Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Menolak Taqlid, Pengingat Bimbingan Seputar Maulid

Rabi’ul awwal hampir menyelesaikan pekan keduanya. Semangat cinta Nabi shallallahu alaihi wasallam kembali didengungkan.

Sebagian muslimin mencukupkan dengan bukti catatan sejarah dari sang teladan sendiri yang diikuti jejak cinta para sahabat dan ummat beliau pada generasi permulaannya. Bagi mereka, karena tidak ada contoh peringatan khusus tentang kelahiran Nabi tercinta, tetap menjalani aktifitas belajar, beramal, berdakwah dan berjuang sebagaimana tuntunan beliau alaihishsholatu wassalam menjadi sikap terbaik dan lebih selamat. Malah pihak ini khawatir, tindakan meluapkan kecintaan yang tidak sesuai dengan bimbingan para teladan sebelum kita, membahayakan keyakinan diri dan ummat. Demikianlah mereka menahan diri dari hal-hal yang diperingatkan oleh para ulama.

Di antara ulama yang berkesimpulan bahwa perayaan dalam rangka memperingati Maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah perkara baru yang diada-adakan, karena belum pernah dilakukan di masa generasi awal terbaik, Tajuddin Umar bin Ali Al Fakihani Al Maliki (w. 734 H) dan As Sakhowi rahimahumallah.

Silakan baca kembali pembahasannya di: Bantahan Terhadap Artikel Berjudul: “Inilah Sejarah yang Benar Tentang Awal Perayaan Maulid Nabi”


Adapun sebagian saudara kita lainnya justru ada yang bersiap untuk memperingati hari yang diduga sebagai kelahiran Rasul panutan muslim beriman, dengan ragam acara dan pernak-perniknya. Sebagian tokoh menghasung mereka melakukannya dengan menjadikan ayat-ayat perintah untuk mengingat nikmat Allah sebagai alasannya. Diantaranya Firman Allah Ta’ala;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَاءَتْكُمْ جُنُودٌ فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا وَجُنُودًا لَّمْ تَرَوْهَا وَكَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرًا

“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikurniakan) bagi kalian ketika datang kepada kalian tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang kalian tidak dapat melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kalian kerjakan.” (QS Al Ahzab: 9)

Mantan Mufti Qatar sekaligus Ketua Majelis Fatwa dan Penelitian Muslim Eropa, DR. Yusuf Al Qardhawi pernah berfatwa bahwa memperingati hari-hari bersejarah dalam Islam tidaklah secara mutlak dinyatakan bid’ah. Karena menurutnya selama tidak bercampur dengan pelanggaran syariat (acara kemaksiatan) maka memperingatinya merupakan bentuk mengingat berbagai nikmat Allah. Mantan mufti negeri Qatar ini telah menyatakan ucapan yang tersebar ke penjuru dunia,

هناك من المسلمين من يعتبرون أي احتفاء أو أي اهتمام أو أي حديث بالذكريات الإسلامية، أو بالهجرة النبوية، أو بالإسراء والمعراج، أو بمولد الرسول صلى الله عليه وسلم، أو بغزوة بدر الكبرى، أو بفتح مكة، أو بأي حدث من أحداث سيرة محمد صلى الله عليه وسلم، أو أي حديث عن هذه الموضوعات؛ يعتبرونه بدعة في الدين، وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار. وهذا ليس بصحيح على إطلاقه، إنما الذي ننكره في هذه الأشياء الاحتفالات التي تخالطها المنكرات، وتخالطها مخالفات شرعية وأشياء ما أنزل الله بها من سلطان، كما يحدث في بعض البلاد في المولد النبوي وفي الموالد التي يقيمونها للأولياء والصالحين، ولكن إذا انتهزنا هذه الفرصة للتذكير بسيرة رسول الله صلى الله عليه وسلم، وبشخصية هذا النبي العظيم، وبرسالته العامة الخالدة التي جعلها الله رحمة للعالمين، فأي بدعة في هذا وأية ضلالة؟!

“Di sana terdapat sebagian muslimin yang menganggapnya – yaitu kegiatan perayaan atau memberi perhatian khusus atau pembahasan apapun terkait peringatan-peringatan keislaman, atau tentang hijrahnya nabi, atau isro’ dan mi’roj, atau terhadap maulid Rasul shallallahu alaihi wasallam, atau terkait perang badr kubro, atau fathu Makkah, atau peristiwa apapun dari berbagai kejadian dalam sejarah Muhammad shallallahu alaihi wasallam, atau pembicaraan apapun tentang pembahasan-pembahasan tersebut, mereka menganggapnya bid’ah dalam agama. Sedangkan (konsekwensinya) setiap bid’ah pasti sesat dan setiap kesesatan berakhir di neraka.

Anggapan seperti ini tidaklah benar secara mutlaknya. Hanyalah yang pantas kita ingkari dalam perkara-perkara ini berbagai acara perayaan yang tercampuri dengan banyak kemungkaran. Dan yang tercampuri berbagai pelanggaran syariat. Serta hal-hal yang tidak Allah turunkan dalil tentangnya. Sebagaimana telah terjadi di sebagian negeri pada maulid Nabi, juga pada maulid yang diselenggarakan bagi para wali dan orang-orang shaleh.

Tetapi jika kita mempergunakan kesempatan ini untuk mengingat sejarah perjuangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan kepribadian Nabi yang agung ini, serta tentang tugas kerasulannya yang mencakup wilayah yang luas dan abadi, di mana Allah telah menjadikannya sebagai rahmat untuk semesta alam, maka kebid’ahan dan kesesatan macam apa (yang pantas dituduhkan) terhadap hal semacam ini?”

(Sumber situs resmi DR. Yusuf Al Qardhawi)

Kemudian sosok kontroversial yang pernah diburu pemerintah Mesir karena provokasi terhadap pemerintah dan dukungannya terhadap organisasi yang dicap radikal, ‘Ikhwanul Muslimin’ (IM) itu menyebutkan beberapa ayat Al Quran yang mengandung perintah mengingat berbagai nikmat Allah. Diantaranya ayat ke-9 (dan ke-10) dari surah Al Ahzab yang telah disebutkan sebelumnya. Begitu pula ayat ke-11 dari surah Al Maidah.

Setelah itu tokoh yang mencetuskan zakat profesi dan pernah memperbolehkan bom bunuh diri bagi pemuda Palestina tersebut kemudian menyimpulkan,

ذِكر النعمة مطلوب إذن، نتذكر نعم الله في هذا، ونُذكِّر المسلمين بهذه الأحداث وما فيها من عبر وما يستخلص منها من دروس، أيعاب هذا؟ أيكون هذا بدعة وضلالة؟

“Mengingat nikmat jika demikian dibutuhkan. Kita mengingat berbagai nikmat Allah tentang peristiwa (maulid) ini, dan kita juga mengingatkan kaum muslimin dengan berbagai peristiwa yang terkandung sekian banyak hikmah dan berbagai pelajaran yang dihasilkannya. Apakah yang seperti ini merupakan aib? Apakah pantas hal ini menjadi bid’ah yang sesat?” (Kutipan dari situs resmi DR. Yusuf Qardhawi alaihi minallah ma yastahiqquh)

Mantan penceramah di salah satu program televisi Al Jazeera ini, baru beberapa pekan meninggal dunia, dengan membawa amal-amal dan hal-hal yang perlu dipertanggungjawabkannya. Sebagai sesama ummat Nabi shallallahu alaihi wasallam, kita perlu meringankan tanggungan sesama muslim, agar akibat dari ucapannya tidak semakin menambah beban di barzakh maupun akhirat.

Ratusan tahun jauh sebelum mendiang Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Internasional ini berfatwa, sebenarnya alasan semacam ini sudah pernah diluruskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Dalam salah satu bantahan beliau terhadap kelompok Syiah yang nota bene dari unsur kalangan merekalah awal peringatan maulid Nabi dicetuskan, beliau rahimahullah menyatakan,

ﻭﺇﻧﻤﺎ اﻟﻐﺮﺽ ﺃﻥ اﺗﺨﺎﺫ ﻫﺬا اﻟﻴﻮﻡ ﻋﻴﺪا ﻣﺤﺪﺙ ﻻ ﺃﺻﻞ ﻟﻪ، ﻓﻠﻢ ﻳﻜﻦ ﻓﻲ اﻟﺴﻠﻒ ﻻ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﺒﻴﺖ ﻭﻻ ﻣﻦ ﻏﻴﺮﻫﻢ-ﻣﻦ اﺗﺨﺬ ﺫﻟﻚ اﻟﻴﻮﻡ ﻋﻴﺪا، ﺣﺘﻰ ﻳﺤﺪﺙ ﻓﻴﻪ ﺃﻋﻤﺎﻻ. ﺇﺫ اﻷﻋﻴﺎﺩ ﺷﺮﻳﻌﺔ ﻣﻦ اﻟﺸﺮاﺋﻊ، ﻓﻴﺠﺐ ﻓﻴﻬﺎ اﻻﺗﺒﺎﻉ، ﻻ اﻻﺑﺘﺪاﻉ

“Sebenarnya tujuan pembahasan ini bahwa menjadikan hari tersebut sebagai hari yang dirayakan merupakan hal baru yang diada-adakan, tidak ada asal (pensyariatan)nya. Dan belum pernah ada di masa salaf (3 generasi awal terbaik unmat ini), tidak berasal dari Ahli Bait, bukan pula dari selain mereka (dari salaf) yang menjadikan hari itu sebagai hari yang dirayakan. Sampai orang-orang itu membuat-buat berbagai ritual padanya. Padahal hari-hari yang berhak diperingati adalah salah satu bagian dari sekian banyak ketentuan syariat. Sehingga merupakan kewajiban untuk sekedar mengikuti (ittiba’), bukan mengada-adakan perkara baru (ibtida’).”

ﻭﻟﻠﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺧﻄﺐ ﻭﻋﻬﻮﺩ ﻭﻭﻗﺎﺋﻊ ﻓﻲ ﺃﻳﺎﻡ ﻣﺘﻌﺪﺩﺓ: ﻣﺜﻞ ﻳﻮﻡ ﺑﺪﺭ، ﻭﺣﻨﻴﻦ، ﻭاﻟﺨﻨﺪﻕ، ﻭﻓﺘﺢ ﻣﻜﺔ، ﻭﻭﻗﺖ ﻫﺠﺮﺗﻪ، ﻭﺩﺧﻮﻟﻪ اﻟﻤﺪﻳﻨﺔ، ﻭﺧﻄﺐ ﻟﻪ ﻣﺘﻌﺪﺩﺓ ﻳﺬﻛﺮ ﻓﻴﻬﺎ ﻗﻮاﻋﺪ اﻟﺪﻳﻦ. ﺛﻢ ﻟﻢ ﻳﻮﺟﺐ ﺫﻟﻚ ﺃﻥ ﻳﺘﺨﺬ ﺃﻣﺜﺎﻝ ﺗﻠﻚ اﻷﻳﺎﻡ ﺃﻋﻴﺎﺩا. ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻳﻔﻌﻞ ﻣﺜﻞ ﻫﺬا اﻟﻨﺼﺎﺭﻯ اﻟﺬﻳﻦ ﻳﺘﺨﺬﻭﻥ ﺃﻣﺜﺎﻝ ﺃﻳﺎﻡ ﺣﻮاﺩﺙ ﻋﻴﺴﻰ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻼﻡ ﺃﻋﻴﺎﺩا، ﺃﻭ اﻟﻴﻬﻮﺩ، ﻭﺇﻧﻤﺎ اﻟﻌﻴﺪ ﺷﺮﻳﻌﺔ، ﻓﻤﺎ ﺷﺮﻋﻪ اﻟﻠﻪ اﺗﺒﻊ. ﻭﺇﻻ ﻟﻢ ﻳﺤﺪﺙ ﻓﻲ اﻟﺪﻳﻦ ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﻪ.

“Sementara pada Nabi shallallahu alaihi wasallam terdapat sekian banyak urusan, perjanjian, peristiwa pada banyak hari. Seperti hari (perang) Badr, Hunain, Khondaq, Fathu Makkah, waktu hijrahnya beliau -shallallahu alaihi wasallam- dan tibanya di Madinah. Serta berbagai urusan beliau yang sangat banyak yang disebutkan padanya kaedah-kaedah agama. Kemudian ternyata semua itu tidak mengharuskan agar menjadikan hari-hari semisal itu sebagai hari yang dirayakan. Yang mengadakan perayaan (terhadap peristiwa bersejarah) semacam itu hanyalah orang-orang Nashara. Merekalah yang mengadakan peringatan semisal peristiwa-peristiwa bersejarah pada Nabi Isa alaihissalam sebagai hari-hari yang dirayakan. Atau orang Yahudi (merekalah yang melakukan hal serupa itu-pen).

Memang hari yang pantas dirayakan (dalam agama) merupakan bagian ketentuan syariat. Apapun yang telah ditentukan syariatnya oleh Allah itulah yang diikuti. Jika tidak, tidaklah diperbolehkan mengadakan sendiri (amalan) dalam agama ini yang bukan bagian darinya.”

ﻭﻛﺬﻟﻚ ﻣﺎ ﻳﺤﺪﺛﻪ ﺑﻌﺾ اﻟﻨﺎﺱ، ﺇﻣﺎ ﻣﻀﺎﻫﺎﺓ ﻟﻠﻨﺼﺎﺭﻯ ﻓﻲ ﻣﻴﻼﺩ ﻋﻴﺴﻰ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻼﻡ، ﻭﺇﻣﺎ ﻣﺤﺒﺔ ﻟﻠﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻭﺗﻌﻈﻴﻤﺎ. ﻭاﻟﻠﻪ ﻗﺪ ﻳﺜﻴﺒﻬﻢ (¬4) ﻋﻠﻰ ﻫﺬﻩ اﻟﻤﺤﺒﺔ ﻭاﻻﺟﺘﻬﺎﺩ، ﻻ ﻋﻠﻰ اﻟﺒﺪﻉ- ﻣﻦ اﺗﺨﺎﺫ ﻣﻮﻟﺪ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻴﺪا. ﻣﻊ اﺧﺘﻼﻑ اﻟﻨﺎﺱ ﻓﻲ ﻣﻮﻟﺪﻫ. ﻓﺈﻥ ﻫﺬا ﻟﻢ ﻳﻔﻌﻠﻪ اﻟﺴﻠﻒ، ﻣﻊ ﻗﻴﺎﻡ اﻟﻤﻘﺘﻀﻲ ﻟﻪ ﻭﻋﺪﻡ اﻟﻤﺎﻧﻊ ﻣﻨﻪ ﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﺧﻴﺮا. ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻫﺬا ﺧﻴﺮا ﻣﺤﻀﺎ، ﺃﻭ ﺭاﺟﺤﺎ ﻟﻜﺎﻥ اﻟﺴﻠﻒ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻢ ﺃﺣﻖ ﺑﻪ ﻣﻨﺎ، ﻓﺈﻧﻬﻢ ﻛﺎﻧﻮا ﺃﺷﺪ ﻣﺤﺒﺔ ﻟﺮﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺗﻌﻈﻴﻤﺎ ﻟﻪ ﻣﻨﺎ، ﻭﻫﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﺨﻴﺮ ﺃﺣﺮﺹ

“Demikian juga kegiatan yang diadakan oleh sebagian orang, terlepas apakah niatnya dalam rangka menandingi Nashara dalam memperingati kelahiran Nabi Isa alaihissalam, ataukah karena kecintaan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam serta mengagungkan beliau. Bisa jadi Allah akan memberikan pahala terhadap kecintaan dan kesungguhan mereka. Bukan terhadap kebid’ahan-kebid’ahan pihak yang menjadikan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam sebagai hari yang dirayakan.

Sedangkan orang-orang sendiri berbeda pendapat tentang (kapan tanggal pasti) kelahiran beliau. Sesungguhnya (peringatan) ini tidak pernah dilakukan oleh generasi salaf. Padahal potensi untuk melakukannya telah ada, sementara faktor penghalangnya sama tiada, kalau seandainya hal itu adalah hal yang baik. Seandainya hal itu adalah perkara yang intinya kebaikan, ataupun ada unsur yang cenderung baik, niscaya generasi salaf akan lebih pantas untuk melakukannya dibandingkan kita. Karena jelas mereka lebih kuat kecintaan dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dibandingkan kita. Dan (daripada kita) tentu mereka lebih bersemangat mengerjakan kebaikan.”

(Iqtidho’ Ash-Shiroth Al Mustaqim 2/123)

Coba dibaca kembali baik-baik kutipan pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di atas. Akan terasa kasih sayang dan sikap moderat dari salah seorang ulama ummat. Jangan sampai kita gagal faham atau malah memelintir ucapan seakan beliau memperbolehkan acara peringatan Maulid Nabi.

Sebagaimana telah salah dipahami oleh sebagian saudara kita yang membawa potongan ucapan tersebut sebagiannya tidak secara utuh, sehingga terkesan beliau mendukungnya.

Walhasil, terhadap masalah yang berkaitan dengan hukum halal dan haram, demikian juga sunnah ataukah bid’ah, hendaklah sebagai muslim yang dituntut menjaga lisan, kita mengingat ucapan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah yang dinukilkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,

ﺇﻳﺎﻙ ﺃﻥ ﺗﺘﻜﻠﻢ ﻓﻲ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﻟﻴﺲ ﻟﻚ ﻓﻴﻬﺎ ﺇﻣﺎﻡ

“Berhati-hatilah, jangan sampai anda berbicara dalam suatu permasalahan yang tidak ada imam sebelummu (mencontohkannya-pen)!” (Majmu’ Al Fatawa 10/321 & 21/291)

Pembaca yang dirahmati Allah, agar bisa adil dalam memahami konteks dalil, mari kita pelajari tafsir ulama terdahulu sebagai contoh yang tepat dalam memahami ayat Al Quran.

Terkait ayat ke-9 dari surah Al Ahzab Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi rahimahullah menjelaskan,

يعني غزوة الخندق والأحزاب وبني قريظة ، وكانت حالا شديدة معقبة بنعمة ورخاء وغبطة ، وتضمنت أحكاما كثيرة وآيات باهرات عزيزة

“Yaitu tentang perang Khondaq, Ahzab dan Bani Quroizhah. Peperangan itu semua situasinya sangat genting yang berakhir dengan nikmat, kelapangan dan hal yang membanggakan. Begitu pula mengandung hukum-hukum yang banyak, serta tanda-tanda kebesaran Allah yang terang lagi mulia.”

Sedangkan ayat ke-11 dari surah Al Maidah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ هَمَّ قَوْمٌ أَن يَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ فَكَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنكُمْ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal.”

Coba kembali kita baca penjelasan Al Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya,

نزلت بسبب فعل الأعرابي في غزوة ذات الرقاع حين اخترط سيف النبي صلى الله عليه وسلم وقال: من يعصمك مني يا محمد؟

“(Ayat ini) turun dengan sebab perbuatan seorang arab badui di pertempuran Dzatu Ar Riqo’ ketika dia berhasil menghunuskan pedang ke arah Nabi shalallahu alaihi wasallam, seraya mengancam dengan ucapannya, ‘Siapa yang akan menyelamatkanmu dariku, wahai Muhammad?’…” (Al Jami’ Li Ahkam Al Quran 6/111).

Lalu beliau rahimahullah menyebutkan kemungkinan sebab lain sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat. Semuanya berkaitan dengan nikmat diselamatkannya Nabi shallallahu alaihi wasallam oleh Allah Ta’ala dari ancaman situasi genting dan ancaman musuh.

Saudaraku, mari berpikir jernih dan kita tanggalkan kungkungan taqlid terhadap pendapat tokoh tertentu dari pandangan kita!

Jika sebab diturunkannya ayat-ayat yang dijadikan alasan pembolehan perayaan Maulid Nabi shallallahu alaihi wasallam, walaupun misalkan dilakukan tanpa tindak kemaksiatan di dalamnya, ternyata konteksnya adalah nikmat diselamatkannya Nabi shallallahu alaihi wasallam beserta muslimin, pernahkah kita mendengar kabar bahwa beliau dan para sahabatnya melakukan acara peringatan secara khusus untuk mengingat peristiwa-peristiwa tersebut di tanggalnya masing-masing?

Subhanallah, betapa bidang ilmu siroh dan tarikh begitu terasa manfaatnya. Bukan sekadar sebagai wawasan dan penambah keimanan serta cinta terhadap generasi terbaik. Bahkan juga menjadi bukti tak terbantahkan menghadapi alibi dan pembelaan diri para pembela kesalahan.

Di sisi lainnya masih sangat banyak penghalang dari sisi syariat untuk memperbolehkan acara peringatan semacam ini dilakukan dalam ranah agama. Antara lain;

  • Menyerupai Nashara dalam mengingat nikmat kelahiran Nabi Isa alaihissallam.
  • Secara sejarah belum ada kesepakatan tanggal pasti hari kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam. Yang disepakati hanya tahun dan harinya yaitu Senin. Adapun bulan Rabi’ul Awwal merupakan pilihan mayoritas. Sedangkan tanggalnya diperselisihkan dalam sekian banyak pendapat.
  • Jika tujuannya dalam rangka mengingat nikmat, bukankah yang terus-menerus mengingatnya (dalam kajian ilmu, pelajaran, khutbah, dan berbagai pertemuan sepanjang tahun) disertai upaya menjalani konsekwensi syukur jelas lebih baik dan tidak bisa diganti dengan yang hanya mengingatnya di wakti tertentu saja?
  • Mayoritas ulama justru berpendapat bahwa Senin, 12 Rabi’ul Awwal adalah hari dan tanggal wafatnya Nabi shallallahu alaihi wasallam yang disepakati sebagai musibah besar bagi ummat. Apakah pantas kita bergembira setiap bertepatan dengan tanggal wafatnya beliau alaihi ash-shalatu wassalam?

Dan sekian sisi lainnya yang dibahas para ulama lebih dari cukup bagi kita untuk mawas diri.

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وأصحابه أجمعين

Ditulis oleh: Abu Abdirrohman Sofian

Tinggalkan Balasan