Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Bulan Sya’ban Turunnya Peringatan Bagi Para Penentang Sekaligus Kesungguhan Orang Beriman Menjalankan Perintah

Al Hafidz Abul Fida’ Isma’il ibnu Katsir rahimahullah mengisahkan dalam tafsirnya:

Ibnu Abbas -radhiyallahu anhuma- berkata:

Perkara pertama yang dihapus hukumnya dalam al Quran adalah tentang kiblat. Yang demikian itu bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam ketika beliau baru hijrah ke Madinah yang mayoritas penduduknya adalah Yahudi, Allah memerintahkan beliau agar menjadikan Baitul Maqdis sebagai arah kiblat. Tentu hal itu menggembirakan Yahudi. Rasulullah menjalani kebijakan ini selama beberapa bulan, padahal beliau sangat menginginkan berkiblat sebagaimana kiblatnya Nabi Ibrahim. Tak henti-hentinya beliau berdoa kepada Allah, seraya memandang ke arah langit, hingga Allah menurunkan firman-Nya:

قَدْ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ ۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا ۚ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ ۗ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ.

“Sungguh Kami (sering) melihat wajahmu (wahai Muhammad shollallahu alaihi wasallam) menengadah ke arah langit. Maka sungguh Kami akan memalingkan kalian ke kiblat yang engkau sukai. Palingkanlah wajah kalian ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah wajah kalian ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa mengarahkan kiblat ke Masjidil Haram itu adalah benar (merupakan perintah) dari Tuhannya; sedangkan Allah sekali-kali tidak lengah dari perbuatan yang mereka kerjakan.”
(QS Al Baqoroh : 144)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menuliskan ringkasan kesimpulannya:

“Di dalamnya ada ketentuan menghadap Ka’bah, untuk semua shalat; baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Juga bahwasanya jika memungkinkan hendaknya menghadap persis ke titik bangunannya, jika tidak maka cukup menghadapkan ke kisaran arahnya. Dan berpalingnya badan dari arah kiblat membatalkan shalat, karena perintah mengerjakan sesuatu itu berarti sekaligus mengandung larangan terhadap lawannya. Begitu pula ketika Allah menyebutkan pada ayat sebelumnya keadaan para penentang dari ahli kitab serta jawaban mereka, disebutkanlah pada ayat ini, bahwa Ahli Kitab dan kalangan berilmunya, mereka mengetahui bahwa engkau (wahai Nabi shollallahu alaihi wasallam) sebenarnya memang benar dan semata menjalankan perintah Allah. Yang demikian itu dipahami karena mereka mendapatinya memang tersebutkan dalam kitab-kitab mereka. Sehingga penolakan mereka jelas merupakan bentuk penentangan dan kedurhakaan.

Jadi apabila mereka sebenarnya telah mengetahui kesalahannya, tidak perlu mempedulikan celaan mereka itu. Sebab seseorang hanya pantas merasa gundah dengan adanya keberatan pihak yang berlawanan, hanya apabila tuntutan mereka mengandung unsur yang masih samar hukumnya (belum meyakinkan), dan kebenaran padanya baru berupa kemungkinan saja.

Tetapi jika dia telah yakin bahwa kebenaran ada pada pihak yang menerimanya, dan bahwa yang menolak itu keras kepala, sebenarnya tahu kesalahan perkataannya, maka tidak perlu mempedulikannya. (Tidak ada yang perlu dilakukan) Melainkan sekadar menunggu hukuman di dunia dan siksa akhirat bagi pihak penentang itu. Karena inilah Allah Yang Mahakuasa berfirman: “sedangkan Allah sekali-kali tidak lengah dari perbuatan yang mereka kerjakan.” Sebaliknya, Dia menjaga (dengan catatan rinci tentang) amal mereka bagi mereka, serta membalasnya. Sementara pada yang demikian jelas merupakan ancaman bagi orang-orang yang menentang, serta hiburan bagi orang-orang yang beriman.”

(Taisir Al Karim Ar Rahman)


Artikel lain yang semoga bermanfaat:


Orang-orang Yahudi mendustakan kebenaran karena hukum terakhir tentang kiblat bertolak belakang dengan hawa nafsu mereka. Sebaliknya para sahabat nabi membenarkannya tanpa perlu memperdebatkan apalagi meragukannya. Justru teriwayatkan betapa semangatnya mereka segera mengamalkan perubahan hukum pertama ini, bahkan berlomba menjadi yang pertama mengamalkannya.

Al Hafidz Abul Fida’ Isma’il ibnu Katsir rahimahullah mengisahkan dalam kitab lainnya:

Pada bulan Sya’ban di tahun tersebut (tahun ke-2 hijriyah) diubahlah arah kiblat dari Baitul Maqdis menuju Ka’bah. Hal itu terjadi setelah 16 bulan dari tibanya beliau shollallahu alaihi wasallam di Madinah. Ada pula yang menyebut setelah 17 bulan. Dan ke dua (riwayat) estimasi itu terdapat dalam dua kitab shahih (Al Bukhari dan Muslim-pent).

Adapun yang pertama mempraktekkan sholat menghadap ka’bah yaitu Abu Sa’id bin Al Mu’alla dan sahabat lain yang mendampinginya – radhiyallahu ‘anhum-, sebagaimana diriwayatkan An Nasai;

“Kejadian itu bermula ketika kami mendengar Rasulullah shollallahu alaihi wasallam tengah berkhutbah di hadapan para sahabat dan beliau membacakan kepada mereka ayat perubahan kiblat. Saat itu aku langsung berkata kepada temanku (yang mereka masih di luar masjid-pent), [Ayo kita sholat 2 roka’at, sehingga kita menjadi yang pertama sholat berkiblat ke arah ka’bah.] Kemudian kami bersembunyi, lalu kamipun sholat menghadap ka’bah.

Setelah itu, barulah Nabi shollallahu alaihi wasallam turun (dari mimbar) kemudian sholat dhuhur pada hari itu.”

Pada tahun itu pula diwajibkan puasa Ramadhan dan juga diwajibkan zakat fithri karenanya (untuk ditunaikan) setidaknya 2 hari sebelum ‘idul fithri.

(Al Fushul fi As Sirah hal. 127)

Semoga Allah Yang Maha Menunjuki memberikan kita taufiq dan hidayah untuk selalu menerima kebenaran dan menjadi pihak pertama yang bersemangat menjalankannya.

?️ Abu Abdirrohman Sofian

Tinggalkan Balasan