Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Bab Kesepuluh: Kesyirikan Menyembelih untuk Selain Allah (bagian ketiga)

SERIAL KAJIAN KITABUT TAUHID (Bag ke-40)

Dalil Ketiga:

لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَيْهِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ غَيَّرَ الْمَنَارَ

Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Allah melaknat orang yang melindungi pelaku dosa besar/ kebid’ahan. Allah melaknat orang yang melaknat kedua orangtuanya. Allah melaknat orang yang merubah tanda (batas/ petunjuk di tanah).
(H.R Muslim dari Ali bin Abi Tholib)


Baca bagian sebelumnya: Bab Kesepuluh: Kesyirikan Menyembelih untuk Selain Allah (bagian kedua)


Penjelasan Dalil Ketiga

Hadits ini menjelaskan bahwa Allah melaknat 4 kelompok orang:

  1. Orang yang menyembelih untuk selain Allah.
  2. Orang yang melindungi pelaku dosa besar/ kebid’ahan.
  3. Orang yang melaknat kedua orangtuanya.
  4. Orang yang merubah tanda (batas/ petunjuk) tanah.

Berikut ini penjelasan pada tiap bagian kelompok yang disebut:

Laknat Allah bagi Orang yang Menyembelih untuk Selain Allah

al-Imam anNawawiy –salah seorang Ulama Syafiiyyah- menyatakan:

Maksud menyembelih untuk selain Allah adalah menyembelih dengan (menyebut) nama selain Allah seperti orang yang menyembelih untuk berhala, salib, atau Musa dan Isa –semoga keselamatan untuk keduanya- atau untuk Ka’bah atau semisal itu. Semua ini adalah haram. Tidak halal makan sesembelihan ini. Sama saja apakah yang menyembelih adalah orang Muslim, Nashrani, atau Yahudi, demikianlah yang dinyatakan (al-Imam) asy-Syafii dan disepakati oleh para Sahabat kami.

Jika dimaksudkan bersamaan dengan itu pengagungan terhadap pihak yang disembelihkan selain Allah Ta’ala dan beribadah kepadanya, maka yang demikian adalah kekufuran. Meskipun sebelumnya penyembelihnya adalah muslim, maka ia menjadi murtad.

Syaikh Ibrohim al-Marwaziy dari kalangan sahabat kami menyatakan bahwa apa yang disembelihkan pada saat kedatangan raja dalam rangka mendekatkan diri kepadanya, Ahli Bukharah telah berfatwa tentang keharamannya, karena hal itu termasuk yang disembelih untuk selai Allah Ta’ala.

Ar-Rofi’i berkata: Ini hanyalah penyembelihan untuk ungkapan kegembiraan karena kedatangannya, seperti penyembelihan aqiqah karena kelahiran seorang anak. Yang demikian tidaklah haram. Wallaahu A’lam

(Syarhun Nawawiy ala Muslim (13/141))

Hal-hal yang termasuk dalam laknat Allah bagi yang menyembelih untuk selain Allah di antaranya adalah:

  1. Penyembelihan untuk berhala dalam rangka mendekatkan diri padanya.
  2. Penyembelihan untuk tujuan mendapatkan daging namun disebut nama selain Allah dalam penyembelihannya.
  3. Penyembelihan untuk mengagungkan makhluk ketika ia baru datang ke tempat itu. Saat pihak yang diagungkan itu datang, ditunjukkan penyembelihan/ pengaliran darah di hadapannya sebagai bentuk pengagungan.
  4. Penyembelihan ketika sudah lama tidak turun hujan di tempat tertentu, atau di kuburan tertentu dengan tujuan agar turun hujan. Kadangkala tercapai tujuan tersebut meski dilakukan dengan kesyirikan sebagai bentuk ujian dari Allah Azza Wa Jalla.
  5. Penyembelihan ketika baru menempati rumah baru, dalam rangka mencegah gangguan jin. Ini adalah kesyirikan. Sedangkan jika saat menempati rumah baru kemudiaan mengundang rekan-rekan, tetangga dan kerabat untuk makan sekedar ungkapan kegembiraan, bukan diyakini untuk mencegah gangguan jin atau keyakinan batil lainnya, maka yang demikian tidak mengapa.

(disarikan dari I’aanatul Mustafiid bi syarhi Kitaabit Tauhid li Sholih al-Fauzan)

Jika penyembelihan itu bukan dalam rangka taqarrub/ ibadah, seperti menyembelih dengan menyebut nama Allah tujuannya mendapatkan daging untuk dimakan atau dihidangkan pada tamu, maka yang demikian tidak mengapa (atTamhiid li syarhi Kitaabit Tauhid li Sholih bin Abdil Aziiz Aalusy Syaikh)

Termasuk kesyirikan juga jika seseorang yang melakukan penyembelihan meski menyebut Nama Allah, tapi memaksudkan dalam pengaliran darah itu untuk bertaqorrub (mendekatkan diri) dengan mengagungkan orang yang dikubur, atau Nabi, atau orang sholih (atTamhiid li syarhi Kitaabit Tauhid li Sholih bin Abdil Aziiz Aalusy Syaikh)

Laknat Allah bagi yang Melindungi Pelaku Dosa Besar/ Kebid’ahan

Lafadz dalam hadits ini sebagian riwayat menyebut: muhditsan (kasroh), dan sebagian riwayat menyebut: muhdatsan (fathah) (Penjelasan al-Munawiy –salah seorang Ulama Syafiiyyah- dalam Faidhul Qodiir (5/351)).

Jika yang disebut adalah muhditsan, maksudnya adalah orang-orang yang melakukan dosa besar yang berhak mendapatkan hukum had. Misalkan pencuri (barang seharga seperempat dinar atau lebih) dan beritanya telah sampai kepada hakim. Ia berhak mendapatkan hukuman potong tangan. Bagi orang yang menyembunyikan atau melindunginya, ia berhak mendapatkan laknat dari Allah.

Jika yang disebut adalah muhdatsan, maksudnya adalah para pelaku kebid’ahan. Kedua jenis itu, baik pelaku dosa besar ataupun kebid’ahan tidak boleh dilindungi. Tidak boleh kita mengakui dan ridha terhadap dosa besar atau kebid’ahan itu. Barangsiapa yang melindungi, mengakui, dan ridha terhadapnya, maka ia mendapatkan laknat Allah.

Laknat Allah Bagi yang Melaknat Kedua Orang tuanya

Kepada kedua orangtua seorang muslim seharusnya berbakti. Barangsiapa yang mengumpat, mencela, bahkan melaknat kedua orangtuanya, maka ia mendapatkan laknat Allah. Melaknat kedua orangtua bisa secara langsung atau tidak langsung. Secara tidak langsung, seperti jika ia melaknat orangtua orang lain, kemudian orang itu membalas melaknat orangtuanya, maka ia menjadi sebab kedua orangtuanya dilaknat orang lain, yang demikian juga mendapatkan laknat dari Allah.

إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ

Sesungguhnya di antara dosa yang paling besar adalah seseorang melaknat kedua orangtuanya. Ditanyakan kepada Nabi: Wahai Rasulullah, bagaimana bisa seseorang melaknat kedua orangtuanya sendiri? Nabi bersabda: Ia mencaci maki ayah orang lain kemudian orang itu (balas) mencaci maki ayahnya dan mencaci maki ibunya (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr, lafadz sesuai riwayat al-Bukhari)

Seharusnya akhlak seorang muslim adalah akhlak yang baik. Ia harus menjaga lisannya dari ucapan-ucapan keji, kotor, umpatan, atau cacian kepada individu tertentu.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاحِشًا وَلَا لَعَّانًا وَلَا سَبَّابًا

Dari Anas radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bukanlah seorang yang berkata kotor, suka melaknat, ataupun mencaci maki (H.R al-Bukhari)

لَا يَكُونُ اللَّعَّانُونَ شُفَعَاءَ وَلَا شُهَدَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Orang-orang yang suka melaknat tidak akan menjadi pemberi syafaat maupun saksi pada hari kiamat (H.R Muslim dari Abud Darda’)

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pernah berpesan kepada Sahabat Nabi Salim bin Jabir al-Hujaimiy:

وَلَا تَسُبَّنَ شَيْئًا

Jangan sekali-kali engkau mencaci/ mencerca sesuatu

Setelah mendengar nasehat dari Nabi tersebut, Salim menyatakan:

فَمَا سَبَبْتُ بَعْدُ دَابَّةً وَلَا إِنْسَانًا

Maka setelah itu aku tidak pernah mencerca sesuatupun baik hewan ataupun manusia (H.R al-Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan al-Albany).

Laknat Allah Bagi Orang yang Mengubah Tanda/ Batas Tanah

Para Ulama menjelaskan bahwa mengubah tanda atau batas tanah itu bisa berupa:

1. Mengubah batas-batas wilayah Haram di Makkah.

Di dalam wilayah Haram terlarang untuk memburu binatang buruannya, memotong pohonnya, atau mengambil barang temuannya.  Ada tanda-tanda batas-batas wilayah Haram seperti di atTan’iim, al-Hudaybiyah, Arofaat, Namiroh, dan Ji’ronah. Orang yang mengubah batas-batas ini secara sengaja terancam mendapatkan laknat dari Allah.

2. Mengubah batas patok tanahnya sehingga ia mengambil wilayah milik orang lain.

3. Mengubah papan-papan penunjuk arah yang menyebabkan orang tersesat.

Ketiga hal ini terancam mendapatkan laknat dari Allah (disarikan dari penjelasan Syaikh Sholih al-Fauzan dalam I’aanatul Mustafiid)

 

Penulis:
Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan