Pembahasan Hadits ‘Aliy dan Nazil
Matan al-Baiquniyyah:
وَكُلُّ مَا قَلَّتْ رِجَالُهُ عَلاَ … وَضِدُّهُ ذَاكَ الَّذِي قَدْ نَزَلاَ
Setiap (hadits) yang para perawinya sedikit, itu adalah (hadits) ‘Aliy…dan kebalikannya adalah (hadits) Nazil
Baca pembahasan sebelumnya: Pembahasan Hadits Mubham
Penjelasan:
Suatu hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pasti melalui beberapa perawi. Semakin sedikit jumlah perawi yang menjadi mata rantai periwayatan itu, semakin baik.
Jika suatu hadits memiliki jumlah perawi 3, itu secara umum lebih baik dibandingkan yang jumlah perawinya 4. Karena semakin sedikit jumlah orang yang meriwayatkan, kualitas informasi yang didapatkan akan semakin baik, tidak terdistorsi dengan kesalahan penukilan akibat panjangnya mata rantai penyampai berita. Jumlah perawi yang lebih sedikit itu disebut Aliy, sedangkan perawi yang lebih banyak disebut Nazil.
Sebagai contoh, jika Umar bin al-Khoththob mendengar hadits Nabi dari seorang Sahabat Anshar yang menjadi tetangga beliau, itu adalah sanad yang nazil. Bandingkan dengan jika Umar bin al-Khoththob mendengar hadits langsung dari Nabi shollallahu alaihi wasallam tanpa melalui siapapun. Ini adalah sanad yang Aliy.
Untuk hadits yang sama, sanad riwayat dalam Muwattha’ Imam Malik adalah sanad yang ‘Aliy dibandingkan sanad riwayat dalam Sunan Abi Dawud. Hal tersebut dikarenakan Imam Malik masa kehidupannya mendahului Imam Abu Dawud.
Mari kita perhatikan satu hadits dengan matan yang sama (semakna) namun berbeda sumber periwayatannya. Satu riwayat dari al-Muwattha’ Imam Malik, sedangkan riwayat yang satunya lagi terdapat dalam Sunan Abi Dawud.
Berikut ini riwayat dalam Muwattha’ Imam Malik:
عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اشْتَكَى يَقْرَأُ عَلَى نَفْسِهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ وَيَنْفِثُ قَالَتْ فَلَمَّا اشْتَدَّ وَجَعُهُ كُنْتُ أَنَا أَقْرَأُ عَلَيْهِ وَأَمْسَحُ عَلَيْهِ بِيَمِينِهِ رَجَاءَ بَرَكَتِهَا
(al-Imam Malik berkata) dari Ibnu Syihab dari Urwah bin az-Zubair dari Aisyah –semoga Allah meridhainya- bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam jika merasa sakit, beliau membacakan untuk diri beliau sendiri al-Mu’awwidzaat (al-Ikhlash, al-Falaq, anNaas) dan meniupkan (pada tangan kemudian diusapkan pada tubuh beliau). Ketika terasa semakin berat sakit beliau, akulah yang membacakan (al-Muawwidzaat) kepada beliau dan aku usapkan dengan tangan beliau untuk mengharapkan keberkahannya.
(H.R Malik dalam Muwattha’)
Sedangkan riwayat dalam Sunan Abu Dawud adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اشْتَكَى يَقْرَأُ فِي نَفْسِهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ وَيَنْفُثُ فَلَمَّا اشْتَدَّ وَجَعُهُ كُنْتُ أَقْرَأُ عَلَيْهِ وَأَمْسَحُ عَلَيْهِ بِيَدِهِ رَجَاءَ بَرَكَتِهَا
(Abu Dawud berkata) telah menceritakan kepada kami al-Qo’nabiy dari Malik dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah –semoga Allah meridhainya- istri Nabi shollallahu alaihi wasallam, bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam jika merasa sakit, beliau membacakan al-Muawwidzaat pada diri beliau, dan meniupkan (pada tangan kemudian diusapkan pada tubuh beliau). Ketika sakitnya bertambah parah, akulah yang membacakan untuk beliau dan aku usapkan dengan tangan beliau dengan mengharapkan keberkahannya.
(H.R Abu Dawud)
Riwayat dalam Muwattha’ Imam Malik adalah riwayat yang ‘Aliy karena antara Imam Malik dengan Nabi hanya ada 3 perawi. Sedangkan riwayat dalam Sunan Abu Dawud memerlukan 5 perawi. Abu Dawud menggunakan jalur riwayat yang sama dengan Malik, namun dari Malik, Abu Dawud mendengarnya melalui seorang perawi yaitu al-Qo’nabiy.
Semangat Para Ulama Salaf dalam Mencari Sanad ‘Aliy
Mencari sanad yang ‘aliy adalah keutamaan. Hal itu juga sunnah (teladan baik) dari para Ulama Salaf terdahulu. Murid seorang Sahabat Nabi, masih menempuh perjalanan menuntut ilmu dari Sahabat Nabi lain yang lebih senior dan berilmu.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menyatakan:
طَلَبُ الْإِسْنَادِ الْعَالِي سُنَّةٌ عَمَّنْ سَلَفَ، لِأَنَّ أَصْحَابَ عَبْدِ اللهِ كَانُوْا يَرْحَلُوْنَ مِنَ الْكُوْفَةِ إِلَى الْمَدِيْنَةِ فَيَتَعَلَّمُوْنَ مِنْ عُمَرَ وَيَسْمَعُوْنَ مِنْهُ
Mencari sanad ‘Aliy adalah sunnah dari para Salaf. Karena para murid Abdullah (bin Mas’ud) di Kufah mereka melakukan perjalanan dari Kufah menuju Madinah untuk belajar dan mendengar ilmu dari Umar (Riwayat al-Khothib al-Baghdadiy dalam al-Jaami’ li Akhlaaqir Roowiy wa Adaabis Saami’ (1/128))
Muhammad bin Aslam atThuusiy rahimahullah menyatakan:
قُرْبُ الْإِسْنَادِ قُرْبَةٌ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Dekatnya sanad adalah bentuk upaya mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla (al-Jaami’ li Akhlaaqir Raawiy wa Aadaabis Saami’ (1/126)).
Semakin dekat jarak antara seseorang yang meriwayatkan dengan Nabi shollallahu alaihi wasallam, hal itu dianggap sebagai bentuk taqarrub (upaya mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala).
Baca Juga: Kisah-Kisah Teladan Menakjubkan Tentang Semangat Menuntut Ilmu
Kadangkala Nazil Lebih Utama Dibandingkan ‘Aliy
Secara umum, sanad ‘Aliy lebih utama dibandingkan sanad Nazil. Kecuali jika sanad yang Nazil itu para perawinya lebih tsiqoh dengan sanad yang bersambung.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaaniy rahimahullah menyatakan:
فَإِنْ كَانَ فِي النُّزُوْلِ مَزِيَّةٌ لَيْسَتْ فِي الْعُلُوِّ: كَأَنْ تَكُوْنَ رِجَالُهُ أَوْثَقَ مِنْهُ، أَوْ أَحْفَظَ، أَوْ أَفْقَهَ، أَوِ الْاِتِّصَالُ فِيْهِ أَظْهَرُ، فَلَا تردُّد أنّ النُّزُوْلَ، حِيْنَئِذٍ، أَوْلَى
Jika di dalam hadits Nazil memiliki keistimewaan yang tidak ada pada hadits ‘Aliy, seperti para perawinya lebih tsiqoh, lebih hafal (dhobith), atau lebih faqih, atau ketersambungan sanadnya lebih nampak, tidak diragukan lagi bahwa dalam kondisi semacam itu, Nazil lebih utama (dibandingkan ‘Aliy). (Nuzhatun Nadzhor syarh Nukhbatil Fikar karya al-Hafidz Ibnu Hajar (1/242))
Teladan Para Sahabat Nabi dalam Mencari Sanad yang ‘Aliy
Para Sahabat Nabi adalah teladan dalam berbagai kebaikan. Mereka sangat bersemangat dalam mencari sanad yang ‘Aliy. Padahal hadits itu telah mereka dengar sendiri melalui sanad yang Nazil.
Berikut ini ada beberapa contoh yang menunjukkan hal tersebut. Ada 2 contoh yang akan disebutkan.
Contoh Pertama:
Nabi shollallahu alaihi wasallam mengutus utusan untuk berdakwah pada suatu kaum. Di antaranya adalah kaum Dhimaam bin Tsa’labah. Utusan Nabi tersebut menyampaikan beberapa ajaran Nabi kepada kaum tersebut.
Namun, Dhimaam bin Tsa’labah tidak mencukupkan hanya mendapatkan ajaran dari utusan yang dikirim Nabi tersebut. Suatu ketika, saat ada kesempatan bertemu dengan Nabi, Dhimaam bertanya langsung kepada Nabi ajaran-ajaran yang disampaikan oleh utusan Nabi tersebut. Nabi pun membenarkannya.
Dhimaam tidak mencukupkan dengan sanad Nazil. Beliau juga berusaha mendapatkan sanad ‘Aliy langsung dari Nabi shollallahu alaihi wasallam.
Disebutkan dalam hadits pada Shahih Muslim:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ نُهِينَا أَنْ نَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ شَىْءٍ فَكَانَ يُعْجِبُنَا أَنْ يَجِىءَ الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ الْعَاقِلُ فَيَسْأَلَهُ وَنَحْنُ نَسْمَعُ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ أَتَانَا رَسُولُكَ فَزَعَمَ لَنَا أَنَّكَ تَزْعُمُ أَنَّ اللَّهَ أَرْسَلَكَ قَالَ «صَدَقَ». قَالَ فَمَنْ خَلَقَ السَّمَاءَ قَالَ «اللَّهُ». قَالَ فَمَنْ خَلَقَ الأَرْضَ قَالَ «اللَّهُ». قَالَ فَمَنْ نَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ وَجَعَلَ فِيهَا مَا جَعَلَ. قَالَ «اللَّهُ». قَالَ فَبِالَّذِى خَلَقَ السَّمَاءَ وَخَلَقَ الأَرْضَ وَنَصَبَ هَذِهِ الْجِبَالَ آللَّهُ أَرْسَلَكَ قَالَ «نَعَمْ». قَالَ وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِى يَوْمِنَا وَلَيْلَتِنَا. قَالَ «صَدَقَ». قَالَ فَبِالَّذِى أَرْسَلَكَ آللَّهُ أَمْرَكَ بِهَذَا قَالَ «نَعَمْ». قَالَ وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا زَكَاةً فِى أَمْوَالِنَا. قَالَ «صَدَقَ». قَالَ فَبِالَّذِى أَرْسَلَكَ آللَّهُ أَمْرَكَ بِهَذَا قَالَ «نَعَمْ». قَالَ وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ فِى سَنَتِنَا. قَالَ « صَدَقَ ». قَالَ فَبِالَّذِى أَرْسَلَكَ آللَّهُ أَمَرَكَ بِهَذَا قَالَ «نَعَمْ». قَالَ وَزَعَمَ رَسُولُكَ أَنَّ عَلَيْنَا حَجَّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً. قَالَ «صَدَقَ». قَالَ ثُمَّ وَلَّى. قَالَ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لاَ أَزِيدُ عَلَيْهِنَّ وَلاَ أَنْقُصُ مِنْهُنَّ. فَقَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم: لَئِنْ صَدَقَ لَيَدْخُلَنَّ الْجَنَّةَ
Dari Anas bin Malik –semoga Allah meridhainya- beliau berkata: Kami dilarang bertanya kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam tentang sesuatu maka menjadi hal yang menakjubkan kami (membuat kami senang) adalah jika datang seseorang dari pedalaman yang berakal (pandai). Hingga ia bertanya kepada Nabi dan kami mendengarkannya. (Suatu hari) datanglah seseorang dari pedalaman (bernama Dhimaam bin Tsa’labah).
Ia berkata: Wahai Muhammad, telah datang utusanmu kemudian berkata kepada kami bahwa engkau berkata bahwa Allah yang telah mengutusmu? Nabi menjawab: Ia benar.
Orang itu berkata: Siapakah yang menciptakan langit? Nabi menyatakan: Allah.
Orang itu berkata: Siapakah yang menciptakan bumi? Nabi menjawab: Allah.
Orang itu berkata: Siapakah yang menegakkan gunung ini, dan menjadikan padanya apa yang telah dijadikannya? Nabi menyatakan: Allah.
Orang itu berkata: Maka demi Yang menciptakan langit dan bumi dan menegakkan gunung ini, apakah Allah yang mengutusmu? Nabi menjawab: Ya.
Orang itu berkata: dan utusanmu berkata bahwa kami wajib sholat 5 waktu dalam sehari semalam. Nabi berkata: Ia benar.
Orang itu berkata: Maka demi yang mengutusmu, apakah Allah memerintahkanmu akan hal ini? Nabi menyatakan: Ya.
Orang itu berkata: Utusanmu mengatakan bahwa kami wajib mengeluarkan zakat harta kami. Nabi menyatakan: Ia benar.
Orang itu berkata: Demi Yang mengutusmu, apakah Allah memerintahkan engkau akan hal ini? Nabi menjawab: Ya.
Orang itu berkata: Utusanmu juga berkata bahwa kami wajib puasa bulan Ramadhan dalam setahun. Nabi menyatakan : Ia benar.
Orang itu berkata: Demi Yang mengutusmu, apakah Allah yang memerintahkanmu ini? Nabi menjawab: Ya.
Orang itu berkata: Utusanmu berkata bahwa kami wajib berhaji ke al-Bait (Ka’bah) bagi siapa saja yang mampu menempuh perjalanan ke sana. Nabi menjawab: Ia benar.
Kemudian orang itu berpaling dan berkata: Demi (Allah) yang mengutusmu dengan haq (benar) aku tidak akan menambah ataupun menguranginya. Maka Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: Kalau ia jujur, sungguh ia akan masuk Surga.
(H.R Muslim)
al-Hakim Abu Abdillah rahimahullah berdalil dengan hadits ini tentang perlunya mencari sanad yang ‘Aliy. Meskipun perawi yang menyampaikan tsiqoh. Karena Dhimaam tidak mencukupkan diri dengan mendapat khabar dari utusan Nabi shollallahu alaihi wasallam. Namun beliau pergi sendiri, dan mendengar langsung dari Rasul. Hal itu tidak diingkari oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam. Bahkan beliau menyetujuinya. (al-Bahrul Muhiith ats-Tsujaaj syarh Shahih al-Imam Muslim bin al-Hajjaj karya Syaikh Muhammad bin Ali bin Adam al-Ityuubiy(1/236))
Contoh Kedua Semangat Sahabat Nabi Mencari Sanad ‘Aliy:
Sahabat Nabi Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhuma pernah mendengar suatu hadits yang disampaikan seorang Sahabat Nabi melalui orang lain. Beliau pun menelusuri siapa Sahabat yang mendengar langsung hadits dari Nabi itu. Jabir bin Abdillah pun membeli unta dan menempuh perjalanan sebulan dari Madinah ke Syam hanya untuk mendengar langsung hadits itu dari Sahabat Abdullah bin Unais. Padahal, Jabir telah mendengar hadits itu melalui sanad yang Nazil. Beliau ingin mendapatkan sanad yang ‘Aliy.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ بَلَغَنِي حَدِيثٌ عَنْ رَجُلٍ سَمِعَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاشْتَرَيْتُ بَعِيرًا ثُمَّ شَدَدْتُ عَلَيْهِ رَحْلِي فَسِرْتُ إِلَيْهِ شَهْرًا حَتَّى قَدِمْتُ عَلَيْهِ الشَّامَ فَإِذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُنَيْسٍ فَقُلْتُ لِلْبَوَّابِ قُلْ لَهُ جَابِرٌ عَلَى الْبَابِ فَقَالَ ابْنُ عَبْدِ اللَّهِ قُلْتُ نَعَمْ فَخَرَجَ يَطَأُ ثَوْبَهُ فَاعْتَنَقَنِي وَاعْتَنَقْتُهُ فَقُلْتُ حَدِيثًا بَلَغَنِي عَنْكَ أَنَّكَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْقِصَاصِ فَخَشِيتُ أَنْ تَمُوتَ أَوْ أَمُوتَ قَبْلَ أَنْ أَسْمَعَهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَوْ قَالَ الْعِبَادُ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا قَالَ قُلْنَا وَمَا بُهْمًا قَالَ لَيْسَ مَعَهُمْ شَيْءٌ ثُمَّ يُنَادِيهِمْ بِصَوْتٍ يَسْمَعُهُ مِنْ قُرْبٍ أَنَا الْمَلِكُ أَنَا الدَّيَّانُ وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ أَنْ يَدْخُلَ النَّارَ وَلَهُ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ أَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ وَلِأَحَدٍ مِنْ أَهْلِ النَّارِ عِنْدَهُ حَقٌّ حَتَّى أَقُصَّهُ مِنْهُ حَتَّى اللَّطْمَةُ قَالَ قُلْنَا كَيْفَ وَإِنَّا إِنَّمَا نَأْتِي اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ عُرَاةً غُرْلًا بُهْمًا قَالَ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ
(رواه أحمد)Dari Abdullah bin Muhammad bin ‘Aqiil bahwasanya ia mendengar Jabir bin Abdillah –semoga Allah meridhainya- berkata: telah sampai kepadaku suatu hadits dari seseorang yang mendengarnya dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Aku pun membeli unta dan melakukan perjalanan sebulan hingga sampai di Syam. Ternyata Sahabat itu adalah Abdullah bin Unais. Aku berkata kepada penjaga pintu: Katakanlah, bahwa Jabir ada di pintu. Penjaga pintu bertanya: Apakah itu (Jabir) bin Abdillah? Aku pun berkata: Ya.
Keluarlah Abdullah bin Unais dengan menginjak pakaiannya (karena tergesa) kemudian beliau merangkul aku, aku pun merangkul beliau. Jabir berkata: Ada sebuah hadits yang sampai kepadaku darimu bahwasanya engkau mendengar dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam tentang masalah qishash. Aku takut aku meninggal atau engkau meninggal sebelum aku mendengar hadits itu (langsung darimu).
Abdullah bin Unais radhiyallahu anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Manusia akan dibangkitkan pada hari kiamat atau beliau menyatakan: para hamba, dalam keadaan telanjang, tidak dikhitan, dan buhman. Kami pun berkata: Apakah buhman itu? Beliau menyatakan: Tidak memiliki apapun bersamanya. Kemudian Allah menyeru mereka dengan suara yang didengar oleh orang yang dekat: Akulah Sang Raja, Akulah yang akan membalas (perbuatan hamba). Tidak boleh ada seorang pun dari penduduk Neraka untuk masuk ke dalam Neraka saat ada seorang penduduk Surga yang memiliki hak terhadapnya, untuk Aku terapkan qishash. Dan tidak boleh ada seorang pun dari penduduk Surga untuk memasuki Surga, padahal ada seorang penduduk Neraka yang memiliki hak terhadapnya, hingga Aku terapkan qishash. Sekalipun itu hanya satu pukulan pada wajah. Kami pun berkata: Bagaimana hal itu bisa dilakukan, kami akan mendatangi Allah Azza Wa Jalla dalam keadaan telanjang, tidak dikhitan, dan tidak membawa apa-apa? Nabi bersabda: Dengan dipindahkan kebaikan atau keburukan (dosa)nya.
(H.R Ahmad)
Penulis:
Abu Utsman Kharisman