Mensyukuri 6 Karunia Allah Bagi Mukminin
Tadabbur ayat ke-164 surah Ali Imran
Allah Rab semesta alam Yang Maha Memberikan karunia, salah satu Asma-Nya adalah Al Mannan (المَنَّان), artinya Yang Maha Memberi banyak karunia tanpa bisa dihitung dan dibalas setara kebaikan-Nya. Begitu banyak karunia diberikan Al Mannan kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Berbahagialah orang-orang beriman yang dipilih oleh Allah Ta’ala bahwa mereka mendapatkan karunia yang utama. Diantara yang paling utama terdapat 6 karunia Allah hanya bagi hamba-hamba-Nya yang beriman. Dia Azza wa Jalla berfirman:
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
(QS. Ali Imron: 164)
Pada ayat di atas disebutkan sekian karunia Allah kepada mukminin, berupa:
1. Rasul yang diutus dari kalangan sesama manusia sendiri secara umum, maupun bangsa Arab secara nasab (disarikan dari Tafsir Al Baghowi).
Mereka dapat menerima ilmu yang disampaikan dengan bahasa keseharian mereka sendiri. Sehingga dengan mudah generasi asal muslimin menerima bimbingan beliau tanpa perlu perangkat ilmu tambahan. Demikianlah seiring berjalannya waktu, semakin jauh suatu generasi dari masa Nabi shollallahu alaihi wasallam, konsekwensinya, walaupun wilayah negeri muslimin berkembang, namun interaksi dengan non muslim menguat dan semangat beragama menurun, serta berbagai ujian kemunduran umat dialami. Sehingga mau tidak mau semakin lama, semakin diperlukan penguasaan sekian banyak perangkat pengetahuan tambahan agar ilmu dan petunjuk Nabi shollallahu alaihi wasallam tetap terjaga sebagai salah satu karunia terpenting.
Al Allamah Abdurrahman bin Ahmad bin Rojab yang lebih dikenal dengan ibnu Rojab Al Hanbali rahimahullah menegaskan bahwa inilah nikmat terbesar bagi mukminin, beliau berkata:
ﻭﺃﻣﺎ اﻟﻨﻌﻤﺔ ﺑﺈﺭﺳﺎﻝ ﻣﺤﻤﺪ – ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ -، ﻓﺈﻥ ﺑﻬﺎ ﺗﻤﺖ ﻣﺼﺎﻟﺢ اﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭاﻵﺧﺮﺓ، ﻭﻛﻤﻞ ﺑﺴﺒﺒﻬﺎ ﺩﻳﻦ اﻟﻠﻪ اﻟﺬﻱ ﺭﺿﻴﻪ ﻟﻌﺒﺎﺩﻩ، ﻭﻛﺎﻥ ﻗﺒﻮﻟﻪ ﺳﺒﺐ ﺳﻌﺎﺩﺗﻬﻢ ﻓﻲ ﺩﻧﻴﺎﻫﻢ ﻭﺁﺧﺮﺗﻬﻢ، ﻓﺼﻴﺎﻡ ﻳﻮﻡ ﺗﺠﺪﺩﺕ ﻓﻴﻪ ﻫﺬﻩ اﻟﻨﻌﻢ ﻣﻦ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻋﺒﺎﺩﻩ المؤمنين ﺣﺴﻦ ﺟﻤﻴﻞ، ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﺑﺎﺏ ﻣﻘﺎﺑﻠﺔ اﻟﻨﻌﻢ ﻓﻲ ﺃﻭﻗﺎﺕ ﺗﺠﺪﺩﻫﺎ ﺑﺎﻟﺸﻜﺮ
“Adapun nikmat diutusnya Muhammad shollallahu alaihi wasallam, sesungguhnya dengan hal itu menjadi terpenuhilah berbagai kebaikan dunia dan akhirat. Begitu pula menjadi sempurna agama Allah yang telah Dia ridhoi bagi para hamba-Nya dengan sebab hal tersebut. Sedangkan menerima hal itu menjadi sebab kebahagiaan dalam urusan dunia maupun akhirat mereka. Melakukan puasa sehari, dapat memperbarui nikmat-nikmat ini dari Allah bagi hamba-hamba Allah yang beriman dengan baik lagi menyenangkan. Dan hal itu masuk dalam upaya membalas nikmat-nikmat yang diperoleh dalam sekian waktu dengan mensyukurinya.”
(Rowa-i’ at Tafsir hal. 223)
2. Pembacaan ayat-ayat Allah.
Terkait kata يَتْلُو Al Qurthubi rahimahullah menyebutkan:
ومعناه يقرأ. والتلاوة القراءة
“Maknanya membacakan. Sedangkan tilawah berarti membaca.” (Tafsir Al Qurthubi 4/264).
Materi bacaannya adalah ayat Allah, yang menurut Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah termasuk ayat kauniyyah (tanda-tanda fisik kekuasaan Allah-pen). Tentunya selain itu juga diperlukan membaca ayat syar’iyyah (pembahasan hukum dan adab syariat).
Keyakinan yang lurus terkait ayat kauniyyah silakan dibaca di: https://itishom.org/blog/artikel/aqidah/meluruskan-pemahaman-terkait-sebab-kauni-fisik/
Di awal diutusnya Nabi shollallahu alaihi wasallam nash Al Quran dan hadits merekam fakta bahwa masyarakat di sekitar beliau tidak berbudaya baca-tulis. Sehingga muncul istilah “ummat ummiyyah” menandainya. Walaupun di satu sisi itu membuktikan kemurnian ajaran Islam dari Allah semata, namun bukan berarti terus dalam kondisi seperti itu diridhoi-Nya.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menyatakan:
وليس وصف الأمة بالأمية المقصود منه ترغيبهم في البقاء عليها، وإنما المقصود الإخبار عن واقعهم وحالهم حين بعث الله إليهم محمدًا ﷺ، وقد دل الكتاب والسنة على الترغيب في التعلم والكتابة والخروج من وصف الأمية
“Dan bukanlah penyebutan keadaan ummat dengan sebutan ‘ummiyyah’ dimaksudkan agar mereka tetap dalam keadaan itu. Namun tujuannya hanya sekadar informasi tentang kenyataan dan keadaan mereka di kala diutusnya Muhammad ﷺ kepada mereka. Dan Al Kitab begitu pula sunnah Nabi telah jelas memberikan petunjuk untuk belajar dan menulis serta berusaha lepas dari kondisi ummiyyah tersebut.”
(Majmu’ Fatawa wa Maqolat 4/142)
3. Menyucikan jiwa mereka
Al Hafidz ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya:
أي : يأمرهم بالمعروف وينهاهم عن المنكر لتزكو نفوسهم وتطهر من الدنس والخبث الذي كانوا متلبسين به في حال شركهم وجاهليتهم
“Yaitu (dengan beliau alaihishsholatu wassalam) mengajak mereka berbuat baik, mencegah kemungkaran, agar jiwa-jiwa mereka menjadi suci dan bersih dari noda dan kotoran yang dulunya mereka berlumuran dengan itu saat mereka masih syirik dan ketika di masa jahiliyyah.”
4. Pengajaran Al Kitab
Ada 2 makna yang keduanya bisa dimaksudkan pada kandungan ayat ini, yaitu;
a. Al Kitab berupa Al Quran itu sendiri
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:
فالقرآن كتاب الله، وهو أعظم كتاب وأصدق كتاب، فيشرع لأهل الإيمان العناية به وعدم الغفلة والإعراض
“Al Quran adalah Kitab Allah, yang merupakan kitab paling Agung dan paling Benar. Sehingga disyariatkan bagi orang beriman untuk benar-benar memperhatikannya tanpa melalaikan apalagi berpaling darinya.”
(Ta’liq ‘ala Riyadh Ash Sholihin Bab Istihbab Ijtima’ ‘ala Al Qiro’ah)
Bagaimana keyakinan muslim terkait Al Quran seharusnya, silakan baca di: https://itishom.org/blog/artikel/aqidah/akidah-salaf-tentang-alquranul-karim/
ataupun
b. Tulisan dan yang dituliskan (Kitab).
Terkumpulnya 2 ilmu dan pengetahuan tentang Al Quran dan cara menuliskan ilmu-ilmu, dikatakan oleh Syaikh As Sa’di rahimahullah:
فيكون قد امتن عليهم، بتعليم الكتاب والكتابة، التي بها تدرك العلوم وتحفظ
“Dengan (2 hal tersebut) Allah telah melimpahkan karunia kepada mereka, dengan mempelajari Al Quran dan penulisan yang dengan kedua perkara ini akan teraih dan terjagalah berbagai ilmu.”
(Taisir Al Karim Ar Rahman 1/155)
Kandungan makna yang kedua ini juga sesuai dengan hasungan dalam hadits Anas bin Malik dan Abdullah bin Amr radhiyallahu anhum,
ﻗَﻴِّﺪُﻭا اﻟﻌِﻠْﻢَ ﺑِﺎﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ
“Ikatlah ilmu dengan tulisan”
(Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shohihah no. 2026)
5. Pengajaran Al Hikmah
Syaikh As Sa’di rahimahullah melanjutkan:
والحكمة هي: السنة، التي هي شقيقة القرآن، أو وضع الأشياء مواضعها، ومعرفة أسرار الشريعة. فجمع لهم بين تعليم الأحكام، وما به تنفذ الأحكام، وما به تدرك فوائدها وثمراتها، ففاقوا بهذه الأمور العظيمة جميع المخلوقين، وكانوا من العلماء الربانيين
“((dan Hikmah)) yaitu (bisa bermakna) Sunnah Nabi, yang merupakan pendamping Al Quran.
Atau (bermakna sikap) meletakkan berbagai perkara pada tempat-tempatnya (yang sesuai), dan pemahaman tentang rincian-rincian syariat. Sehingga Allah menggabungkan bagi mereka terkumpulnya (karunia) pengajaran hukum-hukum syariat, penerapan hukumnya, dengan pengajaran yang dapat dengannya dipahami berbagai manfaat dan hasilnya. Hingga mereka melampaui segenap makhluk, dan tergolongkanlah mereka sebagai kalangan ulama rabbani.”
(Taisir Al Karim Ar Rahman 1/155)
Tidak setiap insan bisa berucap dan bertindak hikmah. Seorang muslim yang bersikap hikmah, dia memperoleh bagian karunia kebaikan yang banyak.
Allah berfirman:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”
(QS. Al Baqoroh: 269)
6. Terbebasnya dari kesesatan di masa lalu.
Inilah salah satu di antara 3 perkara yang siapa saja seorang muslim mendapatinya dia akan merasakan kelezatan iman. Sebagaimana petikan hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu. Bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam menyebutkan 3 hal, salah satunya;
وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Dan dia tidak sudi kembali dalam kekufuran setelah Allah selamatkan dia darinya, seperti dia tidak bersedia dilontarkan ke dalam api.”
(HR. Muslim)
Diraihnya hidayah dan taufiq dari Allah setelah dulu sebelum itu seseorang tersesat dalam kebodohan dan hawa nafsu merupakan karunia Allah yang besar sehingga benar-benar patut dijaga.
Jangan sampai aqidah suci yang telah kita yakini terlepas, jangan pula manhaj lurus yang telah dijalani kita tinggalkan.
Saat sahabat mulia Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu terbaring sakit, Abu Mas’ud menjenguk beliau seraya meminta wasiat. Ternyata wasiat untuk menjaga keyakinan yang beliau sampaikan, beliau radhiyallahu anhu berkata:
ﻓﺎﻋﻠﻢ ﺃﻥ اﻟﻀﻼﻟﺔ ﺣﻖ اﻟﻀﻼﻟﺔ ﺃﻥ ﺗﻌﺮﻑ ﻣﺎ ﻛﻨﺖ ﺗﻨﻜﺮ، ﻭﺃﻥ ﺗﻨﻜﺮ ﻣﺎ ﻛﻨﺖ ﺗﻌﺮﻑ، ﻭﺇﻳﺎﻙ ﻭاﻟﺘﻠﻮﻥ، ﻓﺈﻥ ﺩﻳﻦ اﻟﻠﻪ ﻭاﺣﺪ
“Ketahuilah bahwa kesesatan yang nyata adalah tatkala engkau berbalik menilai baik keyakinan yang sebelumnya engkau ingkari, dan engkau malah mengingkari keyakinan yang sebelumnya engkau nilai baik. Hendaklah engkau waspada agar jangan sampai ‘bermuka dua’, karena Agama Allah itu satu.”
(Riwayat Al Baihaqi dalam sunannya).
Semoga Allah jadikan kita sebagai hamba-hamba yang memperoleh seluruh karunia mulia di atas, mensyukurinya dengan benar dan Dia Ta’ala menambahkan karunia-karunia lain beserta keutamaan dari-Nya di dunia dan akhirat.
?️ Penulis:
Abu Abdirrohman Sofian