Mewaspadai Hadits Lemah: Ramadhan Tergantung Zakat Fithri
Zakat fithri merupakan salah satu kewajiban yang harus ditunaikan bagi setiap muslim yang masih memiliki kelebihan bahan makanan pokok di penghujung Ramadhan. Banyak yang sudah menyadari, walaupun sebagian lain masih meremehkan ibadah fardhu ‘ain ini. Memang diperlukan upaya saling menasehati dan mengingatkan agar setiap muslim yang telah memenuhi kriterianya, bisa menunaikannya secara ikhlas dan terbimbing. Hanya saja patut disayangkan, sebagian motivasi pengingat itu ada yang dilakukan secara berlebihan, hingga hadits lemahpun dijadikan rujukan pelecut semangat.
Salah satu yang masih dipakai adalah riwayat:
شَهْرُ رَمَضَانَ مُعلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأرْضِ، لَا يُرفَعُ إِلَّا بِزَكَاةِ الْفِطْرِ
“Bulan Ramadhan tergantung di antara langit dan bumi, tidak bisa terangkat kecuali dengan zakat fithri.”
(Riwayat Ibnu Syahin dalam at Targhib dan Ibnul Jauzi dalam al Wahiyat)
Sekilas Tinjauan Sanad
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menyebutkan bahwa penulis Al Jami’ Ash Shoghir telah memberikan tanda “dhoif” setelah mencantumkan hadits ini. Al Munawi rahimahullah yang menulis syarh terhadap Al Jami’ Ash Shoghir menyebutkan alasannya. Yaitu karena adanya perawi bernama Muhammad bin Ubaid Al Bashri yang dinilai majhul. Tentang perawi ini Ibnul Jauzi mengomentari لا يتابع عليه (tidak ada yang mengikutinya). Al Hafidz ibnu Hajar dalam Al Mizan juga menilai serupa. (lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah 1/117)
Komentar ulama bahwa seorang perawi “tidak ada yang mengikutinya” ada 2 kemungkinan.
- Dia majhul (tidak dikenal kapasitas ataupun jati dirinya), atau
- Riwayatnya menyendiri, berbeda dari isi riwayat dari hadits-hadits lainnya.
Mana saja dari kedua kemungkinan tersebut berdampak negatif terhadap nilai sanad.
Penjelasan lebih lengkap tentang beberapa kategori hadits dhoif silakan dibaca kembali:
- Kriteria Hadits Dho’if
- Pembahasan Hadits Munkar
- Pembahasan Hadits Mudhthorib
- Pembahasan Hadits Matruk
Mengandung Makna yang Mungkar
Setelah memaparkan hasil penelitian beliau tentang sanad hadits ini, selanjutnya Syaikh Al Albani rahimahullah menambahkan:
ﺛﻢ ﺇﻥ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻟﻮﺻﺢ ﻟﻜﺎﻥ ﻇﺎﻫﺮ اﻟﺪﻻﻟﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻗﺒﻮﻝ ﺻﻮﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻣﺘﻮﻗﻒ ﻋﻠﻰ ﺇﺧﺮاﺝ ﺻﺪﻗﺔ اﻟﻔﻄﺮ، ﻓﻤﻦ ﻟﻢ ﻳﺨﺮﺟﻬﺎ ﻟﻢ ﻳﻘﺒﻞ ﺻﻮﻣﻪ، ﻭﻻ ﺃﻋﻠﻢ ﺃﺣﺪا ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﻌﻠﻢ ﻳﻘﻮﻝ ﺑﻪ، ﻭاﻟﺘﺄﻭﻳﻞ اﻟﺬﻱ ﻧﻘﻠﺘﻪ ﺁﻧﻔﺎ ﻋﻦ اﻟﻤﻘﺪﺳﻲ ﺑﻌﻴﺪ ﺟﺪا ﻋﻦ ﻇﺎﻫﺮ اﻟﺤﺪﻳﺚ، ﻋﻠﻰ ﺃﻥ اﻟﺘﺄﻭﻳﻞ ﻓﺮﻉ اﻟﺘﺼﺤﻴﺢ، ﻭاﻟﺤﺪﻳﺚ ﻟﻴﺲ ﺑﺼﺤﻴﺢ
ﺃﻗﻮﻝ ﻫﺬا، ﻭﺃﻧﺎ ﺃﻋﻠﻢ ﺃﻥ ﺑﻌﺾ اﻟﻤﻔﺘﻴﻦ ﻳﻨﺸﺮ ﻫﺬا اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺎﺱ ﻛﻠﻤﺎ ﺃﺗﻰ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻭﺫﻟﻚ ﻣﻦ اﻟﺘﺴﺎﻫﻞ اﻟﺬﻱ ﻛﻨﺎ ﻧﻄﻤﻊ ﻓﻲ ﺃﻥ ﻳﺤﺬﺭﻭا اﻟﻨﺎﺱ ﻣﻨﻪ، ﻓﻀﻼ ﻋﻦ ﺃﻥ ﻳﻘﻌﻮا ﻓﻴﻪ ﻫﻢ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ
“Kemudian, kalaulah hadits ini dianggap shahih, tetap saja makna yang muncul menunjukkan bahwa diterimanya puasa Ramadhan tergantung dikeluarkannya zakat fithri. Siapapun yang tidak mengeluarkannya, tidaklah diterima puasanya. Sedangkan saya tidak pernah tahu ada seorang ulama yang menyatakannya. Adapun takwilan yang baru saja saya menukilkan dari Al Maqdisi, sungguh jauh dari makna yang jelas tampak dari hadits ini. Sementara takwil bagian dari penilaian shahih, sedangkan hadits tersebut tidak shahih.
Saya mengatakan hal ini, dan saya mengetahui bahwa ada sebagian pemberi fatwa yang menyebarkan hadits ini kepada khalayak setiap kali tiba bulan Ramadhan. Dan yang seperti itu termasuk sikap meremehkan terhadap keyakinan yang kita benar-benar berusaha memperingatkan masyarakat darinya!”
(Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah 1/118).
Apabila kita perhatikan kesimpulan beliau rahimahullah di atas, memang benar hingga kinipun terbukti sebagian situs dakwah nasional maupun global masih ada yang membawakan riwayat yang disangka sebagai sabda Nabi shollallahu alaihi wasallam ini. Bahkan di antara mereka ada yang sengaja menambahkan kata “صَوْم” (puasa) sebelum “شَهْرُ رَمَضَانَ” (bulan Ramadhan). Sehingga diterjemahkan oleh pengutip dengan: puasa bulan Ramadhan digantungkan antara langit dan bumi, dan tidak akan diterima (dengan sempurna oleh Allah swt) kecuali dengan zakat fitrah.
Apakah boleh mengamalkan hadits lemah?
Lengkapi wawasan keislaman anda dengan membaca artikel berikut:
Apa konsekwensinya?
Sebagaimana dimaklumi, dasar rujukan yang salah akan menyeret pada kesimpulan hukum yang salah pula. Jika seseorang meyakini benarnya hadits ini, dikhawatirkan terbentuk keyakinan bahwa jika orang berpuasa Ramadhan tidak membayar zakat fithri, niscaya puasanya tidak diterima. Dengan kata lain, bahwa menurut mereka pembayaran zakat fithri adalah syarat diterimanya puasa Ramadhan. Sedangkan jika kita mempelajari syarat wajib dan syarat sah puasa menurut keempat madzhab mana saja, tidak kita dapati persyaratan harus membayar zakat fithri.
Terlebih telah jelas dalam hadits shahih, sabda Nabi shollallahu alaihi wasallam,
مَنْ صامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan iman (bahwa Allahlah yang mewajibkannya) dan ihtisab (ikhlas hanya berharap balasan kebaikan dari Allah) maka diampuni baginya dosa yang telah lalu.”
(H.R alBukhari dan Muslim)
Apabila iman dan ihtisab menjadi syarat diampuninya dosa, tanpa menggantungkan dengan zakat fithri, tentu berarti diterimanya puasa tidak bergantung pada zakat fithri.
Apakah berarti yang membawakan hadits ini walaupun sebagai penyemangat berkonsekwensi membawa pendapat baru? Wallahu a’lam. Yang jelas sikap berhati-hati dalam merujuk dalil agama merupakan keharusan bagi kita semua.
Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita dan semua saudara kita seiman lainnya untuk menjunjung tinggi kejujuran dalam mengutip dalil, serta diberikan kelapangan dada untuk selalu menerima, mengamalkan dan membela kebenaran.
?️Penulis:
Abu Abdirrohman Sofian