Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Imam dan Muadzdzin, Batas Ideal dan Minimalnya menurut Imam Asy Syafi’i

Seseorang yang hendak mengikuti sholat berjemaah memiliki pilihan untuk menjadi bagian jemaah dari sekian masjid. Tak jarang daya tarik kumandang adzan yang mendayu bak lagu cukup memikat kalbu. Ada pula yang mengidolakan imam masjid yang suaranya indah, membaca ayat seperti dendangan nada.

Sampai sebagian jemaah merasa lebih khusyu’ menyimak bacaan dengan lantunan mendayu. Hingga tak lagi peduli apakah maknanya terpahami atau tidak.

Bagaimana batas yang disukai dari sosok muadzdzin maupun imam sholat berjemaah, terkhusus menurut madzhab AsySyafi’iyyah yang diakui luas di negeri kita?

Seperti apa pula batasan minimal bolehnya?

Ternyata sejak dulu para ulama telah memberikan penilaiannya. Sekelumit pembahasan tentang hal itu disebutkan oleh Imam Al Muzani rahimahullah dalam salah satu karyanya.

Siapa Imam Al Muzani? Simak kembali pembahasan sekilas biografi beliau di sini

Pembahasannya beliau sebutkan tatkala menukil ucapan guru beliau Imam Asy Syafi rahimahumullahu ta’ala,

ﻭﺃﺣﺐ ﺃﻥ ﻻ ﻳﺠﻌﻞ ﻣﺆﺫﻥ اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﺇﻻ ﻋﺪﻻ ﺛﻘﺔ ﻹﺷﺮاﻓﻪ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺎﺱ ﻭﺃﺣﺐ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺻﻴﺘﺎ ﻭﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺣﺴﻦ اﻟﺼﻮﺕ ﺃﺭﻕ ﻟﺴﺎﻣﻌﻪ، ﻭﺃﺣﺐ ﺃﻥ ﻳﺆﺫﻥ ﻣﺘﺮﺳﻼ ﺑﻐﻴﺮ ﺗﻤﻄﻴﻂ ﻭﻻ ﻳﻐﻨﻲ ﻓﻴﻪ ﻭﺃﺣﺐ اﻹﻗﺎﻣﺔ ﺇﺩﺭاﺟﺎ ﻣﺒﻴﻨﺎ ﻭﻛﻴﻔﻤﺎ ﺟﺎء ﺑﻬﻤﺎ ﺃﺟﺰﺃ

“Dan saya (Asy Syafi’i rahimahullah) lebih menyukai tidak ditunjuknya muadzdzin untuk sholat jemaah melainkan terhadap orang yang;

  • Adil (baik agamanya, bukan pelaku dosa secara terang-terangan -pen.)
  • Tsiqqoh (terpercaya amanah dan pengetahuannya tentang batas waktu-waktu sholat -pen.)

Karena kemuliaan kedudukannya di masyarakatnya.

Dan saya juga lebih menyukai muadzdzin yang;

  • memiliki suara lantang
  • dan bagus suaranya

agar lebih menyentuh (hati) para pendengarnya.

Saya menyukai pula apabila dia mengumandangkan adzannya;

  • dengan nada mudah tidak berlebihan
  • tanpa banyak intonasi naik turun
  • tanpa melagukannya

Sayapun menyukai iqomah,

  • secara spontan
  • dengan jelas

Bagaimanapun cara melakukan keduanya (adzan dan iqomah) diperbolehkan.”


Baca Juga: Jarak Waktu Antara Adzan Iqomah


Kemudian Imam Al Muzani rahimahullah melanjutkan penukilan dari gurunya itu,

ﻗﺎﻝ: ﻭﺃﺣﺐ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ اﻟﻤﺼﻠﻰ ﺑﻪ ﻓﺎﺿﻼ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﻗﺎﺭﺋﺎ

(Berkata Imam AsySyafi’i rahimahullah):

“Dan saya menyukai hendaknya yang memimpin sholat jemaah adalah sosok yang;

  • Memiliki keutamaan
  • Berilmu (setidaknya tentang hukum dan tata cara sholat)
  • Qori’ (banyak hafalan dan baik bacaannya).”

Lalu beliau juga memilih syarat minimal bagi muadzdzin maupun imam sholat, dengan pernyataan,

ﻭﺃﻱ اﻟﻨﺎﺱ ﺃﺫﻥ ﻭﺻﻠﻰ ﺃﺟﺰﺃﻩ ﻭﺃﺣﺐ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ اﻟﻤﺆﺫﻧﻮﻥ اﺛﻨﻴﻦ؛ ﻷﻧﻪ اﻟﺬﻱ ﺣﻔﻈﻨﺎﻩ ﻋﻦ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ – ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﺑﻼﻝ ﻭاﺑﻦ ﺃﻡ ﻣﻜﺘﻮﻡ، ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ اﻟﻤﺆﺫﻧﻮﻥ ﺃﻛﺜﺮ ﺃﺫﻧﻮا ﻭاﺣﺪا ﺑﻌﺪ ﻭاﺣﺪ

“Dan siapapun (lelaki muslim-pen.) yang mengumandangkan adzan maupun sholat (mengimami jemaah) diperbolehkan.

Yang lebih saya sukai hendaklah jumlah muadzdzin (setidaknya) dua orang, karena demikianlah yang kita dapati dari (sunnah) Rasulillah shollallahu alaihi wasallam (yaitu) Bilal dan Ibnu Ummi Maktum (radhiyallahu anhuma).

Kalaupun jumlah muadzdzin lebih banyak, mereka bisa bergiliran mengumandangkan adzan.”

Sumber:
Mukhtashor Al Muzani 8/105

Demikianlah saudaraku, ternyata nada dan intonasi yang mendayu dalam mengumandangkan adzan maupun saat mengimami sholat bukan hal yang disukai ulama panutan ummat.

Mari kita budayakan adzan dan iqomah secara mudah. Memilih imam sholat dari kalangan muslim yang baik. Sebagai generasi yang mencintai para ulama, sudah menjadi kepatutan bagi seluruh muslim untuk berusaha mengikuti bimbingan mereka, para pewaris nabi.

Ditulis oleh: Abu Abdirrohman Sofian

Tinggalkan Balasan