Larangan Istri Berpuasa Sunnah Tanpa Seizin Suaminya
Hadits no 685 dalam Kitabus Shiyam min Bulughil Maram:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ
Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita berpuasa (sunnah) saat suaminya ada (tidak safar) kecuali seizinnya
(muttafaqun alaih, lafadz sesuai riwayat al-Bukhari)
وَزَادَ أَبُو دَاوُدَ: غَيْرَ رَمَضَانَ
Dan ada tambahan dalam lafadz Abu Dawud: selain Ramadhan
Penjelasan:
Bagi seorang istri, hak suami lebih besar terhadap dia dibandingkan hak orangtuanya. Karena Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ المَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
Kalau seandainya aku boleh memerintahkan kepada seseorang untuk sujud pada orang lain, niscaya aku akan perintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya (H.R atTirmidzi)
Demikian penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam al-Fatawa al-Kubro (3/145).
Hadits yang kita bahas ini menunjukkan begitu besarnya hak suami terhadap istri. Jika sang suami ada di rumah bersama istrinya, sang istri tidak boleh berpuasa sunnah tanpa seizin suami. Karena itu akan mengurangi penunaian hak suami.
Syaikh Abdullah al-Bassam menjelaskan bahwa kalau sang suami sedang safar, tidak mengapa istri berpuasa sunnah. Karena tidak akan mengurangi hak sang suami. Demikian juga mafhum (makna yang terpahami) dari hadits tersebut.
Dalam hadits riwayat Abu Dawud lafadz lengkapnya adalah sebagai berikut:
لَا تَصُومُ الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ، إِلَّا بِإِذْنِهِ غَيْرَ رَمَضَانَ، وَلَا تَأْذَنُ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Janganlah seorang wanita berpuasa pada saat suaminya hadir (tidak safar) kecuali dengan seizinnya. Hal itu selain (pada bulan) Ramadhan. Dan janganlah seorang wanita mengizinkan seseorang masuk ke rumah suaminya pada saat suaminya ada, kecuali dengan seizinnya (H.R Abu Dawud)
Maka riwayat Abu Dawud ini menunjukkan bahwa untuk puasa Ramadhan, karena itu puasa wajib, tidak harus menunggu izin dari suami. Puasa pengganti Ramadhan juga berstatus wajib. Tidak boleh dibatalkan di pertengahan.
Pada saat Fathu Makkah, Nabi pernah menawarkan segelas susu kepada Ummu Hani’. Kemudian Ummu Hani’ meminumnya. Setelah minum, Ummu Hani’ berkata: Wahai Rasulullah, aku telah membatalkan puasa. Aku sebelumnya berpuasa. Rasul bertanya:
أكُنْتِ تقضينَ شيئاً
Apakah engkau mengganti suatu hari (dari Ramadhan)?
Ummu Hani’ menjawab: Tidak. Nabi bersabda:
فَلاَ يَضُرُّكِ إِنْ كَانَ تَطَوُّعًا
Tidak memudharatkanmu (tidak mengapa) jika itu adalah puasa sunnah (H.R Abu Dawud no 2456. Al-Iraqy menyatakan bahwa sanadnya hasan, dan dishahihkan al-Albany)
Sabda Nabi kepada Ummu Hani’ itu menunjukkan bahwa status puasa qodho’ (pengganti Ramadhan) hukumnya adalah wajib sehingga harus berniat sebelum Subuh dan saat sedang dikerjakan, puasa itu tidak boleh dibatalkan. Tidak seperti puasa sunnah yang bisa dibatalkan kapan saja.
Namun, kalau masa mengganti puasa Ramadhan masih lapang, sebaiknya sang istri meminta izin terlebih dahulu pada suaminya.
Wallaahu A’lam
Draft Buku “Fiqh Puasa Wajib dan Sunnah (Penjelasan Hadits-hadits dalam Kitabus Shiyam min Bulughil Maram)”, Abu Utsman Kharisman