Hukum Mahar dalam Pernikahan
Pertanyaan:
Seorang wanita bertanya: Apakah mahar merupakan bagian dari rukun-rukun pernikahan? Dan apa pula dalil tentang (kesimpulan hukum) tersebut?
Semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada anda.
Jawaban Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah:
Mahar bukan termasuk rukun pernikahan, bukan pula bagian dari syarat-syaratnya. Hanya saja hal itu adalah bagian yang seharusnya ada padanya. Karena Allah telah berfirman – ketika menyebutkan pernikahan – Dia berfirman:
وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ أَن تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
‘Dan dihalalkan bagi kalian selain yang demikian (yaitu) kalian memperoleh isteri-isteri dengan harta-harta kalian untuk dinikahi bukan untuk berzina.’ (QS An Nisa’: 24)
Dan apabila seseorang ketika pernikahan dengan istrinya (akad) dilakukan tanpa mahar, dia berkewajiban membayar mahar pengganti yang setara (مهر المثل). Adapun pernikahan yang dilakukannya tetap sah.
Seandainya mengatakan, ‘Aku menikahkan engkau’, wali si wanita berkata kepada (calon) suami, ‘Aku menikahkan engkau, dan (mempelai wanita) dia telah bersedia.’ Kemudian mempelai pria menjawab, ‘Saya menerima (pernikahan ini)’ dengan dihadiri dua orang saksi, serta tidak ada faktor-faktor penghalang sahnya pernikahan. (Juga) Selama mempelai wanita tidak terdapat faktor penghalang baginya, dia tidaklah menyebabkan suaminya tersebut menjadi haram (menikahinya atau sebagai mahram baginya).
Begitu juga selama dia tidak sedang dalam kondisi ihram (haji ataupun umroh-pen), bukan pada masa iddah, tidak ada penghalang apapun terhadap sahnya pernikahan sementara mempelai wanita telah rela. Dan walinyalah yang menikahkannya, sementara dia sendiri mau menerimanya, begitu pula mempelai pria menerima disertai hadirnya dua orang saksi. Pernikahan semacam itu sah, walaupun tidak disebutkan maharnya. Namun dia wajib membayar mahar pengganti yang setara (مهر المثل).
Karena Nabi shallallahu alaihi wasallam telah menetapkan hukum dengan hal itu, dalam hadits Ma’qil bin Sinan Al Asyja’i radhiyallahu anhu, bahwa ada seorang pria yang menikahi seorang wanita dan dia tidak menyebutkan maharnya (saat akad), setelah itu pria tersebut wafat meninggalkan istrinya tersebut. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda (yang maknanya):
“Wanita ini berhak menerima mahar pengganti yang setara sebagai istri, tidak dikurangi dan tanpa dilebihkan. Dia juga perlu menjalani masa iddah, dia berhak pula menerima harta warisan (suaminya).”
Artikel terkait yang semoga bermanfaat pula:
- Walimah yang Mudah Nan Diharapkan Berkah
- Petunjuk Untuk Mengenali Siapa Mahram Kita Dalam Surah An-Nisaa’ Ayat 23
- Mempertimbangkan Pinangan Kepada Seorang Wanita Berdasarkan Keadaan Saudara-Saudaranya
Intinya, bahwa demikianlah hukum terhadap orang yang telah menikah namun belum menyebut kesanggupan membayar mahar apapun, agar diberikan mahar pengganti yang setara bagi istrinya. Sama saja apakah sang suami masih hidup atau malah sudah meninggal dunia. Jika ternyata telah wafat, hendaklah diambilkan dari bagian harta peninggalannya.
Dan jika masih hidup, dia wajib menyerahkan mahar apabila dia telah berhubungan intim dengan istrinya itu. Sehingga jika dia sudah berhubungan dengan istrinya, atau minimal telah berkholwat (menyendiri dalam ruangan) bersamanya. (Demikian batasannya) selama dia telah berhubungan intim atau berkholwat dengan istrinya tersebut.
Adapun jika menjalin akad dengan mempelai wanita, lalu diceraikan (sebelum kholwat) maka si wanita berhak memperoleh ganti pemberian (mut’ah). Pemberian sesuatu berupa pakaian ataupun harta. Berdasarkan Firman Allah Subhanahu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
‘Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib bagi mereka ‘iddah yang kalian meminta mereka menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.’ (QS Al Ahzab: 49)
Juga Allah telah berfirman,
لا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
‘Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kalian menceraikan isteri-isteri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka dan sebelum kalian menentukan maharnya. Dan hendaklah kalian berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian sesuai yang sepatutnya. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.’ (QS Al Baqarah: 236)
Jadi wanita tersebut tidak memperoleh mahar pengganti pada kondisi semacam ini. Namun dia berhak memperoleh pemberian (mut’ah), disesuaikan dengan kadar kemampuan baik bagi suami yang memiliki kelapangan harta maupun bagi suami yang terpuruk ekonominya. Yang memiliki kelapangan harta dapat memberikan hamba sahaya atau setara mahar penggantinya. Bisa juga di bawah nilai itu sesuai kemampuannya. Sementara bagi yang mengalami kesempitan harta, bisa memberi walaupun sedikit, walaupun sekadar pakaian.
Telah disebutkan riwayat dari Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu Ta’ala ‘anhuma :
أن أعلى المتعة جارية، وأدناها كسوة
“Sesungguhnya nilai tertinggi pemberian itu senilai hamba sahaya, dan paling rendahnya senilai pakaian.”
Inti yang diharapkan dari hal ini, bahwa pihak yang memiliki kelapangan hendaklah memberikan lebih baik dari nilai yang bisa diberikan pihak yang kesusahan. Orang kaya sepatutnya memberikan sesuatu yang nilainya tinggi, mendekati harga mahar, atau mendekati separuh harga mahar. Dia memberikan sesuatu yang bernilai lebih tinggi di atas pemberian orang miskin.
Sedangkan orang miskin boleh memberikan sesuai batas kemampuannya berupa pakaian yang pantas sesuai kesanggupannya. Bisa juga beberapa nominal (uang, misalnya mata uang) dirham, apapun jenis tersebut dibiarkan terbuka (secara mutlak) oleh Allah Jalla wa ‘Ala, tidak dibatasi jenis tertentu. Ya, demikianlah.”
Naskah Fatwa Dalam Bahasa Arab:
حكم المهر
السؤال: تقول: هل المهر من أركان الزواج؟ وما الدليل على ذلك؟ جزاكم الله خيرًا
الجواب: ليس المهر من أركانه، ولا من شرائطه، ولكنه لابد منه؛ لأن الله يقول -لما ذكر النكاح- قال: وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ [النساء:24] وإذا تزوجها بدون مهر، وجب لها مهر المثل، والنكاح صحيح، لو قال: زوجتك، يقول ولي المرأة للزوج: زوجتك وهي راضية، ويقول الزوج: قبلت، بحضرة شاهدين، وليس هناك موانع صح النكاح، إذا كانت المرأة ليس فيها مانع، ليست محرمة على الزوج، وليست في إحرام، وليست في عدة، ليس بها مانع من النكاح وراضية، وزوجها الولي، وقبلت، وقبل الزوج بحضرة شاهدين؛ النكاح صحيح، ولو لم يسم مهرًا، لكن يجب لها مهر المثل، لأن النبي ﷺ حكم بذلك، في حديث معقل بن سنان الأشجعي: أن رجلًا تزوج امرأة، ولم يسم لها مهرًا، وتوفي عنها، فقال النبي ﷺ: لها مهر نسائها، لا وكس، ولا شطط، وعليها العدة، ولها الميراث
المقصود: أن هذا هو الحكم فيمن تزوج، ولم يسم مهرًا، على أن لها مهر المثل، سواء كان حيًا، أو ميتًا، إن مات فتعطى من تركته، وإن كان حيًا عليه أن يسلم لها المهر إذا دخل بها، إذا وطئها، أو خلا بها، إذا وطئها، أو خلا بها.
أما إن عقد عليها، ثم طلق؛ فإن لها المتعة، يمتعها بما يسر الله، من كسوة أو مال، لقول الله سبحانه: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا [الأحزاب:49] وقال سبحانه: لا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ [البقرة:236] فليس لها مهر المثل في هذه الحال، ولكن يمتعها، على الموسع قدره، وعلى المقتر قدره، المؤسر يمتعها بجارية، أو بمهر أمثالها، أو بأقل من ذلك حسب ما يتيسر، والمعسر ولو بالقليل، ولو بكسوة، جاء عن ابن عباس -رضي الله تعالى عنهما-: “أن أعلى المتعة جارية، وأدناها كسوة”.
والمقصود من هذا: أن المؤسر يمتع بأحسن مما يمتع المعسر، المؤسر يمتع بشيءٍ رفيع، من جاريةٍ يعطيها إياها أي: مملوكة، أو مالٍ كثير يعني: يقارب المهر، أو يقارب نصف المهر، يمتعها بشيء يعتبر فوق ما يمتعها به الفقير، والفقير يمتع بقدر استطاعته من كسوةٍ مناسبة حسب طاقته، أو دراهم، الله -جل وعلا- أطلق، ولم يحدد نعم