mereka tidak bisa memastikan bahwa seseorang jelas mati syahid. Apalagi mengingatkan syafaat kepada orang yang akan terbunuh di dalam pertempuran.

Dalam hadits-hadits shahih riwayat al-Bukhari maupun Muslim memang disebutkan bahwa ada orang-orang tertentu yang sudah merasakan tanda-tanda akan masuk surga ketika terbunuh atau akan terbunuh dalam pertempuran. Misalkan mencium bau surga di Uhud, seperti yang terjadi pada paman Anas bin Malik. Atau yang berteriak: Fuztu wa Robbil Ka’bah (Aku telah berhasil mencapainya, demi Allah Sang Pemilik Ka’bah). Tapi itu dirasakan sendiri oleh pelakunya. Dan Sahabat yang ada di sekitarnya tidak kemudian berlomba atau mengejarnya sambil mengingatkan akan syafaat bagi orang yang mati syahid. Tidak demikian.

Kemudian, memang benar bahwa di antara keutamaan yang didapatkan oleh orang yang mati syahid adalah diberi kewenangan (atas izin Allah) untuk memberi syafaat bagi 70 orang. Tapi, 70 orang ini bukan untuk setiap orang. Disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih bahwa itu untuk 70 orang kerabatnya atau ahli baitnya. Sehingga, tidak benar bahwa para Sahabat mengejar orang yang diyakini akan mati syahid kemudian mengingatkan akan syafaatnya terhadap 70 orang. Karena yang ikut perang dan terbunuh tidak selalu kerabatnya.

Perhatikan hadits-hadits berikut:

لِلشَّهِيدِ عِنْدَ اللَّهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دَفْعَةٍ، وَيَرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ القَبْرِ، وَيَأْمَنُ مِنَ الفَزَعِ الأَكْبَرِ، وَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ تَاجُ الوَقَارِ، اليَاقُوتَةُ مِنْهَا خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا، وَيُزَوَّجُ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ زَوْجَةً مِنَ الحُورِ العِينِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِينَ مِنْ أَقَارِبِهِ

Bagi orang yang mati syahid, ia akan mendapatkan 6 (keutamaan):

  1. Akan diampuni di permulaan tetesan (darahnya),
  2. Ditampakkan tempat duduknya di surga,
  3. Dilindungi dari siksaan kubur dan merasa aman dari kengerian yang terbesar,
  4. dipasangkan di kepalanya mahkota ketenangan terbuat dari yaqut yang lebih baik dari dunia dan seluruh isinya,
  5. Dinikahkan dengan 72 istri dari bidadari,
  6. diberikan kewenangan memberi syafaat untuk 70 orang kerabatnya

(H.R atTirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dari al-Miqdam bin Ma’dikarib, lafadz sesuai riwayat atTirmidzi, dishahihkan Syaikh al-Albaniy)

يُشَفَّعُ الشَّهِيدُ فِي سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ

Orang yang mati syahid diberi kewenangan untuk memberi syafaat kepada 70 orang dari ahli baitnya (H.R Abu Dawud dari Abud Dardaa’, dishahihkan Syaikh al-Albaniy)

Al-Munawiy rahimahullah menyatakan:

شمل الأصول والفروع والزوجات وغيرهم من الأقارب ويحتمل أن المراد بالسبعين التكثير وفيه أن الإحسان إلى الأقارب أفضل منه إلى الأجانب

(yang berhak mendapat syafaatnya itu adalah) leluhurnya (ayah, kakek, ke atas, -pen), keturunannya, para istrinya, dan kerabat lainnya. Bisa jadi penyebutan angka 70 itu (bukanlah pembatasan), hanya ungkapan banyaknya (orang yang bisa mendapat syafaatnya, -pen). Di dalam hadits ini juga terkandung pelajaran bahwa berbuat baik pada para kerabat lebih utama dibandingkan kepada yang bukan kerabat (Faidhul Qodir 6/462).

Wallaahu A’lam.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan taufiq, rahmat, pertolongan, dan ampunan-Nya kepada segenap kaum beriman.


Penulis: Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan