Keadilan Dalam Kritikan (Bagian 3)
Kritik membangun sebagai bagian nasehat sama sekali tidak identik dengan celaan apalagi pembunuhan karakter. Sikap adil dipertahankan dalam mengkritik walaupun profil sosok yang dikritik tidak kita sukai. Ini bukan hanya etika pergaulan belaka, bahkan itu adalah bagian syariat Islam yang mulia.
Allah Jalla Jalaluhu berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kalian menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS Al Maidah: 8)
3. Adil Dalam Menjaga Kehormatan Pihak yang Dikritik
Jika pihak yang dikritik sesama ahlussunnah, terlebih yang dikenal keilmuan dan dakwahnya, serta ketakwaannya dengan sikap tunduk terhadap kebenaran, maka sikap adil dalam aspek ini adalah dengan sedapat mungkinmenjaga kehormatan mereka.
Jangan sampai karena tendensi dan kepentingan selain keikhlasan kepada Allah, kita terlibat dalam dosa dan permusuhan. Khawatirkan akibat buruknya berupa ancaman berbaliknya kebersamaan menjadi kebencian dan persatuan menjadi permusuhan.
Mari mengingat ucapan Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah rahimahullah berikut,
فَكُلُّ مُتَساعِدَين عَلى باطِلٍ، مُتَوادّيْن عَلَيْهِ لا بُدَّ أنْ تَنْقَلِبَ مَوَدَّتُهُما بُغْضًا وعَداوَةً
“Setiap individu yang saling membantu dalam kebatilan, yang mereka saling menyukai kebersamaannya dalam hal itu, pasti rasa suka di antara mereka akan berbalik menjadi kebencian dan permusuhan.” (Madarij As Salikin 1/453)
Ayo sesama ahlussunnah berdiskusi dengan elegan, jantan sekaligus sportif. Dalam diskusi yang penuh ketulusan untuk menjaga kebenaran itu, mesti diperlukan konfirmasi. Jika ada sesuatu yang janggal, bisa secara baik disampaikan kritikan ilmiahnya. Sebaliknya jika kita yang keliru mengerti, mari akui dan minta udzur agar dimaklumi.
Selama proses diskusi belum tuntas, atau ada sisi ilmiah yang menyebabkan kritikan kita memang pantas untuk belum diterima, bukan akhlak terpuji bila seseorang mengumbar kecurigaannya diketahui pihak lain yang bukan berposisi sebagai penengah tidak pula yang bisa dirujuk sebagai penasehat dan pembimbing yang adil. Karena hal tersebut bisa masuk kategori ghibah yang terlarang bahkan mengumbar aib saudara kita sesama muslim.
Bagaimana lagi jika ternyata hal itu hanya kesalahpahaman? Sehingga adillah dalam kritakan anda.
Imam Abdurrahman Ibnu Abi Hatim Ar Razi rahimahullah meriwayatkan,
ﻗﺎﻝ اﻟﺤﺴﻦ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻌﺰﻳﺰ اﻟﺠﺮﻭﻱ: ﻛﺎﻥ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻳﻨﻬﻰ اﻟﻨﻬﻲ اﻟﺸﺪﻳﺪ ﻋﻦ اﻟﻜﻼﻡ ﻓﻲ اﻷﻫﻮاء، ﻭﻳﻘﻮﻝ ﺃﺣﺪﻫﻢ ﺇﺫا ﺧﺎﻟﻔﻪ ﺻﺎﺣﺒﻪ، ﻗﺎﻝ: ﻛﻔﺮﺕ، ﻭاﻟﻌﻠﻢ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻘﺎﻝ ﻓﻴﻪ: ﺃﺧﻄﺄﺕ
Berkata Al Hasan bin Abdil Aziz Al Jarwi: Imam Asy Syafi’i (rahimahullah) adalah pribadi yang sangat keras melarang pembahasan (diskusi ilmiah) dengan hawa nafsu. Sampai apabila salah seorang dari mereka (yang berselisih) berbeda pandangan dengan saudaranya dia akan mengatakan “engkau telah kafir!” Sementara ilmu (yang diajarkan Asy Syafi’i) cukup dengan dikatakan terhadap orang itu: “anda salah!”(Adab AsySyafi’i wa Manaqibuhu hal. 142).
Artikel lain yang semoga juga bermanfaat: Keadilan Dalam Kritikan (Bagian 2)
Kedepankan nasehat tertutup terhadap kekeliruan sosok ahlussunnah yang belum banyak diketahui khalayak
Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hanbali rahimahullah menjelaskan:
“Al Fudhail (bin ‘Iyadh) rahimahullah pernah berkata,
اﻟﻤﺆﻣﻦ ﻳﺴﺘﺮ ﻭﻳﻨﺼﺢ ﻭاﻟﻔﺎﺟﺮ ﻳﻬﺘﻚ ﻭﻳﻌﻴﺮ
‘(Karakter) orang beriman itu suka menutupi dan memberikan nasehat. Sedangka (kebiasaan) orang fajir (yang suka melanggar syariat) suka membongkar (aib) dan mencela.’
Jadi hal yang disebutkan Al Fudhail ini merupakan bagian pembeda antara nasehat dan celaan. Yaitu bahwa nasehat itu seringkali terhubung erat dengan sikap menutupi. Sedangkan celaan erat kaitannya dengan sikap mengumbar.
Sehingga di masa dulu diungkapkan; ‘Barangsiapa yang mengajak saudaranya di hadapan khalayak ramai, berarti dia telah mencelanya.’ atau dengan ibarat yang semakna dengan itu.
Demikian pula dahulu generasi salaf mereka membenci tindakan amar ma’ruf nahi mungkar dengan cara semacam ini. Dan mereka menyukai dilakukan secara tersembunyi, hanya antara pihak yang mengajak dengan yang diajak. Karena cara yang demikin itu menjadi salah satu dari sekian ciri nasehat. Sebab seorang penasehat (sejati) dia tidak memiliki tendensi untuk menyebarkan aib-aib pihak yang dia nasehati. Hanyalah yang menjadi tujuannya adalah menghilangkan pengaruh buruk (mafsadah) yang terjadi pada hal itu.
Adapun sikap menyebarluaskan dan memaparkan aib-aib itu termasuk tindakan yang telah Allah demikian pula Rasul-Nya alaihishsholatu wassalam mengharamkannya.
Allah berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَن تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
‘Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita dusta tentang) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah Mahatahu, sedangkan kalian tidak mengetahui.’ (QS An Nur: 19)”
(Al Farq Baina An Nashihah wa At Ta’yir 1/17)
Artikel yang relevan: Keadilan Dalam Kritikan (Bagian 1)
Berusaha maksimal menjaga kehormatan ulama ketika menyampaikan nasehat kepadanya
Adapun terhadap ulama atau sosok berilmu yang berjasa besar dalam dakwah tauhid dan sunnah, gaya dan cara penyampaian nasehat perlu disesuaikan. Yaitu mesti dengan menjaga kehormatan mereka, demi kemaslahatan yang lebih luas bagi ummat.
Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
“Termasuk nasehat pula kepada ulama muslimin: (dengan cara) seseorang tidak mencari-cari ‘aurat-aurat’ (aib) mereka maupun kesalahan-ksalahan, ataupun yang keliru dari pendapatnya. Karena mereka tidaklah maksum (bebas dari kesalahan). Terkadang mereka bisa keliru, bisa pula salah. Sedangkan seluruh anak keturunan Adam memiliki banyak kesalahan. Sementara yang terbaik dari kalangan yang melakukan kesalahan adalah orang-orang yang bertobat.
Apalagi bagi sosok yang mempelajari ilmu agama, sesungguhnya bukan kewajiban bagi mereka untuk menjadi orang yang paling lantang menyuarakan kesalahan-kesalahan yang dilakukan gurunya, kemudian dia (merasa pantas) melarang beliau melakukannya. (Memang) berapa banyak orang (berilmu) yang memperoleh manfaat dari (saran) murid-muridnya. Mereka mengingatkannya tentang beberapa perkara, tentang kesalahan ilmiah, ataupun kesalahan penerapan, terhadap kesalahan-kesalahan yang banyak. Karena sosok tokoh tetaplah manusia.
Hanya saja suatu hal yang penting, hendaklah jangan sampai motivasinya mencari-cari kesalahan. Karena sesungguhnya telah disebutkan dalam sebuah hadits:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ، لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ، وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ ؛ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ
“Wahai orang yang hanya beriman dengan lisannya namun belum masuk keimanan ke dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing orang-orang beriman! Jangan pula kalian mencari-cari aib-aib mereka! Karena sesungguh barang siapa yang mencari-cari aib-aib mereka Allah akan mencarikan aibnya. Sedangkan orang yang Allah carikan aibnya, akan Dia tampakkan (walaupun kejadiannya tersembunyi) di rumahnya. (riwayat yang disebutkan Syaikh, ‘di rumah ibunya’ – pen)” (HR Abu Dawud, At Tirmidzi, dan Ahmad dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shoghir no. 3079-pen).
Hadits ini terkait (hak) muslimin secara umum, bagaimana jika (pelanggarannya) terhadap para ulama?
Sesungguhnya pihak-pihak yang mengais kesalahan-kesalahan ulama untuk disebarluaskan bukan hanya berbuat jahat terhadap pribadi ulama itu saja. Bahkan (selain) menyakiti ulama tersebut secara pribadi, juga dia telah bertidak keji terhadap ilmu yang mereka emban, serta berbuat jahat terhadap syariat yang dipelajari dari sisi mereka.
Karena sesungguhnya ulama jika tidak lagi dipercaya oleh masyarakatnya, dan apabila ummat terlanjur mengetahui aib-aib mereka – yang sebenarnya bisa saja bukanlah aib-aib, kecuali sebatas menurut sudut pandang ambisius tertentu – niscaya akan berkurang kepercayaan mereka kepada para ulama, begitu pula terhadap ilmu yang mereka miliki. Sehingga jelas yang demikian ini merupakan kejahatan terhadap syariat yang beliau-beliau emban berupa sunnah Ar Rasul shallallahu alaihi wasallam.
Karena itulah, menjadi bagian nasehat anda kepada para imam muslimin dari kalangan para ulama, hendaklah anda berusaha menjaga kehormatan mereka. Dan hendaklah anda benar-benar berupaya menutupi aib mereka secara maksimal. Meski (tetap saja) jangan diam ketika anda mendengar sedikitpun kesalahan beliau, justru hendaklah anda mengingatkan sosok berilmu itu.
Dan silakan membahasnya bersama beliau, serta bertanyalah kepadanya. Bisa jadi ternukil dari beliau beberapa perkara yang sebetulnya tidak benar. (Sebagaimana) terkadang dinukil dari kami dan (ulama) selain kami hal-hal yang tidak benar.
Hanya saja ternyata masyarakat – kita memohon keselamatan kepada Allah – apabila mereka memiliki kecenderungan nafsu, dan menggemari sesuatu, kemudian mereka tahu bahwa salah seorang yang berilmu diterima ucapannya oleh masyarakat, mereka akan menyandarkan (pembolehan) perkara tersebut kepada orang berilmu tersebut. Kemudian tatkala anda bertanya langsung tentang perkara yang disandarkan sebagai ucapan beliau, ternyata beliau menyangkal, “Sama sekali aku tidak pernah mengatakan hal demikian!”
Dan kadangkala orang yang bertanya bisa jadi salah, misalkan dalam mengungkapkan gambaran pertanyaan. Sehingga tokoh berilmu (yang ditanya) menjawab sekadar menyesuaikan pertanyaan (yang digambarkan), sementara si-penanya memahami sebatas yang dirinya sendiri bayangkan. Sehingga terjadilah kekeliruan. Terkadang juga seorang yang berilmu menjawab secara benar setelah memahami pertanyaan. Hanya saja si-penanya belum memahami secara tepat. Sehingga terjadilah kekeliruan dalam menukil (jawaban).”
(Syarh Riyadhush-sholihin 2/393-395)
Artikel yang relevan: Tegurlah Aku Jika Menyimpang Dari Kebenaran
Boleh kritik terbuka namun hindari laknat terhadap pelaku bid’ah dan kemungkaran terang-terangan
Sedangkan terhadap para musuh ulama ahlussunnah, tidak kita terima ilmu darinya.
Kritikan terhadap tokoh-tokoh kebid’ahan yang telah membangkang peringatan ulama mesti dibedakan dari kritikan terhadap ahlussunnah yang berilmu dan memiliki andil besar dalam kebaikan ummat. Karena tidak ada yang lebih bersabar dalam menyampaikan nasihat dan kritikan secara hikmah dibandingkan para ulama.
Jika ulama telah sampai pada batas kritikan keras berupa peringatan (baca: tahdzir), bukanlah bentuk keadilan bagi pihak selain ulama untuk membela ahli bid’ah dengan membawa slogan
“نصحح ولا نهدم”
(kita berupaya memperbaiki bukan menghacurkan).
Ataupun yang coba diperhalus dengan istilah
“نصحح ولا نجرح”
(kita berusaha memperbaiki bukan melukai).
Ketahuilah bahwa slogan pertama diperkenalkan sosok da’i takfiri dari Suriah yang bermukim di Saudi, ‘Adnan bin Muhammad ‘Ar’ur dan di dukung seorang da’i Yaman Abul Hasan As Sulaimani Al Mishri Al Ma’bari hadahumallah.
Sementara yang kedua dimodifikasi oleh seorang dai dari Yordan yang lahir di Aleppo Suriah Ali Hasan bin Abdul Hamid alaihi minallahi ma yastahiqquh. Padahal para ulama telah menilainya sebagai seruan yang mengorbankan agama untuk kepentingan dunia / mudahanah.”
(Lihat Qo’idah Nushohhih wa La Nuhaddim ‘Inda Abil Hasan karya Syaikh Rabi’ Al Madkholi hafidzahullah)
Abdullah bin Idris bin Yazid Al Kufi Al Audi rahimahullah (w. 192 H) ketika ditanya tentang hukum sholat di belakang imam yang berpemahaman Jahmiyah, beliau menjawab:
ﺃﻣﺴﻠﻤﻮﻥ ﻫﺆﻻء؟ ﻻ، ﻭﻻ ﻛﺮاﻣﺔ، ﻻ ﻳﺼﻠﻰ ﺧﻠﻔﻬﻢ
“Apakah mereka (kaum Jahmiyah) itu masih muslim? Tidak. Tidak pantas dimuliakan. Janganlah seseorang sholat di belakang mereka!” (As Sunnah li ‘Abdillah bin Ahmad riwayat no. 27 juz 1 hal. 113)
‘Ali bin Syaqiq rahimahullah pernah mendengar Abdullah Ibnul Mubarok rahimahullah menyampaikan kritikan terbuka di hadapan banyak orang, beliau menyatakan:
دَعُوا حَدِيثَ عَمْرِو بْنِ ثَابِتٍ، فَإِنَّهُ كَانَ يَسُبُّ السَّلَفَ
“Tinggalkanlah oleh kalian riwayat hadits dari ‘Amr bin Tsabit! Karena sesungguhnya dia mencela salaf.” (Muqoddimah Shahih Muslim 1/12)
Abdullah bin Muhammad bin Ali Al Anshori Al Harawi (w. 481) secara khusus dalam Kitabnya ‘Dzammu Al Kalam wa Ahlih’ beliau rahimahullah menulis bab
‘ﻟﻴﺲ ﻷﻫﻞ اﻟﺒﺪﻉ ﻏﻴﺒﺔ’
(tidak ada (larangan) ghibah terhadap ahli bid’ah).
Di dalam bab tersebut beliau menyebutkan sekian banyak riwayat dari para Imam Ahlussunnah.
Demikianlah, nasehat yang adil bagi tokoh-tokoh kesesatan adalah mengkritik mereka secara terbuka. Agar kepentingan ummat yang lebih luas terselamatkan, dibandingkan mempertimbangkan kehormatan seseorang yang telah tersesat.
Namun batas keadilan yang tetap perlu dijaga; selama sosok yang dikritik masih muslim, belum sampai murtad, kita tidak melampaui batas dalam kritikan. Jika perlu mengkritik, sampaikan secara proporsional, jangan sampai keluar dari batas semestinya. Kalau terpaksa kita membalas celaannya jangan sampai melaknatnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga sudah menyebutkan salah satu contoh sikap para ulama terhadap Yazid bin Mu’awiyah yang telah melakukan beberapa perkara mungkar. Diantaranya: peristiwa (penumpasan muslimin) di Al Hurrah, selain masifnya tengara meninggalkan sholat, minum khomr dan sekian kemaksiatan lainnya yang dilakukan secara terang-terangan. Beliau rahimahullah menyatakan,
ﻭﻟﻬﺬا ﻗﻴﻞ للإﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ: ﺃﺗﻜﺘﺐ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻋﻦ ﻳﺰﻳﺪ؟ ﻓﻘﺎﻝ: ﻻ ﻭﻻ ﻛﺮاﻣﺔ ﺃﻭﻟﻴﺲ ﻫﻮ اﻟﺬﻱ ﻓﻌﻞ ﺑﺄﻫﻞ اﻟﺤﺮﺓ ﻣﺎ ﻓﻌﻞ ﻭﻗﻴﻞ ﻟﻪ – ﺃﻱ ﻓﻲ ﻣﺎ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ – ﺃﻣﺎ ﺗﺤﺐ ﻳﺰﻳﺪ؟ ﻓﻘﺎﻝ: ﻭﻫﻞ ﻳﺤﺐ ﻳﺰﻳﺪ ﺃﺣﺪ ﻳﺆﻣﻦ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻭاﻟﻴﻮﻡ اﻵﺧﺮ؟ ﻓﻘﻴﻞ: ﻓﻠﻤﺎﺫا ﻻ ﺗﻠﻌﻨﻪ؟ ﻓﻘﺎﻝ: ﻭﻣﺘﻰ ﺭﺃﻳﺖ ﺃﺑﺎﻙ ﻳﻠﻌﻦ ﺃﺣﺪا. ﻭﻣﺬﻫﺐ ﺃﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ ﻭاﻟﺠﻤﺎﻋﺔ: ﺃﻧﻬﻢ ﻻ ﻳﻜﻔﺮﻭﻥ ﺃﻫﻞ اﻟﻘﺒﻠﺔ ﺑﻤﺠﺮﺩ اﻟﺬﻧﻮﺏ ﻭﻻ ﺑﻤﺠﺮﺩ اﻟﺘﺄﻭﻳﻞ؛ ﺑﻞ اﻟﺸﺨﺺ اﻟﻮاﺣﺪ ﺇﺫا ﻛﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﺣﺴﻨﺎﺕ ﻭﺳﻴﺌﺎﺕ ﻓﺄﻣﺮﻩ ﺇﻟﻰ اﻟﻠﻪ. ﻭﻫﺬا اﻟﺬﻱ ﺫﻛﺮﻧﺎﻩ ﻫﻮ اﻟﻤﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﻴﻦ اﻟﻨﺎﺱ ﻓﻲ ﻣﻘﺘﻞ اﻟﺤﺴﻴﻦ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ
“Karenanyalah ketika ditanyakan kepada Imam Ahmad: ‘Apakah boleh saya menulis hadits dari Yazid?’ beliaupun menjawab: ‘Tidak, tidak pantas dihormati! Bukankah dialah yang telah melakukan (penumpasan) terhadap muslimin di Hurrah dengan perbuatannya?’
Ada pula yang menanyakan kepada beliau – sebagaimana sebagian orang menyebutkannya – ‘Apakah anda menyukai Yazid? Beliaupun menjawab: ‘Apakah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir pantas menyukai Yazid?’ Lantas ditanyakan juga kepada beliau: ‘Lalu kenapa anda tidak melaknatnya?’ Beliaupun menjawab: ‘Kapan engkau pernah menyaksikan ayahmu melaknat seseorang?’
Dan demikianlah keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah; bahwa mereka tidak akan mengkafirkan ahli kiblat (muslim yang masih sholat menghadap kiblat) hanya karena dosa-dosanya, tidak pula sekadar karena kesalahan memahami (takwil ilmiah).
Bahkan satu individu (muslim) apabila memiliki kebaikan-kebaikan disamping juga keburukan-keburukan maka hakekat urusannya dipasrahkan kepada Allah.
Dan hal yang telah kami sebutkan ini merupakan perkara yang telah disepakati orang-orang muslim dalam menyikapi peristiwa terbunuhnya Al Husain radhiyallahu anhu.”
(Majmu’ Al Fatawa 27/479)
والعلم عند الله
Ditulis oleh: Abu Abdirrohman Sofian