Korelasi antara Ucapan “Selamat Natal” dan Akidah Sebuah Ajakan Mawas Diri
Saudaraku, semoga kita semua senantiasa dilindungi Allah Sang Mahakuasa…
Berbicara tentang akidah, tak akan lepas dari pemahaman tentang lingkup iman. Menurut fatwa Syaikh Sholih Al Fauzan bin Abdillah Al Fauzan hafidzahullah, akidah notabene adalah keimanan, yaitu keyakinan yang terikat kuat dalam kalbu dan dipercayainya. Sehingga akidah dan keimanan merupakan satu kesatuan.
Sementara cakupan keimanan bagi umat islam yang konsekuen dengan petunjuk Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam meliputi:
- Pembenaran & keyakinan dalam hati
- Ikrar, pengucapan dengan lisan
- Beramal dengan anggota badan.
Atau dalam bahasa lain, mencakup ucapan dan perbuatan; ucapan hati dan lisan, serta perbuatan hati dan anggota badan. Mukmin sejati juga yakin bahwa semua cakupan iman tersebut akan bertambah dengan ketaatan (terhadap syariat islam), dan berkurang akibat kemaksiatan.
Sebagaimana akidah semacam ini dipelajari, diyakini dan disampaikan sampaikan para ulama terdahulu hingga kini.
Abu Qudamah As-Sarkhosi rahimahullah berkata:
“Aku pernah mendengar Yahya bin Sa’id (Al-Qoththon rahimahullah) berkata:
كل من أدركت يقولون
Semua ulama yang aku temui mereka menyatakan:
الإيمان قول وعمل ويكفرون الجهمية ويقدمون أبا بكر وعمر
“Iman (mencakup) ucapan dan perbuatan, juga mengkafirkan sekte Jahmiyah dan meyakini keutamaan Abu Bakar dan Umar (lebih dari sahabat lainnya).” (Tadzkirotul Huffadz karya Adz-Dzahabi 1/219)
Salamah bin Syabib rahimahullah berkata:
“Telah menyampaikan kepada kami Abdurrozzaq, aku telah mendengar Sufyan (Ats-Tsauri), Ibnu Juraij, Malik (bin Anas), serta (Sufyan) ibnu ‘Uyainah, semuanya menyatakan:
الإيمان قول وعمل، يزيد وينقص
“Iman (mencakup) ucapan dan perbuatan, (bisa) bertambah dan berkurang.” (Siyar A’lam, karya Adz Dzahabi, 7/185)
Jadi memang sejatinya tidak cukup menggambarkan bahwa akidah itu yang penting tetapnya keyakinan dalam kalbu, walaupun lisan mengucapkan hal yang berbeda. Sebagaimana tidak mungkin disebut lurus akidahnya, orang yang hanya dalam ucapan mengikuti ketentuan agama, sementara isi hati membencinya.
Atau orang yang merasa yakin dan berikrar, akan tetapi perbuatannya bertolak belakang dengan ucapan dan pengakuan keyakinannya. Semua bentuk kekurangan itu bukanlah akidah yang semestinya.
Apabila kita telah sepakat dalam prinsip dasar ini, sebenarnya tidak sulit menjawab pertanyaan yang diungkapkan dalam judul bahasan kita ini. Kaitannya dengan latah toleransi yang ekstrim, terkhusus kegiatan turut membantu perayaan Natal dan Tahun Baru, berikut sekilas ulasannya. Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita untuk menerima kebenaran dan menjalankannya.
Artikel terkait yang semoga bermanfaat: Hukum Turut Merayakan Natal Dan Tahun Baru Masehi
Menurut wikipedia, Natal (dari bahasa Portugis yang berarti “kelahiran”) adalah hari raya umat Kristen yang diperingati setiap tahun oleh umat Kristiani pada tanggal 25 Desember untuk memperingati hari kelahiran Yesus Kristus. Terlepas dari polemik seputar keraguan bahwa Yesus di internal kaum Kristiani tidak diketahui pasti tanggal kelahirannya. Natal dirayakan dalam kebaktian malam pada tanggal 24 Desember; dan kebaktian pagi tanggal 25 Desember. Beberapa gereja Ortodoks merayakan Natal pada tanggal 6 Januari.
Apa saja isi peringatan natal yang biasa dilakukan umat Kristiani? Tentu banyak. Sayangnya dalam tinjuan syariat Islam – maaf saja – ternyata berkisar antara kekufuran dan penyimpangan ajaran Nabi Isa ‘alaihissalam, dan tak jarang dibumbui berbagai tindak kemaksiatan.
Peringatan natal sarat dengan ikrar keyakinan bahwa Yesus adalah Putera Allah
Padahal Allah sendiri dalam Al Quran telah berfirman:
تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (٩٠) أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا (٩١) وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (٩٢) إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا (٩٣)
‘Hampir-hampir langit runtuh dan bumi terbelah serta gunung-gunung hancur. Tatkala mereka (Nasrani) mengklaim bahwa (Allah) Ar-Rahman itu mempunyai anak. Padahal tidak pantas bagi Ar-Rahman memiliki anak. Dalam keadaan seluruh yang di berbagai lapisan langit dan bumi pasti menghadap Ar Rahman sebagai hamba.’ (QS Maryam: 90-93)
Dalam hadits qudsi, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كَذَّبَنِي ابْنُ آدَمَ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ، وَشَتَمَنِي وَلَمْ يَكُنْ لَهُ ذَلِكَ ؛ فَأَمَّا تَكْذِيبُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ : لَنْ يُعِيدَنِي كَمَا بَدَأَنِي. وَلَيْسَ أَوَّلُ الْخَلْقِ بِأَهْوَنَ عَلَيَّ مِنْ إِعَادَتِهِ، وَأَمَّا شَتْمُهُ إِيَّايَ فَقَوْلُهُ : اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا. وَأَنَا الْأَحَدُ الصَّمَدُ ، لَمْ أَلِدْ وَلَمْ أُولَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لِي كُفْئًا أَحَدٌ
“Allah berfirman: “Anak manusia telah mendustakan dan mencela-Ku. Padahal ia tidak patut melakukan itu. Ada pun pendustaannya terhadap-Ku adalah ucapannya, “Dia tidak akan membangkitkanku (di Akhirat) seperti semula”. Bukankah membangkitkannya kembali jauh lebih mudah bagi-Ku dari pada pertama kali menciptakannya? Ada pun celaannya pada-Ku adalah ucapannya, “Allah telah memiliki seorang anak”. Padahal Aku adalah Yang Maha Satu dan tempat bergantung seluruh makhluk. Aku tidak memiliki anak dan tidak dilahirkan, serta tidak ada seorangpun yang setara dengan-Ku”. (HR. Al Bukhari no. 4974)
Ikrar dan senandung dalam sekian banyak lagu rohani yang mereka lantunkan menegaskan pengakuan bahwa Yesus adalah Anak Tuhan bagi mereka.
Maka bagi mereka – kaum Nasrani – di manakah peran dan kejujuran Nabi akhir masa yang telah dijanjikan dalam injil?
وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُم مُّصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِن بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ ۖ فَلَمَّا جَاءَهُم بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَٰذَا سِحْرٌ مُّبِينٌ
“Dan (ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata: ‘Wahai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang bernama Ahmad (Muhammad)’. Lalu tatkala rasul itu telah datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: ‘Ini adalah sihir yang nyata’…” (QS. Ash Shaf: 6)
Artikel terkait: Khotbah Jumat: Dakwah Tauhid Dan Menjauhi Thoghut Adalah Dakwah Seluruh Rasul
Kebiasaan berpesta pada akhir Desember sudah dimulai sejak masa Romawi sebagai tradisi kaum pagan yang menyembah berhala
Pesta itu sejatinya merupakan festival perayaan panen. Pada masa itu semua orang saling memberi kado, menghiasi rumah dengan karangan bunga, menyediakan makanan dan minuman yang melimpah, serta banyak minum. Ini menunjukkan bahwa mereka beribadah tanpa landasan ilmu.
Padahal sebagai muslim yang taat, kita diwajibkan membaca surah Al fatihah dalam setiap rokaat sholat. Dan terdapat kandungan doa di penghujung surah yang berisi permohonan untuk ditunjuki ke jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang Allah limpahkan kenikmatan (Muslim), bukan jalannya orang-orang yang dimurkai (seperti Yahudi yang berpengetahuan tanpa mau beramal), serta bukan pula jalannya orang-orang yang sesat (seperti Nasrani, yang beramal tanpa ilmu).
Meminta pengampunan dosa dari selain Allah
Saudaraku, bukankah tanda keimanan adalah mengingat Allah, meminta ampun kepada-Nya semata, dan menghentikan keberlangsungan dosanya?
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Ali Imron: 135)
Al Baghowi rahimahullah menekankan dalam tafsirnya:
أي : وهل يغفر الذنوب إلا الله
“Yakni, apakah ada yang bisa mengampuni dosa selain Allah?”
Akidah islam kita menjawab pasti, “Tidak ada!”
Lantas, masih bolehkah kita mengakui dengan memberi selamat kepada yang meyakini ada pengampun dosa selain-Nya? Na’udzu billah min alkhudzlan ba’da alhuda
Artikel terkait: Khotbah Jumat: Sikap yang Benar Terhadap Hari Raya Orang Kafir
Bersantap saat perayaan Natal bisa berlangsung tanpa kendali
Sebagaimana digambarkan sebuah karikatur Inggris pada abad ke-19. Dalam tinjauan syariat Islam disebut isrof (menghambur-hamburkan harta). Allah berfirman:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Makan dan minumlah, akan tetapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31)
Dan sekian banyak perbedaan akidah (baca: keimanan) lainnya begitu pula syariat dan adab yang tidak bisa ditolerir untuk disampaikan ucapan selamat.
Maka dalam tinjauan syariat, tidak bisa diterima, jika pengucapan “Selamat Natal” yang merupakan ucapan lisan hanya sekadar disebut “basa-basi pergaulan.”
Tidakkah khawatir bahwa ucapan ini berdampak sangat fatal? Ucapan yang melegitimasi kekufuran kepada Allah, kekufuran terhadap risalah kenabian Muhammad shollallahu alaihi wasallam.
Padahal canda dan olok-olok dalam masalah semacam ini jelas tidak termaafkan.
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ (66)
“Dan jika engkau tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?”
Tidak usah kalian minta maaf, karena kalian kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kalian (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS At-Taubah: 65-66)
Begitu pula jika yang diberatkan adalah sisi perasaan manusiawi, sehingga sesama umat beragama dirasa perlu saling toleransi, coba kita ingat kutipan tulisan salah seorang tokoh masyarakat era-70 & 80-an berikut:
“Pada hakekatnya mereka itu tidak ada yang toleransi. Mereka kedua belah pihak hanya menekan perasaan, mendengarkan ucapan-ucapan yang dimuntahkan oleh telinga mereka. Jiwa, raga, hati, sanubari, dan otak, tidak bisa menerima. Kalau keterangan orang Islam bahwa Nabi Muhammad SAW ¹) adalah nabi akhir zaman, penutup sekalian rasul, jiwa raga orang Kristen akan mengatakan bahwa keterangan orang Islam ini harus ditolak, sebab kalau diterima, kita tidak Kristen lagi. Dalam hal kepercayaan, tidak ada toleransi.”
(Toleransi, Sekulerisme, atau Sinkretisme. Dalam buku Hmk, Dari Hati ke Hati, (Jakarta: Pustaka Pnjm*s, 2002)
Dengan pemaparan diatas, sebenarnya sudah cukup terang untuk tidak bersikap permisif terhadap penyampaian ucapan selamat merayakan hari raya umat non Muslim.
Sangat disayangkan pula, apabila tokoh masyarakat kita sejak akhir era 60-an telah mementahkannya, akan tetapi nyatanya masih ada pihak yang terus berupaya mereproduksi di era milenial ini. Walaupun bukan menghentikan anjuran untuk hidup damai bermasyarakat dalam kehidupan duniawi sehari-hari, yang jelas telah diajarkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Hanya saja, tetap diharapkan kepada Allah, agar kita masih termasuk yang sadar dan mawas diri, untuk bisa cermat menolak paham sinkritisme dan pluralisme berkedok toleransi, semoga!
¹) Demikian tertulis apa adanya. Adapun semestinya kita perlu menghindari singkatan dan berusaha menuliskan sholawat lengkap bagi nabi kita; shollallahu ‘alaihi wasallam.
Penulis: Abu Abdirrohman Sofian