Bab Kesembilan dari Kitabut Tauhid: Kesyirikan Orang yang Tabarruk Kepada Pohon, Batu, atau Semisalnya (bag.3)
SERIAL KAJIAN KITABUT TAUHID (Bag ke-37)
Dalil Kedua:
عَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ أَنَّهُمْ خَرَجُوا عَنْ مَكَّةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى حُنَيْنٍ قَالَ وَكَانَ لِلْكُفَّارِ سِدْرَةٌ يَعْكُفُونَ عِنْدَهَا وَيُعَلِّقُونَ بِهَا أَسْلِحَتَهُمْ يُقَالُ لَهَا ذَاتُ أَنْوَاطٍ قَالَ فَمَرَرْنَا بِسِدْرَةٍ خَضْرَاءَ عَظِيمَةٍ قَالَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ اجْعَلْ لَنَا ذَاتَ أَنْوَاطٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُمْ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى {اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةً قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ} إِنَّهَا لَسُنَنٌ لَتَرْكَبُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ سُنَّةً سُنَّةً
(رواه أحمد واللفظ له, ورواه أيضا الترمذي, والنسائي وغيرهم)وفي لفظ رواية الطيالسي : وَنَحْنُ حَدِيْثُ عَهْدٍ بِكُفْرٍ
Dari Abu Waqid al-Laitsiy radhiyallahu anhu bahwa mereka keluar dari Makkah bersama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menuju Hunain dan orang-orang Kafir memiliki pohon bidara yang biasa mereka gunakan untuk i’tikaf (duduk berdiam diri di dekatnya) dan menggantungkan senjata-senjata mereka, yang pohon itu disebut sebagai Dzatu Anwaath (artinya: yang memiliki gantungan). Kemudian kami melewati suatu pohon bidara hijau yang besar. Kemudian sebagian kami berkata: Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwaath sebagaimana mereka (para musyrikin itu) memiliki Dzatu Anwaath. Maka Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menyatakan: Sungguh demi Allah yang jiwaku berada di TanganNya, kalian telah berkata seperti perkataan kaum Musa (dalam surat al-A’raaf: 138): (yang artinya) “Buatkan untuk kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan. Musa berkata: Sesungguhnya kalian adalah kaum yang bodoh”. (Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam) bersabda: Sungguh itu adalah sunnah (contoh dari umat sebelumnya). Sungguh-sungguh kalian akan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kalian, satu persatu sunnah.
(H.R Ahmad, atTirmidzi, anNasaai dan lainnya. Para perawi dalam Musnad Ahmad sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim. Lafadz hadits ini berdasarkan riwayat Ahmad).Dalam lafadz riwayat atThoyaalisiy, ada pernyataan dari Abu Waqid al-Laitsiy: sedangkan kami pada waktu itu baru terlepas dari kekafiran (baru masuk Islam).
Baca bagian sebelumnya: Bab Kesembilan dari Kitabut Tauhid: Kesyirikan Orang yang Tabarruk Kepada Pohon, Batu, atau Semisalnya (bag.2)
Penjelasan Umum Dalil Kedua
Saat berangkat dari Makkah menuju Hunain untuk berjihad, Nabi dan para Sahabatnya melewati suatu pohon bidara yang besar. Kaum musyrikin pada waktu itu biasa memiliki suatu pohon bidara yang disebut dengan Dzatu Anwaath untuk menggantungkan senjata-senjata mereka memohon keberkahan melalui pohon itu dan mereka beri’tikaf di dekat pohon tersebut.
Sebagian Sahabat yang baru masuk Islam, melihat itu suatu kesempatan untuk menandingi kebiasaan orang-orang musyrikin, mumpung ada pohon yang besar dan cocok untuk dibuat seperti Dzatu Anwaath, hingga bisa menggantungkan pedang-pedang di pohon itu agar diberkahi dan punya kekuatan lebih saat dipakai dalam jihad.
Mereka berkata: Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwaath sebagaimana mereka (orang-orang musyrikin) itu memiliki Dzatu Anwaath.
Maka Rasulullah shollallahu alaihi wasallam marah, dalam lafadz riwayat anNasaai beliau bertakbir menunjukkan keterkejutan dengan pertanyaan itu. Kemudian Nabi menyatakan: Sungguh ucapan kalian ini sama dengan ucapan Bani Israil kepada Musa: Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan!! (Saat itu Bani Israil ketika dalam perjalanan melihat suatu kaum menyembah berhala).
Al-Imam al-Baghowy -salah seorang Ulama bermadzhab asy-Syafii- menyatakan dalam tafsirnya bahwa kaum Bani Israil menyatakan demikian bukan karena mereka ragu akan keesaan Allah, bahwa Allah Maha Tunggal. Bukan demikian. Hanya saja mereka seakan-akan berkata: buatkanlah untuk kami sesuatu yang bisa kami agungkan dan kami bisa mendekatkan diri kepada Allah dengan mengagungkan sesuatu itu. Mereka menyangka bahwa hal itu tidaklah menimbulkan mudharat bagi agama mereka karena demikian bodohnya mereka tentang agama. (Tafsir al-Baghowy (3/274), penafsiran surat al-A’raaf ayat 138)
Kemudian Nabi shollallahu alaihi wasallam menyatakan bahwa ini adalah Sunnah. Sunnah yang dimaksud Nabi itu adalah teladan yang buruk dari umat sebelumnya. Nabi menyampaikan setelahnya bahwa sungguh di antara umat Nabi Muhammad akan ada orang-orang yang mengikuti sunnah (contoh buruk) dari umat terdahulu (Yahudi dan Nashara).
Pelajaran yang Bisa Diambil dari Hadits Ini
1. Bertabarruk (mencari keberkahan) pada suatu pohon adalah suatu kesyirikan.
Untuk mengantisipasi terjadinya fitnah sebab timbulnya kesyirikan, Umar bin al-Khoththob memerintahkan untuk menebang pohon yang menjadi saksi sejarah saat terjadinya Baiatur Ridhwaan antara Nabi dan para Sahabatnya.
عَنْ نَافِعٍ قَالَ كَانَ النَّاسُ يَأْتُوْنَ الشَّجَرَةَ الَّتِي يُقَالُ لَهَا شَجَرَة الرِّضْوَانِ فَيُصَلُّوْنَ عِنْدَهَا قَالَ فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَر بْنَ الْخَطَّابِ فَأَوْعَدَهُمْ فِيْهَا وَأَمَرَ بِهَا فَقُطِعَتْ
Dari Nafi’ beliau berkata: Manusia mendatangi pohon yang disebut sebagai pohon arRidhwaan, kemudian mereka sholat di sisinya. Kemudian hal itu sampai kepada Umar bin al-Khoththob kemudian Umar mengancam mereka dan memerintahkan agar pohon itu ditebang, hingga ditebang (riwayat Ibnu Sa’ad dalam atThobaqotul Kubro dinyatakan sanadnya shahih oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari).
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaaniy rahimahullah menyatakan dalam kitab Fathul Baariy:
ثم وجدت عند ابن سعد بإسناد صحيح عن نافع أن عمر بلغه أن قوماً يأتون الشجرة فيصلون عندها، فتوعدهم ثم أمر بقطعها فقطعت
Kemudian saya mendapati pada (riwayat) Ibnu Sa’ad dengan sanad yang shahih dari Nafi’ bahwa Umar sampai kepada beliau (berita) bahwa suatu kaum mendatangi pohon kemudian sholat di sisinya, maka Umar mengancam mereka kemudian memerintahkan pohon itu ditebang, hingga ditebanglah pohon itu (Fathul Baari (7/448)).
2. Seseorang yang baru keluar dari kekafiran, atau baru masuk Islam, sangat mungkin masih ada keyakinan-keyakinan kufur yang masih terbawa hingga saat sudah menjadi muslim.
3. Memperingatkan dari bahaya kesyirikan harus terus dilakukan, sekalipun saat sedang dalam perjalanan menuju jihad. Pada saat itu Nabi dan para Sahabat sedang dalam perjalanan menuju jihad perang Hunain. Nabi memperingatkan dari keyakinan kesyirikan.
Tidak seperti anggapan sebagian orang yang mengatakan: sudahlah jangan bahas tentang kesyirikan, itu memecah belah kaum muslimin.
Pernyataan itu salah, karena justru saat jihad dan perjuangan menegakkan Islam, kita sangat butuh pertolongan Allah, dan pertolongan Allah tidak akan turun jika seseorang atau suatu kelompok melakukan kesyirikan. Dan justru dengan membantah kesyirikan kaum muslimin akan bersatu secara benar, yaitu bersatu di atas tauhid, sedangkan kesyirikan justru akan mencerai beraikan mereka.
Seperti dalam ayat dalam dalil pertama di atas, orang-orang musyrikin itu terpecah belah ada yang mengagungkan Lata (penduduk Thaif), ada yang mengagungkan Uzza (penduduk Makkah), dan ada yang mengagungkan Manat (penduduk Madinah).
4. Hadits ini adalah salah satu dari sekian banyak dalil yang menunjukkan benarnya kaidah: menjadikan sesuatu sebagai sebab, padahal ia bukanlah sebab syar’i maupun qodariy adalah kesyirikan.
Orang musyrikin menggantungkan pedang pada pohon bidara dengan anggapan bahwa pohon itu bisa menjadi sebab pedang yang digantungkan mendapatkan tambahan kekuatan. Padahal menggantungkan pedang pada pohon bukanlah penyebab syar’i maupun qodariy untuk mendapatkan tambahan kekuatan.
5. Pemberitahuan dari Nabi berdasarkan wahyu dari Allah bahwa sebagian dari umat Nabi Muhammad akan mengikuti jejak kaum sebelumnya, meniru Yahudi dan Nashara.
Tingkatan Kesyirikan Bagi yang Bertabarruk kepada Pohon atau Batu
Termasuk syirik kecil jika ia hanya menganggap bahwa pohon atau batu itu adalah sesuatu yang bisa menjadi sebab keberkahan. Sumber keberkahan tetap diyakini berasal dari Allah, dan ia tidak menjadikan pohon atau batu itu sebagai sarana ibadah/ mendekatkan diri kepada Allah. Tapi ia telah menjadikan sesuatu sebagai sebab, padahal ia bukanlah sebab syar’i ataupun qodariy.
Termasuk syirik besar jika:
- Menganggap pohon atau batu itulah sumber keberkahan, bukan sekedar penyebab. Atau,
- Beribadah, mendekatkan diri kepada Allah melalui perantaraan pohon atau batu itu. Atau,
- Jika tercapai 2 hal lain:
- Mengagungkan pohon atau batu itu.
- Beri’tikaf (berdiam diri di tempat itu), seperti bersemedi di dekat pohon atau batu itu untuk mendapatkan keberkahan
Poin ke-3 ini disarikan dari penjelasan Sholih bin Abdil Aziz Aalusy Syaikh dalam atTamhiid li Kitabit Tauhid.
Oleh:
Abu Utsman Kharisman