Macam-Macam Hadits Berdasarkan Jumlah Perawi pada Tiap Tingkatan
SERIAL KAJIAN ILMU MUSTHOLAH HADITS KITAB AL-MANDZUMAH AL-BAIQUNIYAH
Suatu hadits yang disabdakan oleh Nabi sampai kepada kita melalui beberapa tingkatan. Tiap tingkatan berbeda-beda jumlah perawi yang meriwayatkan.
Sebagai contoh, suatu hadits diriwayatkan dari Nabi dari Sahabat Ibnu Umar dari Nafi’ dari Malik. Di sini ada setidaknya 3 tingkatan orang yang menyampaikan berita dari Nabi. Tingkatan pertama adalah Sahabat Nabi, yaitu Ibnu Umar. Tingkatan kedua adalah Nafi’, seorang Tabi’i. Tingkatan ketiga adalah Malik, seorang Tabi’ut Tabi’in.
Apabila jalur periwayatan hadits hanya satu ini saja, hadits ini disebut gharib. Tiap tingkatan melalui satu perawi saja. Apabila tiap tingkatan setidaknya melalui 2 atau 3 perawi, haditsnya disebut aziz. Sedangkan jika tiap tingkatan setidaknya lebih dari 3 perawi namun masih dalam jumlah yang terbatas (belum sampai mutawatir), disebut masyhur. Hadits gharib, aziz, dan masyhur masuk dalam kategori hadits Aahaad.
Berdasarkan jumlah perawi pada tiap tingkatan, secara garis besar, hadits terbagi 2, yaitu mutawatir dan Aahaad. Mutawatir adalah hadits yang tiap tingkatan perawi diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang, sedemikian banyaknya sehingga mereka tidak mungkin bersepakat dalam kedustaan.
Patokan pengelompokan hadits itu adalah berdasarkan jumlah minimal perawi yang meriwayatkan dalam suatu tingkatan. Jika pada salah satu tingkatan, hanya satu perawi yang meriwayatkan, hadits itu ternilai gharib, meski pada tingkatan lain jumlahnya sangat banyak. Misalkan, seandainya suatu hadits dari Nabi hanya diriwayatakan seorang Sahabat, kemudian dari satu Sahabat Nabi ini ada puluhan Tabi’in yang meriwayatkan, dan dari para Tabi’in tersebut masing-masing meriwayatkan pada tiap orang yang lain, haditsnya terhitung gharib. Karena pada salah satu tingkatan, hanya 1 perawi saja yang meriwayatkan.
baca bagian sebelumnya: Kajian Hadits Musalsal
Hadits Aziz dan Masyhur
Matan al-Baiquniyyah:
عَزِيزُ مَرْوِي اثْنَيْنِ أوْ ثَلاَثَهْ … مَشْهُورُ مَرْوِي فَوْقَ مَا ثَلَاثَهْ
Azizadalah yang diriwayatkan 2 orang atau 3…sedangkan masyhur adalah yang diriwayatkan lebih dari 3 orang (tiap tingkatan)
(al-Mandzhumah al-Baiquniyyah)
Penjelasan:
Dalam pengelompokan hadits berdasarkan jumlah perawi pada tiap tingkatannya, terkhusus definisi aziz dan masyhur, ada perbedaan pendapat Ulama, yaitu :
Pendapat Pertama: Aziz adalah tiap tingkatan jumlah perawinya minimal 2 atau 3. Sedangkan Masyhur adalah tiap tingkatan jumlah perawinya lebih dari 3 namun belum sampai derajat mutawatir.
Ini adalah pendapat dari Ibnu Mandah, Ibnus Sholah, dan al-Baiquniy.
Pendapat Kedua: Aziz adalah tiap tingkatan jumlah perawinya minimal 2. Sedangkan Masyhur adalah tiap tingkatan perawinya minimal 3, namun belum sampai derajat mutawatir.
Ini adalah pendapat al-Hafidz Ibnu Hajar dan as-Sakhowiy.
kajian mustholah hadits lainnya: Hadits Musnad dan Muttashil
Makna Aziz Secara Bahasa
Aziz secara bahasa bisa bermakna sulit atau kuat. Sulit, jika dilihat bahwa hadits Aziz keberadaannya sedikit. Hampir sulit didapatkan. Disebut juga kuat karena ia memiliki lebih dari satu jalur periwayatan, sehingga bisa menguatkan (disarikan dari Fathul Mughits karya as-Sakhowiy).
Dalam al-Quran, Allah Ta’ala berfirman:
إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُونَ
Ketika Kami mengutus kepada mereka 2 Rasul, tetapi mereka mendustakannya. Kemudian kami kuatkan dengan Rasul yang ketiga dan mereka (para Rasul) berkata: Sesungguhnya kami diutus kepada kalian (Q.S Yaasin ayat 14)
Contoh Hadits Aziz
Dalam kitab Nuzhatun Nadzhor fii Tawdhiihi Nukhbatil Fikar, al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaaniy rahimahullah menyebutkan contoh hadits Aziz adalah hadits berikut:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Tidaklah (sempurna) iman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintai olehnya dibandingkan orangtuanya, anaknya, dan manusia seluruhnya
(H.R al-Bukhari, Muslim, anNasaai, Ibnu Majah)
Orang yang meriwayatkan hadits ini dari Nabi adalah 2 orang Sahabat, yaitu Abu Hurairah dan Anas bin Malik. Sedangkan yang meriwayatkan dari Anas bin Malik ada 2 orang, yaitu Qotadah dan Abdul Aziz bin Shuhaib. Syuaibah dan Said meriwayatkan dari Qotadah. Sedangkan Ismail bin Ulayyah dan Abdul Warits bin Said meriwayatkan dari Abdul Aziz bin Shuhaib.
Definisi Masyhur Selain Istilah Ulama Hadits
Masyhur juga bisa bermakna hadits yang sudah banyak dinukil di kalangan orang awam, meski tidak jelas sanad atau keshahihannya. Al-Imam as-Sakhowiy meneliti hadits-hadits yang banyak tersebar dinukil oleh orang-orang, dalam kitab beliau berjudul:
الْمَقَاصِدُ الْحَسَنَةُ فِي بَيَانِ كَثِيْرٍ مِنَ اْلأَحَادِيْثِ الْمُشْتَهَرَةِ عَلَى الْأَلْسِنَةِ
Yang artinya, Maksud yang baik dalam menjelaskan kebanyakan hadits-hadits masyhur (yang banyak ternukil) oleh lisan.
Artikel penting lainnya: Sebutan Ahlussunnah Tidaklah Disematkan Melainkan Kepada Salafiyyun
Perbedaan Ahlussunnah dan Mu’tazilah dalam Menyikapi Hadits Aziz
Menurut Ahlussunnah, suatu hadits meski tidak sampai pada taraf aziz, jika terpenuhi syarat sebagai hadits shahih, bisa diterima dan diamalkan. Sehingga suatu hadits yang gharib pun, namun shahih, bisa diterima sebagai hujjah.
Sedangkan menurut Mu’tazilah –salah satu kelompok yang menyimpang-, seperti Abu Ali al-Jubba-iy, hadits yang bisa diterima minimal pada derajat Aziz. Mereka berdalil dengan peristiwa saat Umar tidak menerima hadits dari Abu Musa al-Asy’ariy tentang meminta izin sebanyak 3 kali. Umar meminta Abu Musa untuk mencari orang lain sebagai saksi yang mendengar hadits tersebut dari Nabi. Hingga yang menjadi saksi adalah Abu Said al-Khudriy.
Bantahan terhadap pendapat Mu’tazilah ini adalah sebagai berikut:
Pertama: Kaidah tersebut bertentangan dengan metode Ulama Hadits seperti al-Bukhari dan Muslim. Contohnya, hadits Innamal A’maalu bin Niyaat dan Hadits 2 Kalimat yang Ringan Tapi Berat di Timbangan. Kedua hadits itu tidak masuk dalam kategori aziz, namun diterima dan dimasukkan oleh al-Bukhari maupun Muslim dalam kitab Shahih keduanya.
Kedua: Dalam kasus yang disampaikan tersebut, Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu tidaklah menuduh dan meragukan ketsiqohan Abu Musa. Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu menyatakan:
أَمَا إِنِّي لَمْ أَتَّهِمْكَ وَلَكِنْ خَشِيتُ أَنْ يَتَقَوَّلَ النَّاسُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Sesungguhnya aku tidaklah menuduh engkau. Namun aku khawatir orang-orang akan bermudah-mudahan berdusta atas nama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam (H.R Malik dan Abu Dawud)
Hal itu menunjukkan bahwa pada dasarnya Umar menerima hal itu secara pribadi, namun beliau ingin memberi pelajaran kepada orang lain agar tidak bermudah-mudahan mengaku mendengar suatu hadits dari Nabi padahal tidak demikian.
Ketiga: Pada kejadian lain, terbukti Umar menerima hadits dari satu orang. Seperti hadits dari Abdurrahman bin Auf bahwa jika terjangkit wabah pada suatu tempat jangan memasukinya. Jika kita telah berada di dalamnya jangan keluar dalam rangka lari darinya (H.R al-Bukhari dan Muslim).
فَجَاءَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَكَانَ مُتَغَيِّبًا فِي بَعْضِ حَاجَتِهِ فَقَالَ إِنَّ عِنْدِي فِي هَذَا عِلْمًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ قَالَ فَحَمِدَ اللَّهَ عُمَرُ ثُمَّ انْصَرَفَ
Kemudian Abdurrahman bin Auf datang, setelah sebelumnya beliau pergi karena suatu keperluannya. Abdurrahman bin Auf berkata: Saya memiliki ilmu tentang hal ini. Saya mendengar Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Jika kalian mendengar wabah itu terjangkit pada suatu tempat, janganlah pergi menuju ke tempat itu. Jika ia menimpa suatu tempat saat kalian berada di dalamnya, janganlah keluar dalam rangka lari darinya. Kemudian Umar memuji Allah dan pergi (H.R al-Bukhari dan Muslim)
baca juga: Kisah Umar dan Para Sahabat Saat Akan Memasuki Wilayah yang Terkena Wabah
Umar juga bergantian giliran dengan tetangganya, seorang Sahabat Anshar untuk mendengar hadits Nabi. Tetangganya itu hanya satu orang saja. Jika tiba giliran tetangganya itu mendatangi majelis Nabi, yang Umar tidak hadir, Sahabat Anshar itu nantinya saat pulang akan menceritakan hadits yang didengarnya dari Nabi. Begitulah mereka bergantian. Umar tidak menyuruh seorang tetangganya itu untuk mendatangkan saksi satu orang lain. Umar menerima penyampaian hadits dari satu orang tetangganya tersebut.
Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu berkata:
وَكَانَ لِي جَارٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَكُنَّا نَتَنَاوَبُ النُّزُولَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَنْزِلُ يَوْمًا وَأَنْزِلُ يَوْمًا فَيَأْتِينِي بِخَبَرِ الْوَحْيِ وَغَيْرِهِ وَآتِيهِ بِمِثْلِ ذَلِكَ
Aku memiliki tetangga orang Anshar. Kami bergantian datang ke (majelis) Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Ia yang datang di suatu hari, hari kemudian adalah giliranku. (Demikian bergiliran tiap hari). Ia akan menyampaikan kepadaku khabar tentang wahyu dan selainnya, aku pun (pada giliranku) akan menyampaikan seperti itu kepadanya (H.R Muslim)
Penulis:
Abu Utsman Kharisman