Keharusan Memahami Kondisi Dalam Berdakwah
KUTIPAN PENJELASAN SYAIKH IBN UTSAIMIN TENTANG KEHARUSAN MEMAHAMI KONDISI DALAM BERDAKWAH
KUTIPAN PERTAMA:
قوله: ” على بصيرة “: أي: علم; فتضمنت هذه الدعوة الإخلاص والعلم; لأن أكثر ما يفسد الدعوة عدم الإخلاص، أو عدم العلم، وليس المقصود بالعلم في قوله: ” على بصيرة ” العلم بالشرع فقط، بل يشمل: العلم بالشرع، والعلم بحال المدعو، والعلم بالسبيل الموصل إلى المقصود، وهو الحكمة. فيكون بصيرا بحكم الشرع، وبصيرا بحال المدعو، وبصيرا بالطريق الموصلة لتحقيق الدعوة، ولهذا قال النبي صلى الله عليه وسلم لمعاذ: ” إنك تأتي قوما أهل كتاب “
وهذه ليست كلها من العلم بالحكم الشرعي; لأن علمي أن هذا الرجل قابل للدعوة باللين، وهذا قابل للدعوة بالشدة، وهذا عنده علم يمكن أن يقابلني بالشبهات أمر زائد على العلم بالحكم الشرعي، وكذلك العلم بالطرق التي تجلب المدعوين كالترغيب بكذا والتشجيع; كقوله صلى الله عليه وسلم ” من قتل قتيلا; فله سلبه ” أو بالتأليف; فالنبي صلى الله عليه وسلم أعطى المؤلفة قلوبهم في غزوة حنين إلى مئة بعير. فهذا كله من الحكمة; فالجاهل لا يصلح للدعوة، وليس محمودا، وليست طريقته طريقة الرسول صلى الله عليه وسلم لأن الجاهل يفسد أكثر مما يصلح.
Makna firmanNya: alaa bashiroh maksudnya adalah ilmu. Maka dakwah ini (harus) mengandung keikhlasan dan ilmu. Karena kebanyakan yang merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Bukanlah maksudnya dalam firman Allah: alaa bashiroh adalah hanya ilmu syar’i saja. Akan tetapi juga mengandung ilmu syar’i, ilmu tentang keadaan mad’u (orang yang didakwahi), ilmu tentang jalan (cara) untuk mencapai tujuan, itu adalah hikmah. Maka seseorang harus mengetahui hukum syar’i, mengetahui keadaan mad’u, dan mengetahui jalan yang bisa mencapai tujuan dakwah. Karena itu Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda kepada Muadz: Sesungguhnya engkau akan mendatangi Ahlul Kitab.
Ini semuanya bukan hanya ilmu terhadap hukum syar’i saja. Karena dua pengetahuan (lain yang juga dibutuhkan) adalah pengetahuan bahwa seseorang itu bisa menerima dengan kelembutan, dan sebagian lagi bisa menerima dengan (penyampaian) yang keras, sebagian lagi memiliki ilmu yang bisa menghadapi saya dengan sybhat-syubhat, ini (semua) adalah perkara tambahan (selain) ilmu tentang hukum ilmu syar’i. Demikian juga ilmu terhadap metode/ jalan yang bisa memudahkan mad’u, seperti pemberian motivasi dan semangat. Sebagaimana sabda beliau shollallahu alaihi wasallam: Barangsiapa yang membunuh (musuh) maka ia mendapatkan apa yang dikenakan oleh yang terbunuh. Atau dengan cara melunakkan (hati). Nabi shollallahu alaihi wasallam memberikan hingga 100 unta kepada orang-orang yang dilunakkan hatinya pada perang Hunain. Ini semua termasuk hikmah. Maka orang yang bodoh tidaklah boleh berdakwah. Dan itu tidak terpuji (orang bodoh yang berdakwah). Jalannya bukanlah jalan Rasul shollallahu alaihi wasallam karena orang yang bodoh akan lebih banyak merusak dibandingkan memperbaiki (al-Qoulul Mufiid alaa Kitaabit Tauhid libni Utsaimin (1/130)).
KUTIPAN KEDUA:
فضيلة الشيخ تدريس العقيدة أمرٌ مهم، فماذا يجب على طلاب العلم والدعاة إلى الله حيال ذلك؟
فأجاب رحمه الله تعالى : الواقع أن الناس عندهم جهل كثير في العقيدة وغير العقيدة، لكن الحمد لله بشرى فالناس عندهم إقبال الآن على العلم، وبعضهم عنده إقبالٌ زائد يغالي حتى في العقيدة، يتكلم في أشياء ما تكلم فيها السلف يريد إثباتها، لكن على طلبة العلم أن يكلموا الناس بحسب الحال: فمثلاً إذا رأينا أهل قريةٍ انحرفوا في العقيدة نركز على العقيدة ونبحث فيها بحثاً قوياً، وإذا رأينا آخرين فرطوا في صلاة الجماعة تكلمنا في الجماعة، بأن تكون الدعوة والإلحاح فيها على حسب ما تقتضيه الحال، قال الله عز وجل: (ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ). فمثلاً إذا رأينا أناساً يقيمون الصلاة كما ينبغي وعندهم تفريطٌ في الزكاة، فهل نركز على الصلاة لأنها أهم من الزكاة؟ أو نركز على الزكاة لأنهم مفرطون فيها؟ الجواب: الثاني، ما نذهب نتكلم في الصلاة وهم قد أقاموها كما ينبغي، فلكل حالٍ مقال، والحكيم يفعل ما يرى الناس في ضرورةٍ إليه، سواءٌ في العقيدة أو في أعمال الجوارح. (لقاء باب المفتوح 80)
Pertanyaan :
Fadhilatusy Syaikh, pengajaran akidah adalah perkara yang penting. Apa yang wajib dilakukan para penuntut ilmu dan dai (yang mengajak kepada Allah) terkait hal itu?
Beliau rahimahullahu Ta’ala menjawab: kenyataannya bahwa manusia memiliki ketidaktahuan yang banyak dalam hal akidah dan selain akidah. Akan tetapi Alhamdulillah sebagai sebuah berita gembira, manusia saat ini menerima ilmu. Sebagian mereka menerima lebih lagi melampaui batas hingga dalam masalah akidah. Mereka bertanya dalam hal-hal yang para Salaf tidak berbicara tentang itu, yang memaksudkan untuk menetapkannya.
Akan tetapi, para penuntut ilmu hendaknya mengajak bicara manusia sesuai keadaan: misalnya jika kita melihat penduduk kampong menyimpang dalam hal akidah, kita mengokohkan pembahasan akidah dan membahasnya dengan pembahasan yang kuat. Jika kita melihat yang lain melalaikan sholat berjamaah, kita bicara tentang sholat berjamaah. Hal itu menjadikan dakwah dan terus menerus (membahasnya) tergantung keadaan. Allah Azza Wa Jalla berfirman:
(ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Serulah menuju jalan TuhanMu dengan hikmah dan nasehat yang baik dan debatlah mereka dengan yang terbaik (Q.S anNahl: 125)
Contohnya, jika kita melihat orang-orang yang menegakkan sholat sebagaimana mestinya tapi ia memiliki kekurangan dalam hal zakat, apakah kita memprioritaskan sholat karena sholat lebih penting dari zakat? Atau kita memprioritaskan zakat karena mereka melalaikan hal itu? Jawabnnya adalah yang kedua. Kita tidak membahas sholat dalam keadaan mereka telah menegakkan sholat sebagaimana mestinya. Maka pada setiap keadaan ada pembicaraan tersendiri. Maka orang yang bijaksana akan melakukan hal-hal yang dibutuhkan manusia, apakah dalam hal akidah atau amalan anggota tubuh (Liqaa’ Baab al-Maftuh halaman 80)
KUTIPAN KE-TIGA:
ومن آداب الداعية أن ينزل الناس منازلهم وأن يتحين الوقت المناسب والمكان المناسب للدعوة فلا يدعو الناس في مكان لم يتهيئوا ويستعدوا لدعوته لأن ذلك يلحقهم الملل والسآمة والكراهية لما يدعوا إليه ولو كان حقا ولهذا كان النبي صلى الله عليه وآله وسلم يتخول أصحابه بالموعظة مخافة السآمة والداعية إذا كثر عليهم الموعظة…. فإنهم يملون ولا يكون عندهم التقبل الذي يكون فيما لو راوح بين المواعظ والدروس (فتاوى نور على الدرب 9)
Di antara adab da’i adalah menempatkan (memperlakukan) manusia pada kedudukannya (masing-masing) dan memperhatikan waktu yang tepat dan tempat yang tepat untuk dakwah. Maka janganlah berdakwah kepada manusia di tempat yang mereka tidak siap untuk menerima dakwah karena hal itu bisa menyebabkan mereka jemu, bosan, dan membenci isi dakwahnya walaupun isi dakwah itu benar. Karena itu Nabi shollallahu alaihi wasallam menyelang-nyelingi para Sahabatnya dengan nasehat karena khawatir jemu. Seorang dai jika terlalu banyak nasehat, manusia akan jemu dan tidak menerima dibandingkan jika bergantian antara nasehat-nasehat dengan penyampaian pelajaran-pelajaran (Fataawa Nuurun alad Darb halaman 9)
KUTIPAN KE-EMPAT:
ثالثاً أن يستعمل الحكمة في دعوته فينزل كل إنسان منزلته وينزل كل شأن منزلته فيبدأ بالأهم فالأهم لأن النبي صلى الله عليه وسلم لما بعث معاذ إلى اليمن قال له (وليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمد رسول الله فإن هم أجابوك لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة فإن هم أجابوك لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم وترد على فقرائهم) فرتب النبي عليه الصلاة والسلام الدعوة بحسب أهمية ما يدعو إليه وليس من الحكمة أن ترى رجلاً كافراً يشرب الدخان فتنهاه عن شرب الدخان قبل أن تأمره بالإسلام وهذا أمر مهم يخفى على كثير من الدعاة حيث تجده يتعلق بالأمور الجزئية دون الأمور الكلية العامة ( فتاوى نور على الدرب 10)
Yang ketiga, seseorang da’i hendaknya menggunakan hikmah dalam dakwahnya. Ia menempatkan manusia sesuai kedudukannya. Menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Hendaknya memulai berdasarkan skala prioritas. Karena Nabi shollallahu alaihi wasallam ketika mengutus Muadz ke Yaman beliau bersabda: “Hendaknya pertama kali yang engkau dakwahkan kepadanya adalah syahadat Laa Ilaaha Illallah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka menerima dalam hal itu beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka sholat 5 waktu sehari semalam. Jika mereka menerima engkau dalam hal itu beritahukan bahwa Allah mewajibkan zakat bagi mereka yang diambil dari pihak yang kaya dan diserahkan kepada pihak yang fakir”.
Maka Nabi shollallahu alaihi wasallam mengurutkan dakwah sesuai tingkat kepentingannya. Bukanlah termasuk hikmah jika engkau melihat seorang kafir merokok kemudian engkau larang dari merokok sebelum engkau perintahkan ia pada Islam. Ini adalah perkara yang penting yang tersembunyi dari kebanyakan para dai, yang mereka bergantung pada perkara yang parsial bukannya justru pada perkara yang lebih menyeluruh (Fataawa Nuurun alad Darb halaman 10).