Ya Allah Ampunilah Kaumku Karena Mereka Tidak Mengetahui

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu menyatakan:
كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِي نَبِيًّا مِنَ الْأَنْبِيَاءِ، ضَرَبَهُ قَوْمُهُ فَأَدْمَوْهُ، فَهُوَ يَمْسَحُ الدَّمَ عَنْ وَجْهِهِ، وَيَقُولُ: (رَبِّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Seakan-akan aku melihat Nabi (Muhammad) shollallahu alaihi wasallam mengisahkan perbuatan seorang Nabi yang dipukul dan dilukai oleh kaumnya. Pada saat Nabi itu mengusap darah pada wajahnya, ia berkata: Wahai Rabbku, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui (H.R al-Bukhari dan Muslim)
Pada saat Ibnu Mas’ud menyatakan: “seakan-akan aku melihat Nabi” itu adalah dalam posisi beliau mengenang kejadian itu. Masih berbekas kuat dalam ingatan beliau ketika Nabi mengisahkan hal itu. Begitu kuatnya kenangan itu sehingga seakan-akan kejadian itu terpampang jelas di hadapan beliau.
An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan bahwa Nabi yang dimaksudkan dalam kisah itu adalah Nabi terdahulu. Namun, Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam menjadi pihak yang sama bersikap memaafkan tindakan kaumnya demikian itu dalam perang Uhud.
Siapakah Nabi yang dimaksud itu? Ada riwayat dari setidaknya 2 Tabiin, yaitu Mujahid dan Ubaid bin Umair al-Laitsiy bahwa itu adalah Nabi Nuh.
Mujahid rahimahullah menyatakan:
كَانُوا يَضْرِبُونَ نُوحًا حَتَّى يُغْشَى عَلَيْهِ، فَإِذَا أَفَاقَ قَالَ: رَبِّ اغْفِرْ لِقَوْمِي ، فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Mereka memukul Nuh hingga pingsan. Ketika beliau siuman, beliau berkata: Wahai Rabbku, ampunilah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui (riwayat Abdurrazzaq dalam tafsirnya)
Al-Qurthubiy (Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshariy) juga cenderung pada pendapat bahwa Nabi yang dimaksud adalah Nuh. Sebagaimana beliau jelaskan dalam kitab tafsirnya, al-Jami’ li Ahkaamil Quraan. Meskipun memang tidak ada nash tegas dalam hal itu dalam hadits marfu’ yang shahih dari Nabi shollallahu alaihi wasallam. Hanya sebatas ucapan Ulama pada generasi Tabiin.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan: “Saya tidak mendapatkan siapa nama Nabi yang dimaksud secara tegas, mungkin saja itu adalah Nuh alaihissalaam”. Kemudian disebutkan riwayat Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya ucapan Ubaid bin Umair al-Laitsy yang sampai berita kepada beliau bahwa yang dimaksud adalah Nabi Nuh. Demikian dijelaskan dalam kitab Fathul Baariy.
Kondisi yang dialami Nabi Nuh itu menurut para Ulama bisa jadi pada awal-awal dakwah beliau. Wallaahu A’lam.
Jika ada pertanyaan: Mengapa kaumnya yang masih kafir dan tidak mau menerima dakwah beliau itu didoakan mendapatkan ampunan? Bukankah terlarang mendoakan ampunan bagi orang kafir?
Al-Qurthubiy rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan pandangan sebagian Ulama tentang kebolehan mendoakan ampunan untuk orang kafir yang masih hidup agar mendapatkan hidayah. Bukan untuk orang kafir yang sudah meninggal. Beliau menyatakan: Banyak Ulama menyatakan: Tidak mengapa seseorang mendoakan kedua orangtuanya yang kafir serta memohonkan ampunan untuk keduanya selama keduanya masih hidup. Adapun yang sudah meninggal, telah terputus harapannya. Tidak boleh didoakan (al-Jami’ li Ahkaamil Quran 8/274).
Diikutip dari: Buku “MENGAPA BEGITU SULIT MEMAAFKAN? MAAFKANLAH DAN BERBAHAGIALAH”, karya Abu Utsman Kharisman