Serial Kajian Kitabut Tauhid (Bag.106): Dalil Ketiga Bab Ke-31: Firman Allah Ta’ala Surah Al-Baqoroh Ayat 165
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Ada 3 hal yang jika itu ada pada seseorang, ia akan merasakan manisnya iman. (Yaitu) ia menjadikan Allah dan Rasul-Nya yang paling ia cintai dibandingkan keduanya. Dan ia tidaklah mencintai seseorang kecuali karena Allah. Dan ia tidak suka jika ia dikembalikan kepada kekufuran sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam api (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Anas)
Penjelasan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan:
محبَّة الله وَرَسُوله من أعظم وَاجِبَات الايمان وأكبر أوصله وَأجل قَوَاعِده بل هِيَ أصل كل عمل من أَعمال الْإِيمَان وَالدّين كَمَا أَن التَّصْدِيق أصل كل قَول من أَقْوَال الْإِيمَان وَالدّين فَإِن كل حَرَكَة فِي الْوُجُود إِنَّمَا تصدر عَن محبَّة إِمَّا عَن محبَّة محمودة أَو عَن محبَّة مذمومة
Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah termasuk kewajiban iman teragung, sambungan terbesar, dan yang paling mulia kaidah-kaidahnya. Bahkan, (cinta kepada Allah dan Rasul-Nya) itu adalah pangkal dari segala amalan keimanan dan agama. Sebagaimana (sikap) pembenaran (percaya pada setiap berita dari Allah dan Rasul-Nya, pent) adalah pangkal dari segala ucapan keimanan dan agama. Sesungguhnya segala pergerakan yang ada dalam keberwujudan ini berasal dari cinta. Bisa dari cinta yang terpuji atau cinta yang tercela (Amroodhul Qulub wa Syifa-uha 1/59)
Beliau juga menyatakan:
فَمن كَانَ محبا لله لزم أَن يتبع الرَّسُول فيصدقه فِيمَا أخبر ويطيعه فِيمَا أَمر ويتأسى بِهِ فِيمَا فعل وَمن فعل هَذَا فقد فعل مَا يُحِبهُ الله فَيُحِبهُ الله
Barang siapa yang cinta kepada Allah, ia harus mengikuti Rasul, membenarkan berita yang beliau sampaikan, menaati perintah beliau, dan meneladani perbuatan beliau. Barang siapa yang melakukan hal ini maka ia telah melakukan apa yang dicintai oleh Allah sehingga Allah pun akan mencintainya (al-Ubudiyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 1/94)
ومحبة الرسول هي من محبة الله فهي حب لله تعالى وفي الله، ليس محبة محبوب مع الله
Dan cinta kepada Rasul adalah termasuk bagian cinta kepada Allah Ta’ala. Itu adalah kecintaan karena Allah dan di jalan Allah. Bukan mencintai sesuatu yang dicintai sebagai tandingan terhadap Allah (al-Ikhnaiyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah)
Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah menyatakan:
وَسَمِعْتُ شَيْخَ الْإِسْلَامِ ابْنَ تَيْمِيَّةَ – قَدَّسَ اللَّهُ رَوْحَهُ – يَقُولُ: إِذَا لَمْ تَجِدْ لِلْعَمَلِ حَلَاوَةً فِي قَلْبِكَ وَانْشِرَاحًا، فَاتَّهِمُهُ، فَإِنَّ الرَّبَّ تَعَالَى شَكُورٌ. يَعْنِي أَنَّهُ لَا بُدَّ أَنْ يُثِيبَ الْعَامِلَ عَلَى عَمَلِهِ فِي الدُّنْيَا مِنْ حَلَاوَةٍ يَجِدُهَا فِي قَلْبِهِ، وَقُوَّةِ انْشِرَاحٍ وَقُرَّةِ عَيْنٍ. فَحَيْثُ لَمْ يَجِدْ ذَلِكَ فَعَمَلُهُ مَدْخُولٌ
Aku mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –semoga Alah mensucikan ruhnya – berkata: Jika engkau tidak mendapati kelezatan dan kelapangan di hatimu saat melakukan amal (ibadah), curigailah (hatimu atau kesempurnaan amalmu, pent). Karena sesungguhnya Rabb (Allah) Ta’ala Maha Bersyukur. Artinya, Dia (Allah) pasti akan memberikan balasan bagi orang yang beramal (ibadah) dengan kebaikan di dunia berupa kelezatan (manis) yang dirasakan di hati orang itu, begitu lapang dadanya, dan menentramkan (pada saat dan setelah melaksanakan ibadah itu, pent). Apabila perasaan itu tidak didapatkan (oleh orang yang beramal ibadah), maka amalnya bisa jadi kemasukan (unsur-unsur yang merusaknya, karena kurang ikhlas, atau kurang sesuai bimbingan Nabi, pent)(Madarijus Salikin 2/68).
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan:
وحب الإنسان للمرء له أسباب كثيرة يحبه للدنيا، ويحبه للقرابة، ويحبه للزمالة، ويحب المرء زوجته للاستمتاع، ويحب من أحسن إليه، لكن إذا أحببت هذا المرء لله; فإن ذلك من أسباب وجود حلاوة الإيمان
Kecintaan seseorang pada orang lain ada banyak penyebabnya. Bisa jadi dia cinta pada orang itu karena urusan duniawi, dia cinta karena kekerabatan, pertemanan, cinta pada istri untuk bersenang-senang, dan cinta kepada orang yang pernah berbuat baik padanya. Namun, jika anda cinta kepada seseorang karena Allah, itu adalah termasuk penyebab manisnya keimanan (al-Qoulul Mufiid Syarh Kitabit Tauhid)
يكره أن يرجع في الكفر بعد إذ أنقذه الله منه. وهذه ظاهرة فيمن كان كافراً ثم أسلم، لكن من ولد في الإسلام فيكره أن يكون في الكفر بعد أن من الله عليه بالإسلام كما يكره أن يقذف في النار، يعني أنه لو قذف في النار لكان أهون عليه من أن يعود كافراً بعد إسلامه، وهذا والحمد لله حال كثير من المؤمنين. كثير من المؤمنين لو قيل له: تكفر أو نلقيك من أعلى شاهق في البلد أو نحرقك لقال: احرقوني. ألقوني من أعلى شاهق ولا أرتد من بعد إسلامي
(Dalam hadits itu disebutkan: Dia benci untuk kembali pada kekafiran setelah Allah menyelamatkan dia darinya). Ini nampak jelas pada orang yang sebelumnya kafir kemudian masuk Islam. Namun, orang yang terlahir sebagai muslim (dan komitmen terhadap keislamannya, pent) ia (juga) tidak suka menjadi kafir setelah Allah memberikan anugerah Islam kepadanya. Sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke dalam api. Artinya, kalau seandainya ia dilemparkan ke dalam api, itu lebih ringan baginya dibandingkan ia menjadi kafir setelah keislamannya. Ini, alhamdulillah adalah keadaan banyak kaum beriman. Banyak di antara orang beriman yang kalau dikatakan kepadanya: Kafirlah, atau kami akan melemparkan engkau dari ketinggian di negeri ini atau kami akan membakarmu, niscaya orang beriman itu akan berkata: Silakan bakar aku. Silakan lemparkan aku dari ketinggian, aku tidak akan murtad setelah keislamanku (Syarh Riyadhis Sholihin karya Syaikh Ibnu Utsaimin 3/360)
Oleh: Abu Utsman Kharisman