Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Apa yang Dimaksud dengan I’tikaf?

I’tikaf adalah berdiam diri di masjid untuk memfokuskan diri dalam beribadah kepada Allah. Seseorang yang beri’tikaf memperbanyak membaca al-Quran, dzikir, istighfar, sholawat, sholat sunnah, doa, dan berbagai amal ketaatan kepada Allah.

Apakah Hikmah Disyariatkannya I’tikaf?

Dijelaskan oleh para Ulama bahwa I’tikaf adalah sarana untuk memfokuskan diri ibadah kepada Allah, menjauh dari keramaian, mengurangi makan, minum, tidur, berbicara, yang bisa menyebabkan kekerasan hati. I’tikaf adalah khulwah (menyendiri bersama Allah) yang syar’i. Pada saat I’tikaf kesempatan besar bagi seseorang untuk bermunajat secara maksimal dengan Allah. Kesempatan lebih besar bagi mereka untuk lebih mudah mentadabburi bacaan ayat-ayat al-Qurannya. Introspeksi diri, merendahkan diri di hadapan Allah, bertaubat atas dosa-dosa yang pernah dilakukan.

Karena itu i’tikaf yang baik adalah jika tiap orang memiliki ruangan kecil (bersekat) tersendiri. Masing-masing tidak mengganggu yang lain. Sebagaimana di masa Nabi dibuatkan tenda-tenda kecil dalam masjid.

I’tikaf dilakukan di masjid. Tempat terbaik yang paling dicintai Allah. Rumah Allah. Tempat yang disucikan dari segala hal yang mengotorinya.

Berapa Lama Minimal Masa I’tikaf?

Tidak ada ketentuan khusus berapa lama minimal masa i’tikaf. Umar bin al-Khottob pernah bernadzar di masa Jahiliyyah untuk melakukan i’tikaf semalam di Masjidil Haram. Nabi pun menyuruh Umar untuk menunaikan nadzarnya tersebut (H.R alBukhari no 1902). Itu menunjukkan bahwa boleh untuk melakukan i’tikaf semalam saja.

Apakah boleh jika masa i’tikaf kurang dari itu? Terdapat ucapan sebagian Sahabat Nabi yang menunjukkan bahwa i’tikaf bisa dilakukan dalam beberapa saat saja.

Sahabat Nabi Ya’la bin Umayyah menyatakan:

إِنِّي لَأَمْكُثُ فِي الْمَسْجِدِ السَّاعَةَ، وَمَا أَمْكُثُ إِلَّا لِاَعْتَكِفَ

Sungguh saya akan berdiam di masjid (beberapa) saat, dan tidaklah aku berdiam kecuali untuk i’tikaf
(riwayat Abdurrozzaq)


Baca Juga: Batas Minimal Masa Menunaikan I’tikaf


Apakah dalam I’tikaf Harus Berpuasa?

Tidak dipersyaratkan harus berpuasa ketika I’tikaf. Dalilnya adalah:

  1. Nabi menyuruh Umar untuk menunaikan nadzarnya puasa semalam di Masjidil Haram (H.R alBukhari no 1902). Sedangkan waktu malam bukanlah waktu untuk berpuasa.
  2. Nabi pernah I’tikaf di bulan Syawwal (H.R alBukhari 1802). Sedangkan Syawwal tidaklah harus berpuasa.

Di Manakah Tempat I’tikaf?

I’tikaf harus dilakukan di masjid yang ditegakkan sholat berjamaah (Fataawa al-Lajnah ad-Daimah (10/410)). Tidaklah disebut I’tikaf yang syar’i jika dilakukan di selain masjid, misalkan di musholla rumah, musholla sekolah/ kantor dan sebagainya.

I’tikaf juga tidak khusus untuk 3 masjid saja (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha). Namun, tentu saja i’tikaf di ketiga masjid itu lebih utama dibandingkan I’tikaf di masjid lain (Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin).

Kapan Pelaksanaan I’tikaf?

Nabi shollallahu alaihi wasallam melakukan I’tikaf di bulan Ramadhan. Dulu beliau pernah melakukan I’tikaf di awal Ramadhan. Pernah juga di pertengahan Ramadhan. Namun, setelah datang petunjuk dari Allah tentang Lailatul Qodr, maka beliau mengkhususkan I’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan.

Nabi tidak pernah I’tikaf secara khusus di bulan lain seperti Rajab, Sya’ban, Muharram atau bulan lainnya. Beliau hanya pernah I’tikaf di bulan Syawwal sebagai bulan selain Ramadhan. Itupun sebagai pengganti I’tikaf di bulan Ramadhan yang tidak sempat beliau lakukan dan hanya terjadi sekali.

إِنِّي اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الْأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِي إِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ

Sesungguhnya aku beri’tikaf pada 10 hari pertama (Ramadhan) mencari malam ini (Lailatul Qodr). Kemudian aku beri’tikaf di 10 hari pertengahan (Ramadhan). Kemudian aku diberitahu dan disampaikan kepadaku bahwa ia (Lailatul Qodr) berada di 10 hari terakhir. Barangsiapa yang suka untuk beri’tikaf silakan beri’tikaf
(H.R Muslim no 1994)

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Dari Aisyah radhiyallahu anha istri Nabi shollallahu alaihi wasallam bahwasanya Nabi shollallahu alaihi wasallam beri’tikaf di 10 hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkannya, kemudian setelah itu para istri beliau beri’tikaf (juga di 10 hari terakhir Ramadhan)
(H.R al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah)

وَتَرَكَ الِاعْتِكَافَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى اعْتَكَفَ فِي الْعَشْرِ الْأَوَّلِ مِنْ شَوَّالٍ

dan beliau meninggalkan I’tikaf di bulan Ramadhan sehingga beri’tikaf di 10 hari awal di bulan Syawwal
(H.R Muslim dari Aisyah no 2007)

Bolehkah Bagi Wanita untuk Beri’tikaf?

Ya, boleh bagi wanita untuk beri’tikaf. Jika memang terhindar dari fitnah dan mendapat izin dari suami jika telah bersuami atau mendapat izin dari walinya untuk keluar rumah beri’tikaf. Sebagaimana istri-istri Nabi juga pernah beri’tikaf:

ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

kemudian setelah itu para istri beliau beri’tikaf
(H.R al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah)

Namun, jika seorang wanita haid, ia tidak boleh beri’tikaf di masjid.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كُنَّ الْمُعْتَكِفَاتُ إذَا حِضْنَ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِإِخْرَاجِهِنَّ عَنْ الْمَسْجِدِ

Dari Aisyah -radhiyallahu anha- beliau berkata: Kami para wanita yang beri’tikaf jika haid Rasulullah shollallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk mengeluarkannya dari masjid
(H.R Ibnu Batthoh, dinukil Ibnu Muflih dalam al-Furu’ dan dinyatakan bahwa sanadnya jayyid (baik))

Benarkah Sikap Sebagian Orang yang Meninggalkan Kewajiban untuk Beri’tikaf?

Tidak boleh bagi seseorang meninggalkan kewajiban dengan alasan beri’tikaf. Karena i’tikaf hukumnya nafilah (sunnah). Tidak boleh ia meninggalkan kewajiban untuk mengejar yang nafilah.

Jika seseorang memiliki tanggungan pekerjaan yang tidak bisa diwakilkan yang terkait dengan kebutuhan banyak kaum muslimin, janganlah ia meninggalkan hal itu dengan alasan akan melakukan i’tikaf.

Bolehkah Seorang yang I’tikaf Tidur?

Ya. Tidak mengapa seseorang yang i’tikaf tidur di masjid. Tidak mungkin seseorang bisa beribadah dengan baik tanpa istirahat yang cukup. Tidak mungkin seseorang mencontoh Nabi dalam beri’tikaf selama 10 hari, bahkan beliau pernah i’tikaf 20 hari, tanpa tidur sama sekali.

Nabi juga memerintahkan bagi orang yang mengantuk ketika sholat untuk tidur terlebih dahulu. Janganlah ia sholat dan berdoa dalam keadaan mengantuk, karena bisa saja tanpa sadar ia bermaksud berdoa namun justru mencela diri sendiri. Bisa saja ia bermaksud memohon ampunan namun keliru memohon adzab karena rasa kantuk yang sangat.

إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعِسٌ لَا يَدْرِي لَعَلَّهُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ

Jika salah seorang dari kalian mengantuk ketika sholat, hendaknya ia tidur (dulu) hingga hilanglah perasaan kantuknya. Karena jika ia sholat dalam keadaan mengantuk, ia tidak tahu mungkin saja ia memohon ampunan namun ternyata ia mencela dirinya sendiri
(H.R al-Bukhari no 205 dan Muslim no 1309)

Seseorang di 10 hari terakhir Ramadhan hendaknya mampu memanajemen waktunya dengan baik. Bagi yang beri’tikaf, ia lebih banyak tidur di siang hari, agar malam harinya ia penuhi aktifitas dengan ibadah dalam mencari Lailatul Qodr.

Bolehkah Masa I’tikaf Diisi dengan Kajian Ilmu, Membaca, dan Menulis Ilmu Syar’i?

Ya, boleh.

Al-Imam an Nawawi rahimahullah menyatakan: 

asy-Syafi’i dan para Sahabatnya berkata: yang lebih utama bagi orang yang I’tikaf menyibukkan diri dengan ketaatan seperti sholat, tasbih, dzikir, membaca atau menyibukkan dengan ilmu, baik belajar atau mengajar, menelaah, menulis (ilmu), dan semisalnya. Tidak dibenci sama sekali. Tidak juga dikatakan bahwa hal itu menyelisihi sesuatu yang lebih utama. Ini adalah madzhab kami dan pendapat dari sekelompok (Ulama) di antaranya Atha’, al-Auzai, dan Said bin Abdil Aziz.

(al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab karya anNawawi (6/528))

Apakah Lailatul Qodr Hanya Didapatkan oleh Orang yang I’tikaf Saja?

Lailatul Qodr tidak hanya bisa didapatkan oleh orang yang I’tikaf saja, namun bisa didapatkan oleh siapa saja yang menghidupkan malam itu dengan ibadah dan ketaatan kepada Allah. Baik ia berada di masjid, di rumahnya, atau di tempat manapun.

Barangsiapa yang sholat malam tepat pada Lailatul Qodr dengan iman dan ikhlas, akan diampuni dosanya yang telah lalu (H.R al-Bukhari no 1768).

Apa Adab-adab I’tikaf?

Beberapa adab-adab I’tikaf di antaranya:

  1. Menyibukkan diri dengan ibadah kepada Allah.
  2. Tidak melakukan perbuatan yang sia-sia.
  3. Tidak banyak tidur. Tidur hanya sesuai kebutuhan.
  4. Menjaga kebersihan dan kesucian masjid.
  5. Tidak mengganggu saudara lain yang I’tikaf di masjid tersebut.
  6. Menjaga adab-adab masjid yang lain, seperti larangan jual beli dalam masjid, dan semisalnya.
  7. Menjaga adab-adab seorang muslim secara umum, demikian juga adab terhadap tetangga masjid.

 

Dikutip dari:
Buku “Ramadhan Bertabur Berkah”, Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan