Ringkasan Pembahasan Risalah Tafsir Kalimat Tauhid
Beberapa poin inti pembahasan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah dalam risalah Tafsir Kalimat Tauhid:
- Kalimat Tauhid Laa Ilaaha Illallah memiliki beberapa keutamaan, di antaranya: pembeda antara kekafiran dan keislaman, ikatan terkuat, kalimat takwa, kalimat yang diwariskan Nabi Ibrahim pada keturunannya.
- Tidak cukup mengucapkan Laa Ilaaha Illallah tanpa memahami maknanya. Karena orang-orang munafik juga mengucapkannya, tapi mereka berada di lapisan neraka terbawah.
- Beberapa hadits menunjukkan adanya syarat pengucapan Laa Ilaaha Illallah, di antaranya: ikhlas, jujur, dan mengkufuri segala yang disembah selain Allah. Artinya, tidak cukup hanya mengucapkannya saja.
- Rukun kalimat tauhid ini ada 2, yaitu penafian dan penetapan. Menafikan segala sembahan yang benar dan ditetapkan hanya untuk Allah saja. Sehingga, makna Laa Ilaaha Illallah adalah tidak ada sembahan (yang diibadahi) secara benar kecuali hanya Allah Ta’ala semata. Tidak ada yang berhak memiliki sifat Uluhiyyah (sasaran peribadatan) secara benar kecuali Allah Azza Wa Jalla saja.
- Kedua makhluk paling mulia saja yaitu Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam dan Malaikat Jibril tidak berhak mendapatkan sifat Uluhiyyah. Apalagi yang lain.
- Keyakinan sebagian orang akan orang sholih bahwasanya mereka adalah as-Sirr, Sayyid, Faqir, Syaikh (dengan berharap, takut, diiringi perendahan diri kepadanya) adalah bagian dari mendudukkan mereka ke tingkat Uluhiyyah. Meskipun orang-orang sholih itu dianggap sebagai perantara saja. Karena itulah keyakinan orang-orang musyrik dahulu terhadap Ilah mereka. Sehingga makna Laa Ilaaha Illallah adalah menafikan seluruh perantara (antara ibadah seorang hamba dengan Allah) itu.
- Orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah shollallahu alaihi wasallam meyakini tauhid Rububiyyah (keyakinan bahwa Allah satu-satunya pencipta, penguasa, pengatur, dan pemberi rezeki) tapi belum memasukkan mereka ke dalam Islam. Karena mereka tidak mempersembahkan ibadah hanya kepada Allah.
- Keyakinan Uluhiyyah yang benar (sebagai makna Laa Ilaaha Illallah) adalah bahwa tidaklah menjadi sasaran doa, istighatsah, penyembelihan, dan bernadzar, serta berbagai ibadah lain kecuali untuk Allah semata.
- Kesyirikan yang terjadi bukanlah menyembah berhala saja. Namun juga ada yang menyembah Malaikat, Nabi, orang sholih.
- Allah mewajibkan sikap berlepas diri membenci kekafiran dan pelaku kekafiran. (Namun, tetap tidak diperbolehkan berbuat dzhalim kepada siapapun, baik orang muslim maupun selain muslim, demikian juga tidak terlarang bermuamalah secara adil kepada orang-orang kafir sekalipun, pen).
- Musyrik zaman ini lebih parah dibandingkan zaman dahulu. Kalau musyrik zaman dahulu berbuat syirik saat lapang dan senang saja, yang kalau susah dan sempit mereka hanya berdoa kepada Allah. Sedangkan musyrik zaman ini baik susah maupun senang tetap berbuat kesyirikan. Kemudian, kalau musyrik zaman dahulu yang disekutukan selain Allah adalah orang-orang yang memang sholih atau Nabi, sedangkan di masa kini yang disekutukan selain Allah juga adalah orang-orang yang buruk dan durhaka.
Namun, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab tidaklah gegabah mengkafirkan pihak-pihak yang benar-benar tidak tahu atau belum tegak hujjah padanya, sebagaimana pernyataan beliau dinukil dalam ad-Durar as-Saniyyah. Dalam kesempatan lain, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah menyatakan: “Aku mengkafirkan orang yang mengenal agama Rasul, kemudian setelah dia kenali dia mencelanya, melarang manusia darinya, memusuhi orang yang menerapkannya. Orang seperti inilah yang aku kafirkan. Dan kebanyakan umat (Islam) saat ini –segala puji bagi Allah- tidaklah demikian.” (al-Jawahirul Mudhiyyah 1/11, pen).
Penulis: Abu Utsman Kharisman