Kritikan Ilmiah Terhadap Ceramah Ust Das’ad Latif di Pengajian Muslim United Masjid Jogokariyan Yogyakarta (Bagian ke-2)
Apakah Seorang Muslim yang Meninggal dalam Keadaan Mabuk Terhitung Mati Kafir?
Ust Das’ad Latif dalam ceramah di masjid Jogokariyan Yogyakarta menyebut bahwa orang yang mati karena ngelem (mengkonsumsi bahan yang memabukkan) adalah mati kafir.
Berikut ini kita akan kutipkan transkrip potongan ceramah beliau dari video yang diunggah di channel youtube resmi milik ustadz Das’ad Latif berjudul “Riuh Tawa Muslim United Yogyakarta Masjid Jogokariyan ( Ustad Das’ad Latif )”.
Baca bagian pertama: Kritikan Ilmiah Terhadap Ceramah Ust Das’ad Latif di Pengajian Muslim United Masjid Jogokariyan Yogyakarta (Bagian ke-1)
Petikan Transkrip Ucapan Ust Das’ad Latif pada menit 2.18:
“Tapi belum tentu kau mati dalam keadaan Islam. Adakah orang Islam yang mati dalam keadaan kafir? Ada. Ya mana itu Ustadz? Contoh aja. Contoh. Contoh. Jangan kau marah. Contoh. Marah. Contoh. Lem Fox. Ngelem ngelem Jangan kau ketawa. Lem toh. Nah campur lem Korea. Tidak mau terbuka mulutnya. Pas ngelem, mabuk setengah. Dia ambil naik motor. Bayangkan kalau orang mabuk setengah naik motor dia, listrik dikira aspal Pak. Mati. Mati kafir”
Tanggapan terhadap Pernyataan Ust Das’ad Latif tersebut
Pernyataan tersebut bertentangan dengan akidah Ahlussunnah terhadap seorang muslim yang meninggal dalam keadaan melakukan dosa besar. Berbeda dengan Ahlussunnah, pemahaman Khawarij memvonis pelaku dosa besar sebagai orang yang kafir keluar dari Islam. Pemahaman Khawarij itu adalah pemahaman yang sesat dan menyimpang.
Perbuatan mengkonsumsi minuman atau bahan yang memabukkan adalah dosa besar yang seharusnya dihindari oleh setiap muslim. Namun, tidak boleh kita memvonis seorang yang asalnya muslim melakukan dosa besar di bawah kesyirikan sebagai seorang yang keluar dari Islam. Selama ia tidak menghalalkan perbuatan dosa besar itu. Tidak sedikit orang yang mengkonsumsi barang memabukkan, tapi ia masih meyakini bahwa sebenarnya hal itu haram. Hanya saja ia tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya hingga mengkonsumsi barang haram tersebut. Orang yang demikian belumlah bisa dikafirkan namun terjadi pengurangan keimanan serta tidaklah sempurna keimanannya.
Al-Imam al-Muzaniy –salah seorang murid al-Imam asy-Syafii – rahimahullah menyatakan:
وَلاَ يَخْرُجُوْنَ باِلذُّنُوْبِ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَلاَ يَكْفُرُوْنَ بِرُكُوْبِ كَبِيْرَةٍ وَلاَ عِصْيَانٍ
Tidaklah mengeluarkan dari keimanan (sekedar) perbuatan dosa. Tidaklah (seorang mukmin) dikafirkan dengan melakukan perbuatan dosa besar atau kemaksiatan (Syarhus Sunnah lil Muzaniy)
Perbuatan dosa yang di bawah kesyirikan seperti membunuh, mencuri, berzina, minum khomr, dan semisalnya, tidak menyebabkan seseorang menjadi kafir. Kecuali jika ia menghalalkan perbuatan tersebut.
Seorang yang berbuat dosa yang di bawah kesyirikan, jika dia meninggal sebelum sempat bertobat, ada dua kemungkinan: Allah adzab ia dengan dosa itu atau Allah ampuni dosanya.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya Allah tidaklah mengampuni dosa kesyirikan, dan mengampuni dosa yang di bawah itu bagi orang-orang yang dikehendakiNya (Q.S anNisaa’:48 dan anNisaa’:116)
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ أَخَذَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا أَخَذَ عَلَى النِّسَاءِ أَنْ لَا نُشْرِكَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا نَسْرِقَ وَلَا نَزْنِيَ وَلَا نَقْتُلَ أَوْلَادَنَا وَلَا يَعْضَهَ بَعْضُنَا بَعْضًا فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَتَى مِنْكُمْ حَدًّا فَأُقِيمَ عَلَيْهِ فَهُوَ كَفَّارَتُهُ وَمَنْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ
Dari Ubadah bin as-Shoomit ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam mengambil perjanjian (baiat) kepada kami sebagaimana beliau mengambil perjanjian kepada para wanita, yaitu: agar kami tidak mensekutukan Allah dengan suatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, atau membunuh satu sama lain. Barang siapa yang memenuhi perjanjian itu maka pahalanya ada di sisi Allah. Barang siapa yang ditegakkan padanya hukum had, maka itu adalah penghapus dosanya. Barang siapa yang Allah tutup kesalahannya (tidak diketahui oleh yang lain, dan tidak ditegakkan hukum had), maka urusannya (dikembalikan) kepada Allah. Jika Allah berkehendak, Allah adzab dia, jika Allah berkehendak, Allah ampuni dia (H.R al-Bukhari dan Muslim)
Karena itu, tidak benar anggapan yang menyatakan bahwa seorang muslim yang berzina adalah kafir, muslim yang mati mabuk adalah kafir, orang yang mati bunuh diri adalah mati kafir. Semua anggapan itu tidak benar. Segala perbuatan dosa yang berada di bawah kekufuran akbar atau kesyirikan tidaklah mengeluarkan seseorang dari keimanan. Kecuali jika ia menghalalkan atau menganggap kemaksiatan itu adalah halal setelah ditegakkan hujjah terhadapnya.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menegaskan bahwa seorang muslim yang meninggal karena melakukan dosa baik besar atau kecil, ia berhak untuk dishalatkan, dimintakan ampunan, dan perkaranya diserahkan kepada Allah Ta’ala, apakah Allah akan menyiksa dia atau mengampuninya.
وَمن مَاتَ من أهل الْقبْلَة موحدا يُصَلِّي عَلَيْهِ ويستغفر لَهُ وَلَا يحجب عَنهُ الاسْتِغْفَار وَلَا تتْرك الصَّلَاة عَلَيْهِ لذنب أذنبه صَغِيرا كَانَ أَو كَبِيرا أمره إِلَى الله تَعَالَى
Barang siapa yang meninggal sebagai ahlul kiblat yang mentauhidkan Allah, hendaknya dishalatkan, dimintakan ampunan. Ia tidak terhalang dari permohonan ampunan. Janganlah meninggalkan perbuatan menyalatkan jenazahnya karena dosa yang ia perbuat, baik dosa kecil ataupun dosa besar. Perkaranya diserahkan kepada Allah (Ushulus Sunnah lil Imam Ahmad bin Hanbal)
Wallaahu A’lam.
Penulis: Abu Utsman Kharisman