Keadilan Al-Imam Ahmad Dalam Bersikap dan Menilai Seseorang
Persaksian yang jujur adalah bagian dari keimanan. Allah Taala menyeru orang-orang beriman untuk menegakkan persaksian secara adil dan jujur.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْط…
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang-orang yang menegakkan persaksian untuk Allah secara adil…(Q.S al-Maidah ayat 8)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah sosok Ulama Jarh wat Ta’dil yang bersikap anNashihah untuk umat. Kalau beliau menilai seseorang, beliau akan berusaha menilainya secara adil. Apabila beliau tidak melihat pada orang itu melainkan kebaikan, niscaya itulah yang beliau sampaikan. Meskipun orang itu pernah dikatakan bahwa ia mencela beliau. Tapi beliau tidak terpengaruh untuk menyampaikan sesuai yang beliau tidak ketahui. Beliau tidak terprovokasi untuk balik mencela orang itu.
Abu Bakr al-Marwaziy menyatakan: Pernah disebutkan tentang seseorang kepada (al-Imam) Ahmad. Beliau menyatakan: “Aku tidak mengetahui tentang dia kecuali kebaikan”. Kemudian ada seseorang menyatakan: Pernyataan anda tentang dia berbeda dengan pernyataan dia terhadap anda (karena dia mencela anda, pen). (al-Imam Ahmad pun) tersenyum sembari mengatakan:
مَا أَعْلَمُ إِلَّا خَيْرًا هُوَ أَعْلَمُ وَمَا يَقُولُ تُرِيدُ أَنْ أَقُولَ مَا لَا أَعْلَمُ
Aku tidaklah mengetahui tentang dia kecuali kebaikan, sedangkan dia lebih mengetahui tentang apa yang diucapkannya. Apakah engkau menginginkan agar aku menyampaikan sesuatu yang tidak aku ketahui? (kitab al-Wara’ karya al-Imam Ahmad berdasarkan riwayat al-Marwaziy halaman 197).
Kemudian al-Imam Ahmad justru mengingatkan dengan sikap baik Salim –seorang tabi’i- yang ketika hewan tunggangannya tanpa sengaja mendesak hewan tunggangan seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu menilai bahwa Salim adalah seorang yang buruk atau jahat, tapi Salim hanya menyatakan: (penilaianmu itu) tidaklah jauh (dari kebenaran).
Al-Imam Ahmad rahimahullah menyatakan:
رَحِمَ اللَّهُ سَالِمًا زَحَمَتْ رَاحِلَتُهُ رَاحِلَةَ رَجُلٍ فَقَالَ الرَّجُلُ لِسَالِمٍ أُرَاكَ شَيْخَ سَوْءٍ قَالَ مَا أَبْعَدْتَ
Semoga Allah merahmati Salim, ketika tunggangannya mendesak tunggangan seseorang, kemudian orang itu berkata: Aku mengira bahwa engkau adalah seorang syaikh yang buruk. Salim berkata: (Penilaianmu itu) tidaklah jauh (dari kebenaran) (kitab al-Wara’ karya al-Imam Ahmad berdasarkan riwayat al-Marwaziy halaman 197)
Hal itu menunjukkan juga ketawadhuan Salim. Saat dicela dan dikatakan bahwa beliau orang yang buruk, Salim tidak membantah. Beliau menyadari bahwa dalam diri beliau ada sisi keburukan. Beliau tidak mengklaim bahwa diri beliau adalah orang yang baik. Meskipun dengan keutamaan yang ada pada Salim, bisa jadi keburukan yang ada pada pihak yang mencela lebih besar dibandingkan keburukan beliau. Tapi beliau tidak berbantah-bantahan dengan orang tersebut dalam hal celaan pribadi terhadap beliau.
Baca Juga:
- Keadilan Dalam Kritikan (Bagian 1)
- Keadilan Dalam Kritikan (Bagian 2)
- Keadilan Dalam Kritikan (Bagian 3)
Jangan sampai kebencian kita kepada suatu kaum membuat kita bersikap tidak adil. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam alQuran:
… وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى…
…janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum menyeret kalian untuk bersikap tidak adil. Bersikap adillah, karena itu lebih dekat pada ketakwaan…(Q.S al-Maidah ayat 8)
Adz-Dzahabiy juga menukil ucapan Abdullah bin Muhammad al-Warraq tentang keadilan al-Imam Ahmad dalam menilai seseorang. Abdullah bin Muhammad al-Warraq berkata: Aku pernah berada di majelis Ahmad bin Hanbal. Kemudian (al-Imam) Ahmad berkata: Dari mana kalian? (al-Warraq) berkata: Dari majelis Abu Kuraib. Al-Imam Ahmad berkata: Tulislah hadits darinya karena dia adalah seorang syaikh yang sholih. Kami berkata: Sesungguhnya dia mencela anda. (al-Imam Ahmad pun) berkata:
فَأَيُّ شَيْءٍ حِيلَتِي، شَيْخٌ صَالِحٌ قَدْ بُلِيَ بيِ
Apa lagi yang harus aku perbuat. Ia adalah seorang syaikh yang sholih yang mendapat ujian dengan sebab aku (Siyar A’lamin Nubalaa’ 11/317)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal juga memperhatikan udzur pada seseorang. Tidak serta merta beliau akan menjauhi atau meninggalkan seorang perawi jika beliau melihat bahwa orang itu memiliki udzur tertentu. Meskipun dalam suatu fitnah, bisa jadi sikap beliau berbeda dengan orang tersebut.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menyatakan:
لَوْ حَدَّثتُ عَمَّنْ أَجَابَ (فِي المِحْنَةِ(، لَحَدَّثتُ عَنِ اثْنَيْنِ: أَبُو مَعْمَرٍ، وَأَبُو كُرَيْبٍ، أَمَّا أَبُو مَعْمَرٍ، فَلَمْ يَزَلْ بَعْدَ مَا أَجَابَ يَذُمُّ نَفْسَه عَلَى إِجَابَتِه وَامْتِحَانِه، وَيُحَسِّنُ أَمْرَ مَنْ لَمْ يُجِبْ وَيُغْبِطُهُمْ. وَأَمَّا أَبُو كُرَيْبٍ، فَأُجْرِيَ عَلَيْهِ دِيْنَارَانِ، وَهُوَ مُحْتَاجٌ، فَتَرَكَهُمَا لَمَّا عَلِمَ أَنَّهُ أُجْرِيَ عَلَيْهِ لِذَلِك
Kalau seandainya aku menyampaikan hadits dari seorang yang mengikuti seruan fitnah, niscaya aku akan menyampaikan hadits dari 2 orang, yaitu Abu Ma’mar dan Abu Kuraib. Adapun Abu Ma’mar, setelah ia mengikuti seruan fitnah itu ia terus menerus mencela dirinya karena sudah mengikutinya dan membuat dirinya terfitnah. Ia juga menilai baik keadaan orang yang tidak mengikuti fitnah dan ingin seperti mereka. Sedangkan Abu Kuraib, ia diberi 2 dinar dalam keadaan sangat butuh. Kemudian ia pun meninggalkan 2 dinar itu ketika ia tahu bahwa ia diberi pemberian tersebut untuk tujuan itu (agar ikut dalam fitnah, pen)(riwayat Ibnu Asaakir dalam Tarikh Dimasyq, dinukil juga oleh al-Mizziy dalam Tahdzibul Kamaal dan adz-Dzahabiy dalam Siyar A’laamin Nubalaa’).
Sebaliknya, keadilan dalam menilai juga terlihat dari memperingatkan umat untuk tidak mengambil ilmu dari orang-orang tertentu yang tidak layak diambil ilmunya.
Baca Juga: Kewajiban Bersikap Adil kepada Siapapun Sekalipun dalam Membantah Kebatilan
Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah menyatakan:
لَا يُؤْخَذُ الْعِلْمُ مِنْ أَرْبَعَةٍ، وَيُؤْخَذُ مِمَّنْ سِوَى ذَلِكَ: لَا تَأَخُذْ مِنْ سَفِيهٍ مُعْلِنٍ بِالسَّفَهِ وَإِنْ كَانَ أَرْوَى النَّاسِ، وَلَا تَأْخُذْ مِنْ كَذَّابٍ يَكْذِبُ فِي أَحَادِيثِ النَّاسِ إِذَا جُرِّبَ ذَلِكَ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ لَا يُتَّهَمُ أَنْ يَكْذِبَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلَا مِنْ صَاحِبِ هَوًى يَدْعُو النَّاسَ إِلَى هَوَاهُ، وَلَا مِنْ شَيْخٍ لَهُ فَضْلٌ وَعِبَادَةٌ إِذَا كَانَ لَا يَعْرِفُ مَا يُحَدِّثُ
Ilmu tidak boleh diambil dari 4 (kelompok orang) dan boleh diambil ilmu dari selain mereka: Janganlah anda mengambil dari orang yang bodoh, yang mengumumkan kebodohannya, meskipun dia orang yang paling banyak meriwayatkan hadits. Jangan mengambil ilmu dari orang yang sangat pendusta yang berdusta saat berbicara dengan manusia jika hal itu telah terbukti dari dia. Meskipun dia tidak dituduh berdusta atas Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Jangan pula mengambil ilmu dari Ahlul Bid’ah yang mengajak orang pada kebid’ahannya. Jangan juga mengambil ilmu dari seorang syaikh yang punya keutamaan dan ahli ibadah, jika ia tidak mengetahui hadits apa yang dia sampaikan (apakah shahih atau tidak, pen) (riwayat al-Khothib al-Bahgdadiy dalam al-Jami’ li Akhlaaqir Roowiy 1/139)
Sebagai contoh, seorang yang bernama Abaan bin Abi Iyaasy adalah seorang laki-laki yang sholih. Namun ia buruk hafalannya. Sehingga tidak layak untuk diambil ilmu darinya. Abu Hatim rahimahullah menyatakan:
أَبَان بْنُ أَبِي عِيَاش مَتْرُوْكُ الْحَدِيْثِ وَكَانَ رَجُلًا صَالِحًا لَكِنْ بُلِيَ بِسُوْءِ الْحِفْظِ
Abaan bin Abi Iyaasy ditinggalkan haditsnya. Dia adalah seorang laki-laki yang shalih, namun mendapat musibah dengan buruknya hafalannya (al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim)
Sehingga al-Imam Ahmad menyatakan:
لاَ تَكْتُبْ عَنْ أَبَان بْنِ أَبِي عِيَاش شَيْئاً، فَقَالَ لَهُ: كَانَ لَهُ هَوًى؟ قَالَ: كَانَ مُنْكَرَ الْحَدِيْث
Janganlah engkau menulis (hadits) dari Aban bin Abi Ayaasy sedikitpun. Ada orang yang mengatakan: Apakah ia memiliki pemikiran bid’ah? Al-Imam Ahmad menyatakan: Dia munkarul hadits (al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim)
Keadilan dalam menilai yang dicontohkan oleh al-Imam Ahmad di atas adalah beliau akan menyatakan seorang baik, meski seandainya orang itu berkomentar buruk terhadap beliau. Al-Imam Ahmad tetap akan menilai seseorang layak untuk diambil ilmunya, meskipun ada pandangan negatif orang itu terhadap beliau. Sebaliknya, beliau akan menilai seorang secara adil bahwa orang itu tidak layak diambil ilmunya, mungkin karena kebid’ahannya dan ia menyeru pada kebid’ahannya itu, atau suka berdusta, atau tidak punya keahlian untuk menyampaikan ilmu hadits. Meskipun seandainya dalam pandangan manusia umum orang itu terlihat baik.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa menganugerahkan akhlak yang mulia – sebagaimana akhlak para Ulama Ahlussunnah- pada kita, dan semoga Dia (Allah) senantiasa membimbing kita untuk selalu adil dalam bersikap dan menilai.
Penulis: Abu Utsman Kharisman