Sepenggal Kisah Tentang Asiyah Bintu Muzahim, Istri Fir’aun yang Beriman
Allah Ta’ala berfirman:
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ آمَنُوا امْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Dan Allah memberikan permisalan tentang orang-orang yang beriman yaitu istri Fir’aun, ketika ia berkata: Wahai Rabbku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu rumah di surga. Selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya, serta selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim (Q.S atTahrim ayat 11)
Para ahli tafsir menjelaskan bahwa istri Firaun itu adalah Asiyah bintu Muzahim. Di antara Ulama tafsir yang menyatakan demikian adalah al-Imam al-Baghowiy dan Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy rahimahumallah. Perhatikan pengucapan yang benar, istri Firaun tersebut adalah Asiyah bukan Aisyah. Dua pengucapan yang mirip tapi berbeda.
Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda:
كَمَلَ مِنَ الرِّجَالِ كَثِيرٌ، وَلَمْ يَكْمُلْ مِنَ النِّسَاءِ غَيْرُ مَرْيَمَ بِنْتِ عِمْرَانَ، وَآسِيَةَ امْرَأَةِ فِرْعَوْنَ، وَإِنَّ فَضْلَ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ
Banyak para lelaki yang sempurna. Namun, tidaklah sempurna dari kalangan wanita kecuali Maryam putri Imran dan Asiyah istri Firaun. Sesungguhnya keutamaan Aisyah terhadap para wanita bagaikan keutamaan ats-Tsariid terhadap seluruh makanan (H.R al-Bukhari dan Muslim, lafadz sesuai riwayat al-Bukhari)
Salman al-Farisiy radhiyallahu anhu menyatakan:
كَانَتِ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ تُعَذَّبُ بِالشَّمْسِ، فَإِذَا انْصَرَفَ عَنْهَا أَظَلَّتْهَا الْمَلَائِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا، وَكَانَتْ تَرَى بَيْتَهَا فِي الْجَنَّةِ
Istri Firaun disiksa di panas terik matahati. Ketika orang-orang itu telah pergi meninggalkannya, para Malaikat datang menaungi wanita tersebut dengan sayap-sayapnya. Ia bisa melihat rumahnya di surga (riwayat atThobariy dalam Tafsirnya dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya)
Al-Qosim bin Abi Bazzah –seorang tabi’i- menyatakan:
كَانَتِ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ تَسْأَلُ مَنْ غَلَبَ؟ فَيُقَالُ: غَلَبَ مُوسَى وَهَارُونُ، فَتَقُولُ: آمَنْتُ بِرَبِّ مُوسَى وَهَارُونَ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا فِرْعَوْنُ فَقَالَ: انْظُرُوا أَعْظَمَ صَخْرَةٍ تَجِدُونَهَا، فَإِنْ مَضَتْ عَلَى قَوْلِهَا فَأَلْقُوهَا عَلَيْهَا، وَإِنْ رَجَعَتْ عَنْ قَوْلِهَا فَهِيَ امْرَأَتُهُ، فَلَمَّا أَتَوْهَا رَفَعَتْ بَصَرَهَا إِلَى السَّمَاءِ فَأَبْصَرَتْ بَيْتَهَا فِي الْجَنَّةِ، فمضت على قولها وانتزعت رُوحُهَا وَأُلْقِيَتِ الصَّخْرَةُ عَلَى جَسَدٍ لَيْسَ فِيهِ رُوحٌ
Istri Firaun bertanya: Siapakah yang menang (antara Nabi Musa dan Harun melawan Firaun)? Ada yang menyatakan: Musa dan Harun yang menang. Maka istri Firaun itu berkata: Aku beriman kepada Rabb Musa dan Harun. Firaun pun mengirim utusan kepadanya sambil berpesan: Lihatlah batu terbesar yang bisa engkau dapatkan. Jika ia tetap dengan ucapannya (dalam keimanan), lemparkanlah batu besar itu kepadanya. Jika ia meralat ucapannya, maka ia tetap istriku. Ketika orang-orang itu datang menemuinya, istri Firaun itu mengangkat pandangannya ke langit dan melihat rumahnya di surga. Ia pun tetap kokoh dalam ucapannya (beriman). Kemudian ruhnya pun tercabut. Sehingga saat mereka melemparkan batu ke tubuh wanita itu, batu itu menimpa jasad yang sudah tidak memiliki ruh (dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir atThobariy)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy rahimahullah menyatakan:
Allah mensifati (istri Firaun) dengan keimanan dan tunduk; patuh; merendahkan diri kepada Rabbnya. Dia meminta kepada Rabbnya permintaan yang paling mulia. Yaitu masuk surga dan berada dekat dengan Rabb yang mulia. Dia juga meminta agar Allah menyelamatkan dia dari fitnah Firaun dan amalannya yang buruk serta (berlindung) dari fitnah setiap pihak yang dzhalim. Allah pun mengabulkan permohonan dia. Maka ia pun hidup dalam keimanan yang sempurna, kekokohan yang paripurna dan keselamatan dari fitnah-fitnah (Tafsir as-Sa’diy)
Kisah Asiyah yang beriman meskipun suaminya kafir itu menunjukkan bahwa Allah Ta’ala memberikan taufiq kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah memberikan taufiq kepada seorang wanita untuk beriman di tengah lingkungan kafir. Hal itu juga menunjukkan bahwa dosa seseorang tidaklah dibebankan kepada orang lain. Artinya, dosa kekafiran Fir’aun tidaklah dibebankan kepada istrinya yang beriman. Masing-masing akan mendapatkan balasan dari Allah yang sesuai. Bagi yang beriman akan mendapat balasan kebaikan yang berlipat, sedangkan yang kafir akan mendapatkan siksaan yang dahsyat.
Asiyah terjebak dalam lingkungan yang kafir. Sulit baginya melepaskan diri secara fisik. Namun, ia tetap mempertahankan keimanannya. Kisah Asiyah ini jangan sampai disalahpahami oleh sebagian pihak untuk membolehkan seorang muslimah menikah dengan laki-laki kafir. Karena tidak sah pernikahan seorang wanita muslimah dengan laki-laki kafir dalam syariat Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
…mereka (para istri yang beriman) tidak halal bagi mereka (para suami yang kafir). Mereka (para suami yang kafir) tidak pula halal bagi mereka (para istri yang beriman)… (Q.S al-Mumtahanah ayat 10)
Wallaahu A’lam
Disampaikan dalam kajian Ummahat di ma’had al I’tishom Sumberlele Kraksaan Probolinggo pada hari Sabtu, 21 Jumadal Akhirah 1444 H oleh Abu Utsman Kharisman