Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Beda Ahlussunnah dari Kerasnya Ahli Bid’ah dalam Memandang Perseteruan

Saudaraku muslimin yang dirahmati Allah, ada banyak perbedaan antara muslim yang komitmen dalam bimbingan Islam dengan yang memperturutkan hawa nafsunya. Termasuk ketika terjadi perseteruan yang menyebabkan perselisihan pendapat serta sikap.

Sebagaimana karakteristiknya, ahlussunnah senantiasa berusaha adil, tidak keterlaluan dalam membenci dan menjauhi lawan seterunya. Begitu pula yang menjadi misinya adalah perbaikan muslimin, termasuk lawan seterunya, serta kebaikan bagi Islam dan muslimin.

Sehingga apabila saudaranya sesama muslim salah dalam berpendapat, berucap ataupun bertindak, vonis dari ahlussunnah terukur secara hikmah.

Kalangan yang memang telah dinilai oleh para ulama sebagai orang menyimpang, dengan upaya nasehat maksimal yang beliau-beliau lakukan, kita tidak boleh merasa risih atau berat menjauhinya.

Namun yang masih dinilai oleh ulama sebagai sesama ahlussunnah, perlu diupayakan tahapan hikmah, juga dengan bimbingan ulama, dalam menilai dan menyikapinya

Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya,

يَقُولُ تَعَالَى آمرا بالإصلاح بين المسلمين الْبَاغِينَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ: (وَإِنْ طائِفَتانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُما) فَسَمَّاهُمْ مُؤْمِنِينَ مَعَ الِاقْتِتَالِ، وَبِهَذَا اسْتَدَلَّ الْبُخَارِيُّ وَغَيْرُهُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَخْرُجُ مِنَ الْإِيمَانِ بِالْمَعْصِيَةِ وَإِنْ عَظُمَتْ، لَا كَمَا يَقُولُهُ الْخَوَارِجُ وَمَنْ تَابَعَهُمْ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ وَنَحْوِهِمْ

“Allah Ta’ala telah berfirman memerintahkan upaya mendamaikan sesama muslim yang berseteru, yang bisa jadi sebagian mereka terlanjur melampaui batas dalam menyikapi sebagian lainnya,

وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

‘Dan apabila ada dua kelompok dari mereka yang beriman itu bertikai hendaklah engkau mendamaikan antara keduanya!’ (QS Al Hujurat: 9)

Allah tetap menyebut mereka sebagai orang-orang beriman walaupun terjadi perseteruan.

Berdasarkan hal ini, Imam Al Bukhori dan ulama lainnya berdalil bahwa kemaksiatan tidak (langsung) mengeluarkan pelakunya dari ranah keimanan betapapun besarnya. Tidak seperti yang diserukan kaum Khawarij dan yang setuju dengan mereka dari kalangan Mu’tazilah dan selainnya.”

Penafsiran di atas dikutipkan Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafidzahullah dalam Manzilah Ishlah Dzat Al Baini fi Al Islam.


Artikel yang semoga bermanfaat: Seteru Dalam Menapaki Kebenaran, Sebuah Kepastian


Tidak setiap kesalahan selalu berujung dosa dan celaka

Tidak ada manusia yang maksum lepas dari kesalahan dan alpa. Dan dengan luasnya Rahmat Allah, Dia mengajarkan kepada kita semuanya doa,

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنتَ مَوْلَانَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS Al Baqarah: 286)

Al Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,

كما أرشدهم وعلمهم أن يقولوا : رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أي : إن تركنا فرضا على جهة النسيان، أو فعلنا حراما كذلك، أَوْ أَخْطَأْنَا أي : الصواب في العمل، جهلا منا بوجهه الشرعي والنسيان وما استكرهوا عليه

“Sebagaimana Dia telah membimbing dan mengajari mereka agar mereka mengucapkan:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا

‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa.’

Yaitu: jika kami meninggalkan suatu kewajiban karena lupa, ataupun ketika kami melakukan hal yang diharamkan (dalam kondisi lupa) seperti itu juga.

أَوْ أَخْطَأْنَا

‘… atau kami menyalahi.’

Yaitu: amal yang benar, akibat ketidaktahuan kami terhadap tinjauan syariat, ataupun lupa, maupun kala kami dipaksa.” (Tafsir Al Quran Al Adzim 1/737)

Ayat di atas bersifat umum, baik kesalahan praktek ibadah hingga urusan keyakinan. Maka dalam urusan manhaj sekalipun, terhadap sosok muslim yang tersalah perlu diluruskan dan diupayakan diskusi ilmiah penyampaian hujjah terlebih dulu. Karena hal itu menjadi syarat penilaian manhaj seseorang. Betapa banyak tokoh yang sebenarnya niatannya baik dan tulus, hanya saja ada sekian sebab (yang ditolerir para ulama) yang melatari kesalahan (manusiawi) dia dalam memahami manhaj yang benar. Karena tidak semua hal yang dikehendaki manusia bisa diwujudkannya. Allah sajalah Yang menunjuki hamba-Nya, Dia pulalah Yang dapat menyesatkan orang yang sesat.


Artikel lainnya: Saling Membantu Dalam Dosa dan Permusuhan Hanya Melahirkan Persatuan Semu


Imam Al Bukhori menulis satu bab khusus di kitab Al Adab dalam Shahih Al Bukhori,

بَابُ مَنْ لَمْ يَرَ إِكْفَارَ مَنْ قَالَ ذَلِكَ مُتَأَوِّلًا أَوْ جَاهِلًا. وَقَالَ عُمَرُ لِحَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ: إِنَّهُ مُنَافِقٌ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَمَا يُدْرِيكَ، لَعَلَّ اللَّهَ قَدِ اطَّلَعَ إِلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ: قَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ

Bab pihak yang tidak memandang kafirnya orang yang mengucapkan (ucapan kufur) itu akibat salah paham atau karena tidak tahu.

Dan pernyataan Umar kepada Hathib bin Abi Balta’ah, ‘Sesungguhnya dia munafiq!’, sehingga Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Tidakkah engkau tahu, bahwa Allah telah memperhatikan para sahabat yang mengikuti perang Badr, kemudian Dia berfirman: ‘Aku telah mengampuni kalian’.” (Shahih Al Bukhori)

Apalagi dalam masalah amal ibadah. Sahabat Sa’id bin Zaid berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

لَا وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

“Tidak sah wudhu’ seseorang yang belum menyebut Nama Allah padanya.” (HR At Tirmidzi dengan sanad hasan)

Kemudian Imam At Tirmidzi rahimahullah menambahkan catatan beliau,

“Dalam bab ini, (terdapat riwayat) dari Aisyah, Abu Sa’id, Abu Hurairah, Sahl bin Sa’d dan Anas. Sementara Imam Ahmad bin Hanbal telah menyatakan:

لَا أَعْلَمُ فِي هَذَا الْبَابِ حَدِيثًا لَهُ إِسْنَادٌ جَيِّدٌ

‘Aku tidak mengetahui adanya satu haditspun yang bersanad baik.’

Sedangkan Ishaq (bin Rahawaih) berkata:

إِنْ تَرَكَ التَّسْمِيَةَ عَامِدًا أَعَادَ الْوُضُوءَ، وَإِنْ كَانَ نَاسِيًا أَوْ مُتَأَوِّلًا أَجْزَأَهُ.

‘Jika dia tidak membaca basmalah secara sengaja, hendaklah dia mengulangi kembali wudhu’nya. Namun jika dia memang lupa, atau salah memahami, diperbolehkan baginya’.” (selesai penukilan)


Artikel yang semoga bermanfaat: Keadilan Dalam Kritikan (Bagian 3)


Pertobatan mukmin yang bersalah berbeda dari ahlul ahwa’

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan dengan gamblang,

ﻓﺈﻥ ﻛﺜﻴﺮا ﻣﻦ اﻟﻨﺎﺱ ﺇﺫا ﺫﻛﺮﺕ اﻟﺘﻮﺑﺔ ﻭاﻻﺳﺘﻐﻔﺎﺭ ﻳﺴﺘﺸﻌﺮ ﻗﺒﺎﺋﺢ ﻗﺪ ﻓﻌﻠﻬﺎ ﻓﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﻌﻠﻢ اﻟﻌﺎﻡ ﺃﻧﻬﺎ ﻗﺒﻴﺤﺔ: ﻛﺎﻟﻔﺎﺣﺸﺔ ﻭاﻟﻈﻠﻢ اﻟﻈﺎﻫﺮ. ﻓﺄﻣﺎ ﻣﺎ ﻗﺪ ﻳﺘﺨﺬ ﺩﻳﻨﺎ ﻓﻼ ﻳﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﺫﻧﺐ ﺇﻻ ﻣﻦ ﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﺑﺎﻃﻞ. ﻛﺪﻳﻦ اﻟﻤﺸﺮﻛﻴﻦ ﻭﺃﻫﻞ اﻟﻜﺘﺎﺏ اﻟﻤﺒﺪﻝ ﻓﺈﻧﻪ ﻣﻤﺎ ﺗﺠﺐ اﻟﺘﻮﺑﺔ ﻭاﻻﺳﺘﻐﻔﺎﺭ ﻣﻨﻪ ﻭﺃﻫﻠﻪ ﻳﺤﺴﺒﻮﻥ ﺃﻧﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﻫﺪﻯ. ﻭﻛﺬﻟﻚ اﻟﺒﺪﻉ ﻛﻠﻬﺎ. ﻭﻟﻬﺬا ﻗﺎﻝ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﻣﻦ اﻟﺴﻠﻒ – ﻣﻨﻬﻢ اﻟﺜﻮﺭﻱ -: اﻟﺒﺪﻋﺔ ﺃﺣﺐ ﺇﻟﻰ ﺇﺑﻠﻴﺲ ﻣﻦ اﻟﻤﻌﺼﻴﺔ ﻷﻥ اﻟﻤﻌﺼﻴﺔ ﻳﺘﺎﺏ ﻣﻨﻬﺎ ﻭاﻟﺒﺪﻋﺔ ﻻ ﻳﺘﺎﺏ ﻣﻨﻬﺎ. ﻭﻫﺬا ﻣﻌﻨﻰ ﻣﺎ ﺭﻭﻱ ﻋﻦ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﺃﻧﻬﻢ ﻗﺎﻟﻮا: ﺇﻥ اﻟﻠﻪ ﺣﺠﺮ اﻟﺘﻮﺑﺔ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺻﺎﺣﺐ ﺑﺪﻋﺔ ﺑﻤﻌﻨﻰ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺘﻮﺏ ﻣﻨﻬﺎ؛ ﻷﻧﻪ ﻳﺤﺴﺐ ﺃﻧﻪ ﻋﻠﻰ ﻫﺪﻯ ﻭﻟﻮ ﺗﺎﺏ ﻟﺘﺎﺏ ﻋﻠﻴﻪ ﻛﻤﺎ ﻳﺘﻮﺏ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﺎﻓﺮ.

“(Karena) sesungguhnya banyak orang yang apabila disebutkan tobat dan istighfar dia merasakan keburukan perbuatan yang telah dia lakukan. Sehingga dia mengerti secara umum bahwa itu buruk. Seperti perbuatan tidak senonoh maupun kezhaliman yang nyata.

Adapun sesuatu yang terlanjur menjadi keyakinan, tidak akan dipahami bahwa hal itu merupakan dosa. Kecuali bagi orang yang memahami bahwa hal itu sebenarnya batil. Seperti agama orang-orang musyrik dan ahli kitab yang telah diubah. Betapapun hal itu termasuk perkara yang wajib bertobat dan istighfar darinya, nyatanya pemeluknya mengira bahwa mereka sesuai dengan petunjuk. Begitu juga seluruh kebidahan.

Oleh karenanya beberapa ulama salaf – di antaranya (Sufyan) At Tsauri – berkata:

اﻟﺒﺪﻋﺔ ﺃﺣﺐ ﺇﻟﻰ ﺇﺑﻠﻴﺲ ﻣﻦ اﻟﻤﻌﺼﻴﺔ ﻷﻥ اﻟﻤﻌﺼﻴﺔ ﻳﺘﺎﺏ ﻣﻨﻬﺎ ﻭاﻟﺒﺪﻋﺔ ﻻ ﻳﺘﺎﺏ ﻣﻨﻬﺎ

‘Kebid’ahan itu lebih disukai Iblis daripada kemaksiatan. Karena pelaku maksiat (lebih mudah) diharapkan pertobatannya, sedangkan pengusung kebid’ahan tidak (mudah) diharapkan tobatnya.’

Dan inilah makna ucapan yang diriwayatkan dari beberapa ulama, bahwa mereka mengatakan:

‘Sesungguhnya Allah menghalangi tobat bagi setiap pengusung kebid’ahan.’ Artinya bahwa dia tidak akan bertobat dari kebid’ahannya. Sebab dia mengira bahwa dirinya mendapat petunjuk. Namun sekiranya dia ternyata bertobat, niscaya Allah akan menerima tobatnya, sebagaimana diterimanya pertobatan orang kafir (dengan masuk Islam-pen).” Selesai kutipan.

(Majmu’ Al Fatawa 11/684)

Syaikh Robi’ bin Hadi Al Madkhali hafidzahullah menegaskan sikap adil ahlussunnah tersebut. Beliau menyatakan,

من وقع في بدعة

Barang siapa yang terjerumus dalam kebid’ahan;

إن كانت ظاهرة واضحة كالقول بخلق القرآن، أو دعاء غير الله أو الذبح لغير الله أو شيء من هذه الأمور الواضحة فهذا يبدّع بالبدعة الواحدة

Apabila kebid’ahannya (kategori yang) jelas dan tidak samar, seperti ucapan bahwa Al Quran makhluk, atau berdoa kepada selain Allah, maupun menyembelih untuk selain Allah, atau sebagian di antara hal-hal yang gamblang tersebut, maka orang tersebut (bisa) divonis sebagai pelaku bid’ah dengan satu kebid’ahan saja.

وإذا كانت البدعة من الأمور الخفية، ووقع فيها من يتحرى الحق خطأ منه فهذا لا يبدّع ابتداء، وإنما ينصح ويبين له خطؤه وإذا أصر عليها يبدّع حينئذ

Sementara jika kebid’ahannya termasuk kategori perkara yang samar, sedangkan orang yang tergelincir melakukannya merupakan sosok yang sebenarnya berusaha mencari kebenaran, sayangnya dia salah dalam usahanya itu. Maka tipe orang seperti ini tidaklah divonis sebagai pelaku bid’ah pada tahap awalnya. Hanya saja dia perlu dinasehati serta diberi penjelasan sisi kesalahannya. Baru apabila dia tetap bersikukuh dengan kesalahannya, dia divonis sebagai pelaku bid’ah pada tahap itu.

يقول ابن تيمية رحمه الله: كثير من علماء السلف والخلف وقعوا في بدع من حيث لا يشعرون، إما استندوا إلى حديث ضعيف أو أنهم فهموا من النصوص غير مراد الله -تبارك وتعالى- أو أنهم اجتهدوا، فإذا عُرف من عالم فاضل يحارب البدع ويدعو إلى السنة وعرفوا صدقه وإخلاصه وتحذيره من البدع فوقع بسبب من الأسباب في شيء من البدع الخفية فلا نسارع إلى تبديعه، هذا هو القول الصحيح، وإلا لو حكمنا على كل من وقع في بدعة أنه مبتدع لما سلم أحد من أئمة الإسلام فضلا عن غيرهم.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah berkata:

‘Banyak dari kalangan ulama salaf serta generasi terakhir ini yang tergelincir dalam kebid’ahan tanpa mereka sadari. Bisa jadi karena mereka:

  • merujuk kepada hadits yang lemah, atau karena mereka
  • memahami nash-nash tidak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Allah Tabaroka wa Ta’ala, atau karena mereka
  • berupaya berijtihad.

Sehingga apabila diketahui dari seorang berilmu yang memeiliki keutamaan, (biasanya dikenal) memerangi kebid’ahan, mendakwahkan sunnah, dikenali kejujuran serta keikhlasannya dan perjuangannya menentang kebid’ahan, ternyata dia tergelincir dalam kebid’ahan karena suatu sebab pada jenis kebid’ahan yang samar; janganlah kita bersegera menvonis dia sebagai pengusung kebid’ahan.’

Demikian inilah pendapat yang benar.

Jika tidak begitu, apabila kita menvonis setiap orang yang tergelincir dalam kebid’ahan bahwa dia adalah mubtadi’, niscaya tidak akan ada seorangpun yang selamat kalangan para imam Islam, apalagi yang selain mereka.”

(Rekaman audio berjudul “Liqo’ ma’a Asy Syaikh fi Masjid Al Khair. Sumber: https://rabee.net/alfatawi/هل-كل-من-وقع-في-بدعة-مبتدع؟/)

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم


Penulis: Abu Abdirrohman Sofian

Tinggalkan Balasan