Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Penjelasan Tentang Syafaat, Syarat-Syarat, dan Siapa yang Akan Mendapatkannya (Bagian Pertama)

SERIAL KAJIAN KITABUT TAUHID (Bag ke-61)


BAB KE-17:
SYAFAAT

Makna Syafaat

Syafaat secara bahasa artinya adalah ‘menggenapkan’. Bilangan angka dalam bahasa Arab terbagi menjadi 2 yaitu al-witr (ganjil) dan asy-syaf’u (genap). Dua hal ini disebut dalam al-Quran:

وَالشَّفْعِ وَالْوَتْرِ

Dan yang genap dan yang ganjil (Q.S al-Fajr ayat 3)

Pada sebagian qiro’ah dibaca: …wal witr.

Sedangkan secara istilah, syafaat adalah menjadi perantara bagi orang lain agar (orang lain itu) mendapatkan manfaat atau terhindar dari kemudaratan (Syarh Lum’atul I’tiqad karya Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin (1/35))

Seorang yang memberi syafaat artinya ia menjadi perantara yang mendukung pihak yang meminta bantuan untuk disampaikan kepada pihak lain. Maka ia menggenapkan jumlah orang yang meminta pertolongan itu dari asalnya satu (ganjil) menjadi 2 (genap). Contoh: si A butuh syafaat si B agar menyampaikan kepada si C keinginannya untuk minta bantuan. Karena si A tahu bahwa si B dekat dengan si C dan mudah diterima penjelasannya. Sehingga, makna syafaat adalah menjadi perantara bagi pihak lain untuk menyampaikan kebutuhannya dalam rangka mendapatkan manfaat atau menolak keburukan.

Raja-raja dan para penguasa di dunia butuh adanya asisten, menteri, atau orang kepercayaan yang bisa menyampaikan syafaat bagi orang-orang kecil (masyarakat biasa). Hal itu karena kekurangan dan kelemahan yang ada pada raja tersebut, ia tidak bisa mengetahui banyak hal dalam wilayah kekuasaannya hingga hal-hal yang detail. Sehingga, orang-orang kepercayaan itulah yang akan memberi syafaat bahkan dalam kondisi tertentu melangkahi aturan tertentu yang sudah ditetapkan raja tanpa seijin raja untuk kebaikan pihak yang membutuhkan pertolongan. Itu yang terjadi pada makhluk. Sedangkan Allah, kekuasaannya sempurna, pengetahuannya sempurna, tidak butuh dengan pihak yang memberi syafaat. Pemberian syafaat antar makhluk bukanlah karena Allah membutuhkannya, tapi Allah jadikan ada pemberian syafaat antar makhluk hanya bisa terjadi atas seizin-Nya, dan itu manfaatnya kembali kepada makhluk. Dalam pemberian syafaat antar makhluk di akhirat itu terdapat 2 hal :

Pertama, pemuliaan terhadap sang pemberi syafaat. Ia akan ditampakkan memiliki kemuliaan di hadapan makhluk lain.

Kedua, memberikan manfaat bagi pihak yang diberi syafaat. (disarikan dari al-Qoulul Mufiid syarh Kitaabit Tauhid dengan beberapa penyesuaian).

Pemberian Syafaat Antar Sesama Manusia di Dunia

Pemberian syafaat antar sesama manusia dalam kehidupan dunia terbagi menjadi 2 hal:

1. Haram

Tidak boleh bagi seseorang memberi syafaat untuk suatu hal yang haram, atau memberikan syafaat pada suatu hukum had yang urusannya sudah sampai pada penguasa (waliyyul amr).

وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan permusuhan (Q.S al-Maaidah ayat 2).

عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ الزُّبَيْرَ بْنَ الْعَوَّامِ لَقِيَ رَجُلًا قَدْ أَخَذَ سَارِقًا وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِهِ إِلَى السُّلْطَانِ فَشَفَعَ لَهُ الزُّبَيْرُ لِيُرْسِلَهُ فَقَالَ لَا حَتَّى أَبْلُغَ بِهِ السُّلْطَانَ فَقَالَ الزُّبَيْرُ إِذَا بَلَغْتَ بِهِ السُّلْطَانَ فَلَعَنَ اللَّهُ الشَّافِعَ وَالْمُشَفِّعَ

Dari Rabi’ah bin Abi Abdirrohman bahwa az-Zubair bin al-‘Awwaam bertemu dengan seorang laki-laki yang memegang seorang pencuri yang akan dibawa ke penguasa. Maka az-Zubair memberikan syafaat kepadanya agar pencuri itu dilepaskan. Laki-laki itu menjawab: Tidak, hingga aku bawa ia di hadapan penguasa. Az-Zubair menyatakan: Jika engkau telah menyampaikannya kepada penguasa, maka Allah melaknat pemberi syafaat dan yang diberi syafaat (H.R Malik)

2. Boleh, bahkan terpuji.

Memberikan syafaat dalam hal yang mubah kepada seseorang dan orang itu memang berhak mendapatkannya.

مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيبٌ مِنْهَا وَمَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ كِفْلٌ مِنْهَا

Barangsiapa yang memberikan syafaat yang baik, maka ia akan mendapatkan bagiannya (pahala) dan barangsiapa yang memberikan syafaat yang buruk, maka ia juga mendapatkan bagian dosa darinya… (Q.S anNisaa’ ayat 85)

عَنْ مُعَاوِيَةَ: اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا فَإِنِّي لَأُرِيدُ الْأَمْرَ فَأُؤَخِّرُهُ كَيْمَا تَشْفَعُوا فَتُؤْجَرُوا فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اشْفَعُوا تُؤْجَرُوا

Dari Muawiyah –semoga Allah meridhainya- (beliau berkata): Berikanlah syafaat (untuk saudara kalian) niscaya kalian mendapatkan pahala. Sesungguhnya aku benar-benar memutuskan suatu perkara tapi aku tunda agar ada di antara kalian yang memberikan syafaat sehingga kalian mendapatkan pahala. Karena Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Berikanlah syafaat niscaya kalian akan diberi pahala. (H.R Abu Dawud, dan asalnya ada dalam riwayat al-Bukhari dari Abu Musa al-Asy’ariy)

Jika seseorang membantu saudaranya dengan memberikan syafaat kepadanya karena memang orang itu berhak mendapatkan, atau karena ia terdzhalimi dan menghilangkan kedzhaliman kepadanya, atau yang memang sudah menjadi bagian tugas kewajiban dia, maka hendaklah ia ikhlas mengharap pahala dari Allah, janganlah menerima hadiah apapun setelah syafaatnya berhasil diterima.

مَنْ شَفَعَ لِأَخِيهِ بِشَفَاعَةٍ فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً عَلَيْهَا فَقَبِلَهَا فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيمًا مِنْ أَبْوَابِ الرِّبَا

Barangsiapa yang memberikan syafaat untuk saudaranya dengan suatu syafaat kemudian orang itu memberikan hadiah kepadanya dan ia menerimanya, maka ia telah mendatangi salah satu pintu besar dari riba (H.R Abu Dawud, Ahmad, dishahihkan al-Albaniy)

Nabi pernah memberikan syafaat untuk seorang suami kepada istrinya yang akan berpisah, tapi syafaat itu ditolak oleh istrinya. Ada seorang wanita yang asalnya budak Aisyah bernama Bariroh. Saat ia masih berstatus budak, ia adalah istri dari seorang budak laki-laki yang bernama Mughits. Suatu ketika, Bariroh dimerdekakan, sedangkan Mughits masih tetap budak.

Dalam kondisi semacam ini, sang istri yang telah merdeka memiliki pilihan untuk secara otomatis lepas dari pernikahan suaminya yang masih budak atau tetap menjadi istrinya. Kemudian Bariroh memilih untuk lepas dari ikatan pernikahan dengan suaminya. Maka suaminya, Mughits, terus merayunya berjalan di belakangnya sambil menangis agar jangan meninggalkan dia. Mughits kemudian meminta bantuan kepada Abbas agar disampaikan kepada Nabi. Nabi selanjutnya memberi syafaat dengan menyampaikan kepada mantan istri orang tersebut yaitu Bariroh agar mau kembali kepada suaminya.

Bahkan Nabi sampai menyatakan: Wahai Bariroh, bertakwalah engkau kepada Allah, sesungguhnya dia adalah suamimu dan ayah anakmu. Bariroh menyatakan: Apakah ini adalah perintah dari Anda, wahai Rasul? Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menyatakan:

إِنَّمَا أَنَا أَشْفَعُ

(Tidak). Saya hanyalah pemberi syafaat saja.

Maka Bariroh menyatakan: Saya tidak memiliki keperluan lagi dengan dia. Hadits ini diriwayatkan al-Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya.

 

Penulis:
Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan