Keadilan Dalam Kritikan (Bagian 2)
Alhamdulillah, sebagai upaya meluruskan pemahaman, telah dipaparkan pada bagian pertama nilai penting kritik membangun ataupun nasehat serta keadilan dalam menerapkan maupun menerimanya. Juga telah diulas secara ringkas ketidakadilan pemahaman dan pelurusannya terkait slogan “mengarahkan ucapan yang bersifat umum dari seseorang yang dikritik menuju ucapannya yang lebih rinci.”
Ternyata pemahaman tersebut tidak adil, bersifat terlalu lembek dari pihak yang menyampaikan kritikan. Baca kembali pembahasannya di: https://old.itishom.org/blog/artikel/manhaj/keadilan-dalam-kritikan-bagian-1/
Sekarang masih dalam ulasan tentang sifat yang serupa, berikut ini akan dibahas sikap terlalu melunak dari sisi penerima kritikan. Semoga ketika kita menerima kritikan, keadilan sikap bisa kita terapkan.
2. “Kita bebas menerima kritikan dari siapapun.”
Sejatinya ini merupakan perluasan dari slogan “terimalah kebenaran dari siapapun.” Bahkan untuk menunjukkan keseriusannya dalam menerima nasehat dari siapapun, sebagian pihak tak jarang sampai menyediakan ‘kotak saran’, bahkan sebagian lain mempersilakan murid-muridnya membuat ‘surat kaleng’. Surat tanpa mencantumkan identitas penulis, menjadi bebaslah dari tuntutan tanggung jawab. Menjadi sulitlah proses konfirmasi dan diskusi sehat. Bahkan akan menumbuhkan pribadi pengecut dan tidak bertanggungjawab. Tentulah cara dan pengajaran semacam ini lebih pantas dikritik, dan dipertanyakan dari mana bimbingan ulamanya?
Seperti sebelumnya, sikap pertengahan tetap diperlukan dalam hal ini. Dalam hal-hal yang bersinggungan dengan kepentingan umum, kebutuhan evaluasi, bisa saja hal itu dijalani. Namun bukan berarti dibuka pada semua perkara. Ada banyak perkara yang sebenarnya telah jelas dasar hukumnya. Atau sudah ada dasar bimbingan yang menjadi acuannya. Di mana tidak semua landasan perlu dibuka untuk konsumsi publik. Sehingga dalam konteks semacam ini menutup pintu kritik sebenarnya adalah langkah bijak menghindari polemik yang merugikan kelangsungan kegiatan positif yang telah dijalani.
Memang bagi yang dinasehati, apabila isi nasehatnya adalah kebenaran hakiki, wajib menerimanya bagaimanapun keadaan si pemberi nasehat. Sekali lagi, jika esensi nasehat itu benar-benar alhaq, menjadi keharusan bagi semua pihak, siapapun dia, untuk menerima nasehat dan tunduk kepada kebenaran. Jangan sampai kita menolak mengakui kebenaran yang merupakan upaya takwa kepada Allah hanya karena meremehkan pihak yang mengkritik kita.
Allah Jalla wa’Ala berfirman,
وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْإِثْمِ ۚ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ ۚ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. (QS Al Baqoroh: 206)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ketika mengajarkan tafsir ayat ini beliau rahimahullah menyebutkan sekian faedah, diantaranya,
ومن فوائد الآية الكريمة: التحذير من رد الناصحين، لأن الله تعالى جعل هذا من أوصاف هؤلاء المنافقين. فمن رد آمرا بتقوى الله ففيه شبه من المنافقين، والواجب على المرء إذا قيل له اتق الله، أن يقول سمعنا وأطعنا ، مهما كان الذي أمره بتقوى الله يقول سمعنا وأطعنا ما هو لهذا الرجل، ولكنه تعظيما لتقوى الله عز وجل. ومن فوائد الآية الكريمة: أن الأنفة قد تحمل صاحبها على الإثم، لقوله : أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْإِثْمِ
“Di antara faedah ayat yang mulia ini: peringatan keras terhadap orang yang menolak nasehat, karena Allah Ta’ala telah memosisikannya sebagai karakter orang-orang munafik. Sedangkan menjadi kewajiban bagi seseorang apabila ada yang menegurnya, “Bertakwalah engkau kepada Allah!” hendaklah dia menjawab, “Saya mendengar lalu saya patuhi!” Bagaimanapun keadaan orang yang memintanya untuk bertakwa kepada Allah, dia hendaklah tetap menjawab, “Saya mendengar lalu saya patuhi!”
Ucapan semacam itu bukan semata untuk menjawab orang tersebut, bahkan (lebih) dalam rangka mengagungkan ketakwaan kepada Allah Azza wa Jalla.
Di antara faedah ayat ini pula, bahwa sikap congkak kerap menjerumuskan pelakunya menuju dosa. Berdasarkan firman-Nya:
أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْإِثْمِ ۚ
“bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa.”
(Selesai penukilan dari tafsir beliau rahimahullah)
Salah satu kisah yang sering dijadikan ibroh (pelajaran) dalam bab ini adalah kisah sahabat yang mulia Abu Hurairah radhiyallahu anhu dengan setan yang tertangkap mencuri simpanan Zakat Fithr di bulan Ramadhan.
Hanya saja dalam menyimpulkannya, manusia terpilah dalam sikap yang berbeda. Ada yang memukul rata nyaris tanpa batas, bahwa sejak awal boleh saja menerima saran bahkan mengambil ilmu dari siapapun. Ada pula yang mengingkarinya secara mutlak.
Sementara sikap adil ada pada pihak yang merinci dan memilahnya secara hikmah. Karena kebenaran berasal dari Allah semata. Dan tidak mungkin kebenaran berasal dari musuh-musuh Allah, apalagi bermula dari mereka. Adapun kebenaran yang Allah sampaikan kepada Rasul-Nya ternyata kemudian juga diketahui pihak yang tetap memusuhi Allah, bukanlah hal yang mustahil, sesuai hikmah yang dikehendaki-Nya Tabaroka wa Ta’ala.
Sehingga apabila kita baru mengetahui kebenaran itu dari musuh agama ini, bukan berarti mereka adalah para pengusung kebenaran sejati yang semua kemauan, kritikan dan ‘nasehat’nya harus diikuti.
Hanyalah dituruti saran yang jelas benar setelah melalui proses klarifikasi kepada ahli yang berkompeten. Bukankah di akhir riwayat tentang setan pencuri itu, dengan jelas Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda,
أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ. تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلَاثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ؟ قَالَ: لَا. قَالَ : ذَاكَ شَيْطَانٌ
“Adapun bahwa dia berkata jujur kepadamu (bukanlah ukuran), padahal sebenarnya dia pendusta parah. Tahukah engkau siapa yang engkau ajak bicara selama 3 malam itu wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab, “Tidak.” Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu menjelaskan, “Itu adalah setan.” (HR Al Bukhori)
Jelas Abu Hurairah radhiyallahu anhu belum mengenal sosok yang ternyata setan itu. Karena belum bisa memastikan kebenaran sarannya, beliaupun bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan kepastian kebenaran dari hadits beliaulah yang menjadi acuan beramal.
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menjelaskan bahwa kejadian serupa juga beberapa kali terjadi pada sahabat yang lain. Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Abu Ayyub dan Abu Usaid Al Anshori, serta Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhum. Pada riwayat-riwayat tersebut Nabi shallallahu alaihi wasallam selalu dirujuk untuk dikonfirmasikan kebenarannya dan beliau alaihish-sholatu wassalam selalu menafikan kebaikan si-pemberi saran (yaitu setan). Dalam hadits Mu’adz radhiyallahu anhu beliau shallahu alaihi wasallam menyebut dengan redaksi,
صَدَقَ الْخَبِيثُ وَهُوَ كَذُوبٌ
“Makhluk jahat itu (kebetulan) jujur (dalam hal ini, tapi) dia tetaplah pendusta besar.”
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menegaskan hal-hal tersebut dengan menyebutkan faedah,
وفي الحديث من الفوائد غير ما تقدم أن الشيطان قد يعلم ما ينتفع به المؤمن، وأن الحكمة قد يتلقاها الفاجر فلا ينتفع بها وتؤخذ عنه فينتفع بها، وأن الشخص قد يعلم الشيء ولا يعمل به، وأن الكافر قد يصدق ببعض ما يصدق به المؤمن ولا يكون بذلك مؤمنا، وبأن الكذاب قد يصدق، وبأن الشيطان من شأنه أن يكذب
“Dan pada hadits tersebut terdapat diantar faedah selain yang telah disebutkan antara lain, bahwa setan terkadang bisa mengetahui perkara yang bermanfaat bagi orang beriman. Dan bahwa ucapan yang mengandung hikmah terkadang dapat diucapkan oleh orang yang suka berbuat dosa yang dia sendiri tidak dapat memperoleh manfaat dari ucapan itu. Dan jika anda mendapatkannya akan diperoleh manfaatnya. Juga bahwa seseorang bisa jadi telah mengetahui suatu ilmu sedangkan dia sendiri tidak mengamalkannya.
Begitu pula bahwa sosok kafir itu terkadang mempercayai beberapa perkara yang dipercayai orang beriman, namun tetap saja hal itu tidak menyebabkan dirinya menjadi mukmin. Dan juga bahwa pendusta kadangkala berkata jujur. Dan bahwa berdusta merupakan kebiasaan setan.”
(Fathul Bari 4/489)
Subhanallah, para sahabat di atas semuanya bermanhaj satu, tidak ada yang berbeda. Semua beliau itu tidak memastikan dan belum menerima isi saran dan ilmu dari sosok yang baru dikenal kecuali setelah menanyakannya langsung kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Begitu pula kita tentunya di masa sekarang, jika ada kritikan dari sosok yang tidak dikenal apalagi dari kalangan yang ditengarai memiliki niatan tidak baik, sikap terbaik adalah mengonsultasikannya kepada ulama. Penilaian ulama menjadi petunjuk apakah isi kritikannya benar atau tidak perlu digubris karena salah.
Justru semestinya harus sejak awal dalam mencari ilmu dan berburu informasi berusaha keras kita menggalinya dari sosok-sosok yang dikenal jelas kapasitas, kompetensinya dan amanahnya. Adapun diperoleh fakta bahwa terkadang kebenaran juga disuarakan oleh selain orang yang baik, kita tidak menampiknya. Hanya saja kalaupun itu disuarakannya, yakinlah bahwa sumber asalnya bukan dari kalangan itu. Dan memastikan benar atau tidaknya bukan dipastikan dari pengakuan mereka. Tapi secara ilmiah dari jalur yang jelas. Sehingga jika telah gamblang bahwa kebenaran terbukti secara ilmiah, kita wajib menerimanya walaupun awalnya kita ketahui dari jalur kritikan orang yang dikenal tidak baik.
Berangkat dari prinsip agama yang diajarkan dalam Al Quran dan As Sunnah kita bisa dipahami; sabagai penerima kritikan, sebaiknya kita tidak perlu menerima kritikan terhadap perkara yang jelas kebaikannya dalam agama kita, jika disampaikan oleh orang kafir, munafik, orang yang mengajak melanggar aturan agama, ataupun dari pendusta dan oramg yang tidak diketahui jati diri maupun kondisi agamanya.
Secara asal kritikan non muslim begitu pula orang munafik tidak bernilai. Sebab Allah melarang kita mematuhi mereka,
فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
“Janganlah kalian menuruti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran ini dengan jihad yang besar.” (QS Al Furqon: 52)
Al Baghowi rahimahullah menyimpulkan tafsirnya,
فيما يدعونك إليه من موافقتهم ومداهنتهم
“(Janganlah turuti) seruan yang mereka sampaikan kepadamu agar sesuai dengan mereka dan agar engkau mengorbankan prinsip agama untuk menyenangkan mereka.” (Ma’alim At Tanzil 3/452)
Sementara Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat,
وَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَالْمُنَافِقِينَ وَدَعْ أَذَاهُمْ وَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَكِيلًا
“Dan janganlah engkau menuruti orang-orang yang kafir dan orang-orang munafik itu, janganlah engkau menghiraukan gangguan mereka dan bertawakkallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pelindung.” (QS Al Ahzab: 48)
Beliau rahimahullah menjelaskan,
أي : لا تطعهم ولا تسمع منهم في الذي يقولونه
“Yaitu janganlah menuruti mereka dan jangan pula mendengar dari mereka tentang (tuntutan) yang mereka ucapkan itu.” (Tafsir Al Quran Al Adzim 6/439)
Saran yang mengarah kepada pelanggaran perintah Allah, baik kemaksiatan apalagi kebid’ahan maupun kekufuran, semuanya itu wajib ditinggalkan
Karena telah diperintahkan oleh Allah dalam Al Quran,
فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا
“Maka bersabarlah engkau untuk (tetap melaksanakan) ketentuan Tuhanmu, dan janganlah engkau mengikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” (QS Al Insan: 24)
Bahkan walaupun yang mengkritik dan menyarankan pelanggaran adalah orang tua kita, karena Allah berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا ۖ وَإِن جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۚ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ
“Dan Kami telah mewasiatkan manusi untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Namun jika mereka berdua memaksamu agar berbuat syirik kepada-Ku dengan sesuatu yang tidak engkau ketahui ilmunya, janganlah engkau menuruti mereka. Sesungguhnya hanya kepada-Ku tempat kembali kalian.” (QS Al Ankabut: 8)
Tidak perlu mengikuti saran pendusta, yang suka memperturutkan hawa nafsunya, yang suka mencela dan penyebar fitnah
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَّهِينٍ (10) هَمَّازٍ مَّشَّاءٍ بِنَمِيمٍ (11) مَّنَّاعٍ لِّلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ (12) عُتُلٍّ بَعْدَ ذَٰلِكَ زَنِيمٍ (13)
“Dan janganlah engkau ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya.” (QS Al Qolam: 10-13)
Tentang kalangan yang terkenal dengan kebid’ahannya, walaupun dalam sebagian perkara agama saja, secara spesifik Imam Al Hasan bin Ali Al Barbahari rahimahullah menukilkan,
ﻗﺎﻝ ﻋﺒﺪ اﻟﻠﻪ ﺑﻦ اﻟﻤﺒﺎﺭﻙ: ﻻ ﺗﺄﺧﺬﻭا ﻋﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﻜﻮﻓﺔ ﻓﻲ اﻟﺮﻓﺾ[ﺷﻴﺌﺎ]، ﻭﻻ ﻋﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﺸﺎﻡ ﻓﻲ اﻟﺴﻴﻒ [ﺷﻴﺌﺎ] ﻭﻻ ﻋﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﺒﺼﺮﺓ ﻓﻲ اﻟﻘﺪﺭ [ﺷﻴﺌﺎ]، ﻭﻻ ﻋﻦ ﺃﻫﻞ ﺧﺮاﺳﺎﻥ ﻓﻲ اﻹﺭﺟﺎء [ﺷﻴﺌﺎ]، ﻭﻻ ﻋﻦ ﺃﻫﻞ ﻣﻜﺔ ﻓﻲ اﻟﺼﺮﻑ، ﻭﻻ ﻋﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻓﻲ اﻟﻐﻨﺎء، ﻻ ﺗﺄﺧﺬﻭا ﻋﻨﻬﻢ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ اﻷﺷﻴﺎء ﺷﻴﺌﺎ
Abdullah bin Al Mubarok rahimahullah berkata,
“Janganlah kalian menerima dari penduduk Kufah tentang rafdh (pembangkangan Syiah) [sama sekali]. Jangan pula dari penduduk Syam tentang mengangkat senjata [sama sekali]. Juga jangan menerima dari penduduk Bashrah tentang pembahasan takdir [sama sekali]. Jangan juga menerima dari penduduk Khurosan dalam masalah irja’ (meyakini tidak akan diadzabnya pelaku maksiat, karena perbuatan bukan bagian keimanan menurut mereka) [sama sekali]. Jangan pula menerima dari penduduk Mekah dalam hal shorf (pertukaran uang). Jangan juga menerima dari penduduk Madinah tentang nyanyian. Janganlah kalian mengambil dari mereka dalam hal-hal tersebut sama sekali.”
(Syarhussunnah hal. 116)
Majhul (tidak dikenal) jangan digubris jika tidak memenuhi kriteria ilmiah
Masuk dalam bab ini ungkapan rancu, “terimalah kritikan walaupun dari sosok yang tidak dikenal!”
Padahal para ulama sejak dulu telah mengingatkan bahaya para majahil; sosok-sosok yang tidak diketahui identitas ataupun keadaan agamanya.
Semisal yang terjadi pada perawi Khorijah bin Mus’ab bin Khorijah Al Khurosani, Al Hakim rahimahullah menyatakan tentangnya,
ﺧﺎﺭﺟﺔ ﻟﻢ ﻳﻨﻘﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺇﻻ ﺭﻭاﻳﺘﻪ ﻋﻦ اﻟﻤﺠﻬﻮلين، ﻭﺇﺫا ﺭﻭﻯ ﻋﻦ اﻟﺜﻘﺎﺕ اﻷﺛﺒﺎﺕ ﻓﺮﻭاﻳﺘﻪ ﻣﻘﺒﻮﻟﺔ
“Khorijah tidaklah dicela melainkan akibat riwayatnya dari orang-orang yang tidak diketahui (identitas atau keadaannya). Sedangkan jika dia meriwayatkan dari orang-orang yang jelas terpercaya dan kukuh, riwayatnya diterima.” (Al Mustadrak 1/499 melalui tahqiq Syaikh Ahmad Muhammad Syakir terhadap Tafsir Ath Thobari 8/416).
Juga seperti penilaian ulama terhadap sosok rawi Abdurrahman bin Muhammad bin Ziyad Al Muharibi Abu Muhammad Al Kufi. Tentang orang ini Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata menyebutkan penilaian para ulama antara lain,
ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﺗﻢ: ﺻﺪﻭﻕ ﺇﺫا ﺣﺪﺙ ﻋﻦ اﻟﺜﻘﺎﺕ ﻭﻳﺮﻭﻱ ﻋﻦ اﻟﻤﺠﻬﻮلين ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﻣﻨﻜﺮﺓ ﻓﺘﻔﺴﺪ ﺣﺪﻳﺜﻪ
“Abu Hatim telah menilainya ‘shoduq’ jika menceritakan dari orang-orang terpercaya. Dia juga meriwayatkan dari orang-orang yang tidak diketahui sekian banyak hadits munkar, sehingga merusak (derajat) haditsnya.” (Fathul Bari 1/419)
Contoh lainnya Baqiyah bin Al Walid yang suka mengambil riwayat dari majhul, dinyatakan Al Hafidz An Nawawi rahimahullah,
ﻭﻗﺪ اﺗﻔﻖ اﻟﺤﻔﺎﻅ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﺭﻭاﻳﺔ ﺑﻘﻴﺔ ﻋﻦ اﻟﻤﺠﻬﻮلين ﻣﺮﺩﻭﺩﺓ ﻭاﺧﺘﻠﻔﻮا ﻓﻲ ﺭﻭاﻳﺘﻪ ﻋﻦ اﻟﻤﻌﺮﻭﻓﻴﻦ
“Para huffadz (ulama ahli hadits) telah bersepakat bahwa riwayat Baqiyah dari orang-orang yang tidak dikenal adalah tertolak. Sementara mereka (para ulama) berbeda pendapat menilai riwayatnya yang dari orang-orang yang dikenali.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 6/348)
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah ketika menjelaskan kondisi Baqiyah bin Al Walid tersebut, antara lain beliau mengutip,
ﻭﻗﺪ ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺯﻣﻌﺔ: ﻣﺎ ﻟﺒﻘﻴﺔ ﻋﻴﺐ ﺇﻻ ﻛﺜﺮﺓ ﺭﻭاﻳﺘﻪ ﻋﻦ اﻟﻤﺠﻬﻮلين، ﻓﺄﻣﺎ اﻟﺼﺪﻕ ﻓﻼ ﻳﺆﺗﻰ ﻣﻦ اﻟﺼﺪﻕ، ﻭﺇﺫا ﺣﺪﺙ ﻋﻦ اﻟﺜﻘﺎﺕ ﻓﻬﻮ ﺛﻘﺔ، ﻛﻤﺎ ﺭﻭاﻩ ﻋﻨﻪ اﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺣﺎﺗﻢ
“Abu Zum’ah telah berkata, sebenarnya Baqiyah tidak memiliki cacat, hanya saja dia memiliki banyak riwayat dari orang-orang yang tidak diketahui. Sehingga tentang kebenaran riwayat ini tidak ternilai sebagai riwayat yang benar. Namun jika dia meriwayatkan dari para perawi yang terpercaya, dia ternilai dipercaya. Sebagaimana Ibnu Abi Hatim pernah meriwayatkan darinya.” (Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah 12/107)
Kesimpulannya, hendaklah kita memastikan kebenaran isi kritikan terhadap diri kita. Jika setelah diteliti kembali, dan bertanya kepada ahlinya, kita memperoleh fakta bahwa memang perbuatan atau ucapan kita salah dan harus diperbaiki, kita harus menerimanya dengan lapang dada dan memperbaiki diri dari siapapun kritikan itu berasal.
Semestinya kita mengambil porsi manfaat dari pernyataan Syaikh Muhammad Nashoruddin Al Albani rahimahullah,
ﻭﻟﻜﻨﻲ ﺃﻗﻮﻝ ﻧﺎﺻﺤﺎ ﻟﻜﻞ ﻣﻦ ﻳﻘﺒﻞ اﻟﻨﺼﻴﺤﺔ: انتَهُوا خَيْرًا لَّكُمْ
“Akan tetapi, aku menyatakan kepada setiap orang yang menerima nasihat (ikutilah Firman Allah):
انتَهُوا خَيْرًا لَّكُمْ
“Berhentilah kalian (dari kesalahan itu) yang demikian lebih baik bagi kalian.” (Silsilah Al Ahadits Ash Shohihah 1/943)
Namun sebaliknya, jika setelah diperiksa dan diteliti ternyata memang yang kita ucapkan atau kita lakukan justru adalah kebaikan dan bukan kesalahan, hendaklah kita mengingat hadits dari ‘Ubadah bin Ash Shomit radhiyallahu anhu yang meriwayatkan isi baiat beliau bersama sahabat lainnya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam yang di antaranya berisi,
وَعَلَى أَنْ نَقُولَ بِالْحَقِّ أَيْنَمَا كُنَّا لَا نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ
“Dan (kami berbaiat) agar kami tetap menyatakan kebenaran dimanapun kami berada dan kami tidak boleh takut dalam perjuangan di jalan Allah karena mengkhawatirkan cacian orang-orang yang mencela.” (HR Muslim)
والعلم عند الله
(Bersambung biidznillah)
?️Ditulis oleh: Abu Abdirrohman Sofian