Cinta Tanah Air Antara Naluri, Bahaya dan Kemuliaan
Cinta tanah air merupakan sentimen naluriah. Tidak secara pasti menggambarkan kebaikan secara mutlak. Jika terjadi secara wajar pada negeri yang baik, hal itu diperbolehkan. Apabila cintanya bukan semata karena kampung halaman, namun lebih karena kebaikan pada negeri dan masyarakatnya, maka hal itu terpuji. Sebaliknya jika cintanya tidak wajar sehingga menjadi fanatik buta, hingga apapun yang terjadi walaupun salah tetap bela tanah air, menjadi tercela dan berbahaya.
Nabi shalallahu alaihi wasallam adalah teladan kita semua. Beliau pernah berkediaman di negeri Mekah, dan beliau alaihisaholatu wassalam mencintainya. Tatkala Allah memerintahkan hijrah, beliau semangat hijrah dari Mekah yang disayangi sebagai bukti mencintai perintah Allah, lebih daripada kecintaan terhadap negeri asal beliau, alaihishsholatu wassalam.
Baca Juga: Cinta Tanah Air yang Benar
Cinta dan rindu kepada tanah air memang hal wajar yang diperbolehkan. Namun jangan sampai kecintaan naluriah itu menyebabkan seseorang lebih mementingkannya dibandingkan perintah Allah. Jangan pula menolak untuk menanggung konsekwensi dari perjuangan di jalan-Nya. Jika terpaksa diperhadapkan, muslim sejati tak kan ragu mendahulukan cinta ilahi.
Ingatlah, tatkala Waroqoh bin Naufal – putra paman Khodijah istri Rasulullah shollallahu alaihi wasallam – mengomentari isi cerita Nabi shollallahu alaihi wasallam yang di masa awal diturunkan wahyu kepada beliau berupa mimpi yang benar, dia berkata:
لَيْتَنِي أَكُونُ حَيًّا إِذْ يُخْرِجُكَ قَوْمُكَ
“Duhai kiranya aku masih hidup ketika engkau dikeluarkan (dari tanah airmu) oleh kaummu!’
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَوَمُخْرِجِيَّ هُمْ؟
Nabipun shollallahu alaihi wasallam bersabda: “Apakah mereka akan mengeluarkanku?”
(HR. Al Bukhari no. 3)
Baca Juga: Khotbah Iedul Adha 1439 H: Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menjelaskan,
ﻗﺎﻝ اﻟﺴﻬﻴﻠﻲ ﻳﺆﺧﺬ ﻣﻨﻪ ﺷﺪﺓ ﻣﻔﺎﺭﻗﺔ اﻟﻮﻃﻦ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﻔﺲ ﻓﺈﻧﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳﻤﻊ ﻗﻮﻝ ﻭﺭﻗﺔ ﺃﻧﻬﻢ ﻳﺆﺫﻭﻧﻪ ﻭﻳﻜﺬﺑﻮﻧﻪ ﻓﻠﻢ ﻳﻈﻬﺮ ﻣﻨﻪ اﻧﺰﻋﺎﺝ ﻟﺬﻟﻚ ﻓﻠﻤﺎ ﺫﻛﺮ ﻟﻪ اﻹﺧﺮاﺝ ﺗﺤﺮﻛﺖ ﻧﻔﺴﻪ ﻟﺬﻟﻚ ﻟﺣﺐ اﻟﻮﻃﻦ ﻭﺇﻟﻔﻪ
As Suhaili berkata, “Diperoleh kesimpulan darinya begitu berat konsekwensi berpisah dengan negeri asal pada diri beliau. Karena sesungguhnya beliau shollallahu alaihi wasallam telah mendengar tengara Waroqoh bahwa mereka akan menyakiti dan mendustakan beliau, tapi belum terdengar suara terkejut beliau karena itu. Namun ketika disebutkan kepada beliau konsekwensi keluar (meninggalkan tanah air), tergeraklah jiwa beliau karenanya. Disebabkan rasa cinta dan sayang terhadap tanah airnya.”
(Fathul Bari 12/359)
Artikel yang semoga bermanfaat pula: Cinta Tanah Air Bagian Keimanan?
Yatsrib yang lalu menjadi Madinah kemudian menjadi negeri yang beliau cintai, karena Allah.
Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu anhu meriwayatkan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَأَبْصَرَ دَرَجَاتِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ نَاقَتَهُ، وَإِنْ كَانَتْ دَابَّةً حَرَّكَهَا. قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ: زَادَ الْحَارِثُ بْنُ عُمَيْرٍ عَنْ حُمَيْدٍ : حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا
“Dahulu Rasulullah shollallahu alaihi wasallam apabila beliau baru tiba dari perjalanan jauh dan telah mulai melihat jalan-jalan di dataran tinggi Madinah (dalam riwayat lain disebutkan dinding-dinding bangunannya), beliau alaihish sholatu wassalam biasanya segera mempercepat laju unta tunggangannya. Atau jika yang dikendarai jenis tunggangan lain, beliau menggerakkannya.”
Abu Ubaidillah (salah seorang rawi) berkata: Al Harits bin Umair telah menambahkan redaksi dari Humaid,
“Beliau (alaihishsholatu wasallam) menggerakkannya karena kecintaan (terhadap negeri madinah).”
(HR. Al Bukhori dalam Kitab Shahih beliau no. 1802 sesuai urutan Fathul Bari)
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menjelaskan,
ﻭﻓﻲ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﺩﻻﻟﺔ ﻋﻠﻰ ﻓﻀﻞ اﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻭﻋﻠﻰ ﻣﺸﺮﻭﻋﻴﺔ ﺣﺐ اﻟﻮﻃﻦ ﻭاﻟﺤﻨﻴﻦ ﺇﻟﻴﻪ
“Pada hadits ini terdapat petunjuk tentang keutamaan negeri Madinah (secara khusus-pen), dan tentang disyariatkannya mencintai tanah air serta merindukannya.”
(Fathul Bari 3/621)
Mari kita isi kemerdekaan dengan memurnikan tauhid, mempelajari, mengamalkan dan menyebarkan iman dan amal sholih ke seluruh pelosok negeri.
Semoga Allah karuniakan kepada negeri kita tercinta ini berbagai kebaikan (thoyyibah) dan ampunan dari-Nya. Sehingga kecintaan naluriah kita terbawa menjadi kecintaan yang lebih mulia karena Allah semata.
Oleh: Abu Abdirrohman Sofian