Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Satu Ayat Terlengkap yang Mencakup Bimbingan Akhlak Mulia

Allah Azza Wa Jalla berfirman:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

Ambillah sifat pemaaf, perintahlah (orang-orang) pada yang ma’ruf, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh (Q.S al-A’raaf ayat 199)

Ayat ini mengandung 3 perintah untuk berakhlak mulia. Ja’far as-Shodiq rahimahullah menilai bahwa ayat ini adalah 1 ayat dalam alQuran yang paling lengkap mencakup bimbingan akhlak mulia. Demikian dijelaskan dalam Tafsir al-Baghowiy.

Perintah pertama dalam ayat ini adalah untuk mengambil sifat pemaaf. Ini adalah penafsiran dari Sahabat Nabi Abdullah bin az-Zubair juga sebagian tabiin yaitu al-Hasan dan Mujahid. Artinya, janganlah selalu bersikap akan membalas, berikan pemaafan kepada mereka ketika kita bergaul dengan manusia. Demikian yang dijelaskan oleh Ibnul Jauziy dalam kitab Kasyful Musykil min Haditsi as-Shahihayn (1/111).

Sahabat Nabi Abdullah bin az-Zubair radhiyallahu anhuma menyatakan:

مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَّا فِي أَخْلَاقِ النَّاسِ

Tidaklah Allah turunkan (ayat ini) melainkan berkaitan dengan akhlak manusia (riwayat al-Bukhari dalam Shahihnya)

Syaikh Faishol bin Abdil Aziz rahimahullah menjelaskan: “Maknanya adalah menerima udzur-udzur dari mereka, memberi kemudahan kepada mereka (ramah), dan bersabar atas mereka” (Tathriiz Riyadhis Sholihin 1/146).

Seorang pemaaf, mudah menerima udzur dari saudaranya. Tidak langsung memvonisnya dengan ucapan: kamu cuma cari-cari alasan saja!

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan: “Ambillah yang mudah pada manusia. Janganlah engkau menuntut seluruh hakmu. Karena hal itu tidak akan bisa engkau dapatkan. Sehingga ambillah yang ringan dan mudah dari mereka” (Syarh Riyadhis Sholihin libni Utsaimin (1/277)).

Mengambil sifat pemaaf juga bermakna kita bersabar terhadap tindakan orang terhadap kita saat ia tidak sepenuhnya memberikan hak kita atau bersikap melampaui batas terhadap kita. Itu yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa beliau (16/71).

Kadang ada hal yang membuat seseorang tersinggung dan tidak mau memaafkan. Ia kemudian berkata: “Dia tidak tahu siapa saya?”. Mengapa saya diperlakukan sama dengan orang lain. Mestinya kan saya diistimewakan?”.

Apabila seseorang mengambil sifat pemaaf, ia akan menyadari bahwa ia memang seharusnya memaafkan. Kalaupun ada kelebihan pada manusia, itu semua dari Allah Ta’ala. Bukan sesuatu yang harus dibanggakan untuk kemudian dikejar dan butuh pengakuan dari manusia. Dia sadar diri bahwa memang ia tidak perlu diistimewakan.

Perintah kedua dalam ayat ini adalah: Perintahkan kepada yang ma’ruf. Apakah yang dimaksud dengan yang ma’ruf?

Ibnu Jarir atThobariy rahimahullah menyatakan: “Segala amalan yang Allah perintahkan atau anjurkan, itu adalah yang ma’ruf” (Jami’ul Bayaan an Ta’wiili Aayil Quran 13/331).

Hal yang ma’ruf itu menurut Ibnul Qoyyim yang paling tinggi adalah tauhid, kemudian hak-hak Ubudiyyah (Allah), kemudian pemenuhan hak-hak para makhluk (Madarijus Salikin 2/291).

Penentuan sesuatu yang ma’ruf itu adalah berdasarkan penilaian syariat, alQuran dan hadits Nabi yang shahih. Meskipun, sebenarnya dalil-dalil alQuran dan hadits yang shahih tidak akan bertentangan dengan akal sehat dan fitrah yang lurus (disarikan dari kitab arRisalah al-Arsyiyyah karya Ibnu Taimiyyah halaman 35).

Namun, tidak cukup hanya akal saja untuk menentukan yang ma’ruf. Kalau seandainya akal dianggap cukup, niscaya tidak diperlukan Rasul yang diutus dan kitab-kitab yang diturunkan Allah (disarikan dari Ijabatus Saa-il karya Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’iy).

Karena itu, seseorang harus berbekal dengan ilmu syar’i, agar ia bisa memerintahkan kepada yang ma’ruf. Kalau ia tidak berilmu, bisa-bisa ia memerintahkan kepada yang munkar karena ia sangka itu adalah yang ma’ruf.

Perintah yang ketiga pada ayat ini adalah: “dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”. Al-Qurthubiy rahimahullah menyatakan: “Jika engkau telah menegakkan hujjah kepada mereka dan engkau perintahkan kepada yang ma’ruf tapi mereka melakukan sikap kebodohan (kedzhaliman) terhadapmu, berpalinglah dari mereka” (al-Jami’ li Ahkaamil Quran karya alQurthubiy 7/346).

Bukan artinya orang yang berilmu harus meninggalkan orang-orang bodoh dan tidak mengajari mereka sama sekali. Bukan demikian. Orang-orang yang bodoh hendaknya bersemangat untuk belajar sedangkan orang-orang berilmu bersemangat untuk menyampaikan ilmu.

Namun, dalam kondisi tertentu saat mereka diberi tahu tapi tetap menentang dan mendebat orang yang menyampaikan ilmu padanya, yang menasihatinya, dengan pertimbangkan akan sulit memahamkan dia saat itu, hendaknya orang berilmu menghindar. Jangan membalas ucapan buruk mereka dengan ucapan buruk juga.

Sahabat Nabi adalah termasuk teladan terbaik dalam menerapkan ayat-ayat alQuran. Umar bin al-Khoththob radhiyyallahu anhu ketika diingatkan dengan ayat ini, beliau langsung tersadar dan menjalankan kandungan perintahnya.

Suatu hari ada seseorang yang bernama Uyainah meminta tolong kepada keponakannya, yaitu al-Hurr bin Qoys untuk bertemu langsung dan menyampaikan sesuatu kepada Umar. al-Hurr bin Qoys termasuk orang yang dekat Umar karena beliau adalah penghafal alQuran yang alim. Umar mengumpulkan orang-orang penghafal alQuran yang alim sebagai teman dekat yang diajak musyawarah dalam hal-hal yang penting.

Saat Uyainah ini ada kesempatan berbicara kepada Umar, ternyata ia menyampaikan hal-hal seakan-akan Umar tidak adil dalam kepemimpinannya. Sempat terbetik kemarahan dalam diri Umar terhadap Uyainah. Namun, segera al-Hurr bin Qoys mengingatkan Umar bahwa Uyainah ini termasuk orang yang tidak tahu, sedangkan alQuran memerintahkan untuk berpaling (memaafkan; membiarkan) orang yang tidak tahu yang berbuat hal tidak sepantasnya kepada kita.

Al-Hurr bin Qoys menyatakan:

يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { خُذْ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنْ الْجَاهِلِينَ } وَإِنَّ هَذَا مِنْ الْجَاهِلِينَ وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلَاهَا عَلَيْهِ وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ

Wahai Amirul mukminin, sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya shollallahu alaihi wasallam:

خُذْ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنْ الْجَاهِلِينَ

Bersikaplah memaafkan, perintahkan kepada yang ma’ruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang tidak tahu (bodoh)(Q.S al-A’raaf ayat 199)

Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma yang mengisahkan kejadian tersebut menyatakan:

وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلَاهَا عَلَيْهِ وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ

Demi Allah, Umar tidaklah melampaui batas dalam bersikap ketika dibacakan ayat tersebut. Beliau (Umar) adalah orang yang benar-benar berhenti (tunduk) saat dibacakan Kitab Allah (H.R al-Bukhari)


Sumber: Draft buku “MENGAPA BEGITU SULIT MEMAAFKAN? MAAFKANLAH DAN BERBAHAGIALAH”, Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan