Memaafkan Lebih Dekat Pada Ketakwaan

Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Jika kalian menceraikan mereka (para istri) sebelum kalian sentuh (campuri), padahal kalian sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) separuh dari apa yang telah kalian tentukan, kecuali jika mereka atau pihak yang memiliki kewenangan nikah (suami) membebaskannya. Pembebasan kalian itu lebih dekat pada ketakwaan. Janganlah melupakan kebaikan di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan (Q.S al-Baqoroh ayat 237)
Memaafkan bisa bermakna tidak menuntut haknya secara penuh, mengikhlaskan sebagian haknya atau sepenuhnya. Pada ayat ke-237 dari surah al-Baqoroh tersebut, alQuran memberikan panduan apabila dalam sebuah akad pernikahan sudah ditentukan maharnya, misalkan 10 juta rupiah, disebutkan dalam akad dan disepakati. Kemudian, beberapa waktu berjalan, sebelum terjadi hubungan suami istri (persetubuhan) dalam pernikahan itu, sang suami menceraikan istrinya. Maka ketentuannya adalah suami yang menceraikannya berhak mendapatkan setengah dari nilai mahar, yaitu 5 juta rupiah. Sang istri yang diceraikan berhak mendapat 5 juta rupiah.
Namun, kadangkala ada sikap memaafkan dari salah satu atau kedua belah pihak untuk merelakan haknya.
Allah Ta’ala berfirman:
…إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ…
…kecuali jika mereka (pihak istri) memaafkan…
Misalkan, sang istri yang diceraikan menyatakan: “Saya tidak akan mengambil bagian saya. Silakan anda ambil semua maharnya” atau ia menyatakan: “Saya hanya mengambil 1 juta rupiah saja”. Padahal haknya adalah 5 juta rupiah. Itu bagian dari sikap memaafkan, yang disukai Allah.
Atau sebaliknya, yang memaafkan adalah pihak suami yang menceraikan:
…أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ…
…atau orang yang memiliki kewenangan dalam ikatan pernikahan (suami) memaafkan…
Misalkan, sang suami menyatakan: “Saya memang berhak mendapatkan kembalian separuh mahar yaitu 5 juta rupiah. Tapi dengan ikhlas saya serahkan sepenuhnya bagian itu. Saya tidak akan mengambil 5 juta rupiah tersebut”. Atau dia menyatakan: “Saya hanya akan mengambil 300 ribu rupiah saja”. Itu bagian dari sikap memaafkan yang terpuji.
Allah Ta’ala menyatakan:
…وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى…
…pemberian maaf itu lebih dekat kepada ketakwaan…
Dengan merelakan sebagian atau seluruh hak kita yang itu merupakan bagian dari memaafkan adalah lebih dekat pada ketakwaan.
Semakin seseorang memaafkan, ia lebih dekat kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana ucapan Sahabat Nabi Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu:
أَيُّمَا عَفَا كَانَ أَقْرَبَ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Semakin memaafkan, itu semakin dekat kepada Allah Azza Wa Jalla (riwayat Sufyan ats-Tsauriy dalam tafsirnya)
Allah Ta’ala juga mengingatkan:
…وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ…
…dan janganlah kalian melupakan untuk bersikap memberi kelebihan di antara kalian…
Artinya, masing-masing pihak suami dan istri janganlah selalu menuntut haknya dipenuhi secara sempurna. Hendaknya suka memberi kelebihan, bonus, tambahan kebaikan kepada pasangannya. Jangan melupakan hal itu.
Di sini Allah menganjurkan untuk tidak saja bersikap adil, tapi berbuat lebih dari keadilan, yaitu al-Fadhl. Keadilan itu menunaikan kewajiban dan meninggalkan hal yang harus ditinggalkan. Sedangkan al-Fadhl lebih dari itu, yaitu melakukan hal yang tidak wajib dilakukan dan meninggalkan sesuatu yang merupakan hak dia untuk diberikan pada orang lain. Ini berlaku dalam muamalah kita dengan siapapun. Jangan melupakan untuk di waktu dan kondisi tertentu kita bersikap al-Fadhl kepada orang lain. Meskipun yang wajib adalah berbuat adil. Sedangkan jika kita mengurangi hak orang lain, tidak menunaikan kewajiban kita terhadap orang lain, itu adalah kedzhaliman yang terlarang.
Sikap mengingat perbuatan al-Fadhl ini juga berlaku apabila salah satu dari 2 pasangan itu meninggal terlebih dahulu. Pasangan yang ditinggalkan, hendaknya tidak melupakan untuk berbuat ihsan kepada pasangannya yang telah meninggal dunia. Misalkan seorang suami sudah meninggal, sedangkan istrinya masih hidup. Sang istri tidak melupakan suaminya untuk mendoakan ampunan untuknya, bersedekah untuknya, menghajikan atau mengumrohkan secara badal, ketika ia mampu, sebagaimana penjelasan Syaikh Bin Baz dalam Fatawa Nurun alad Darb (14/301).
Dikutip dari: Draft naskah buku “Mengapa Begitu Sulit Memaafkan? Maafkanlah dan Berbahagialah”, Abu Utsman Kharisman