Ujian yang Menimpa al-Imam al-Bukhari di Naisabur dan Bukhara, Tanah Kelahirannya Serta Pelajaran Berharga yang Bisa Dipetik Darinya
Pada tahun 250 Hijriyah, al-Bukhari memasuki Naisabur. Sebelum kedatangannya, tokoh Ulama di Naisabur yang juga guru al-Bukhari, menganjurkan kepada para muridnya untuk menyambut kedatangan al-Bukhari sebagai Ulama besar.
Muhammad bin Yahya adz-Dzuhliy berkata:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ مُحَمَّدَ بْنَ إِسْمَاعِيْلَ غَدًا فَلْيَسْتَقْبِلْهُ فَإِنِّي أَسْتَقْبِلُهُ
Barang siapa yang hendak menyambut Muhammad bin Ismail esok, silakan ia menyambutnya. Karena aku akan menyambutnya
(Huda as-Saariy karya al-Hafidz Ibnu Hajar)
Tidak ada penyambutan yang sedemikian meriah dalam menyambut seseorang yang masuk ke Naisabur. Al-Imam Muslim bin al-Hajjaj berkata:
لَمَّا قَدِمَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيْلَ نَيْسَابُوْرَ مَا رَأَيْتُ وَالِيًا وَلَا عَالِمًا فَعَلَ بِهِ أُهْلُ نَيْسَابُوْرَ مَا فَعَلُوْا بِهِ اسْتَقْبلُوهُ مِنْ مَرْحَلَتَيْنِ مِنَ الْبَلَدِ أَو ثَلَاثٍ
Ketika Muhammad bin Ismail tiba di Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang pemimpin atau orang alim yang diperlakukan demikian besar (penyambutannya) oleh penduduk Naisabur. Mereka sudah menyambut beliau sejarak 2 atau 3 marhalah
(Huda as-Saariy karya al-Hafidz Ibnu Hajar)
Ukuran 2 marhalah itu sudah sejarak safar, sekitar 80-an km. Sungguh jauh penyambutan itu dipersiapkan.
Baca Juga: Dari Benci Menjadi Cinta Kepada Dakwah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab
Muhammad bin Yahya adz-Dzuhliy juga telah berpesan agar jangan ada yang bertanya kepada al-Bukhari tentang kalam. Karena jika jawabannya berbeda dengan yang kita pahami, hal itu akan membuat senang para Ahlul Bid’ah di Khurasan, baik Nashibah, Rafidhah, Jahmiyyah, dan Murjiah.
Saat al-Bukhari tiba di Naisabur, begitu banyak orang yang datang ke majelis beliau. Hal itu pula yang membuat majelis ilmu di Ulama lain di kota itu menjadi lebih sepi dari biasanya. Berdesak-desakan orang ingin bertanya dan mengambil ilmu dari al-Bukhari.
Hingga pada hari ke-2 atau ke-3 beliau berada di Naisabur, ada yang bertanya kepada al-Bukhari tentang lafadz dengan al-Quran (apakah makhluk atau bukan). Al-Bukhari menjawab:
أَفْعَالُنَا مَخْلُوْقَةٌ وَأَلْفَاظُنَا مِنْ أَفْعَالِنَا
Perbuatan kita adalah makhluk, lafadz kita adalah termasuk perbuatan kita
(riwayat Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq)
Orang-orang pun gaduh. Ada yang menyatakan bahwa al-Bukhari menyatakan lafadzku dengan al-Quran adalah makhluk. Ada pula yang menyatakan: Tidak. Terjadilah perselisihan di kalangan manusia.
Sampailah nukilan itu kepada Muhammad bin Yahya adz-Dzuhliy, tapi tanpa klarifikasi dan tatsabbut, langsung menilai bahwa al-Bukhari telah menyimpang.
Baca Juga: Pentingnya Klarifikasi Berita Terlebih Tentang Orang Berilmu
Padahal sebenarnya, di lain kesempatan al-Bukhari menegaskan akidahnya melalui penjelasan:
حَرَكَاتُهُمْ وَأَصْوَاتُهُمْ وَأَكْسَابُهُمْ وَكِتَابَتُهُمْ مَخْلُوقَةٌ فَأَمَّا الْقُرْآنُ الْمَتْلُوُّ الْمُبِينُ الْمُثْبَتُ فِي الْمَصَاحِفِ الْمَسْطُورُ الْمَكْتُوبُ الْمُوعَى فِي الْقُلُوبِ فَهُوَ كَلَامُ اللَّهِ لَيْسَ بِخَلْقٍ
Gerakan-gerakan, suara-suara, upaya-upaya, dan penulisan mereka adalah makhluk. Sedangkan alQuran yang dibaca yang jelas, yang berada di mushaf-mushaf, yang tertulis, yang dihafal di hati, adalah Kalam Allah, bukan makhluk
(riwayat Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq).
Al-Bukhari juga berkata:
مَنْ زَعَمَ أَنِّي قُلْتُ لَفْظِي بِالْقُرْآنِ مَخْلُوقٌ فَهُوَ كَذَّاب فَإِنِّي لم أَقُلْهُ
Barang siapa yang mengira bahwasanya aku berkata: Lafadzku dengan alQuran adalah makhluk, maka ia sangat pendusta. Sesungguhnya aku tidaklah mengucapkan demikian
(Huda as-Saariy karya al-Hafidz)
Bahkan Muhammad bin Yahya adz-Dzuhliy pun mentahdzir (memperingatkan) orang-orang akan bahaya duduk di majelis al-Bukhari.
Maka sontak, al-Bukhari pun dijauhi. Tidak ada yang hadir di majelis al-Bukhari melainkan Muslim dan Ahmad bin Salamah saja.
Al-Imam Muslim bin al-Hajjaj (penyusun kitab Shahih Muslim) yang mengerti benar keilmuan al-Bukhari, tidak ikut arus besar untuk menilai bahwa al-Bukhari telah sesat dan harus dijauhi.
Muhammad bin Yahya adz-Dzuhliy pun mengirim surat ke berbagai wilayah berisi tahdzir terhadap al-Bukhari.
Al-Bukhari meninggalkan Naisabur hanya ditemani Ahmad bin Salamah saja. Beliau hendak menuju Bukhara, kampung kelahirannya.
Di Bukhara, al-Bukhari benar-benar disambut dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau pun menyampaikan ilmu di sana.
Baca Juga: Al-Imam Ahmad dan Al-Ma’mun
Suatu saat, sang pemimpin Bukhara waktu itu, yaitu Kholid bin Ahmad, meminta al-Bukhari untuk memberikan pelajaran secara khusus pada dirinya dan keluarganya. Namun al-Bukhari menolak mengkhususkan penyampaian ilmu pada penguasa dan keluarganya. Hal itu membuat Kholid bin Ahmad pun ada perasaan tidak suka pada al-Bukhari.
Ditambah surat tahdzir dari Muhammad bin Yahya adz-Dzuhliy yang semakin membuat Kholid bin Ahmad ingin mengusir al-Bukhari dari Bukhara. Selain itu, Ulama madzhab Hanafiyyah yang fanatik madzhab di sana, yaitu Huraits bin Abil Warqaa’ pun tidak suka dengan al-Bukhari.
Maka terusirlah al-Bukhari dari kampung kelahirannya. Beliau terdzhalimi oleh pihak-pihak yang bersatu kepentingannya untuk menjatuhkan beliau. Ada yang hasad, ada yang sakit hati karena permintaannya tidak dipenuhi, dan ada pula yang tidak suka karena tidak sesuai dengan madzhab yang secara fanatik ia anut.
Kisah tentang fitnah yang menimpa al-Bukhari di Naisabur maupun Bukhara tersebut bisa dilihat dalam karya para Ulama seperti Huda as-Saariy Muqoddimah Fathul Bari karya al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaaniy dan juga Tarikh Dimasyq karya Ibnu Asakir.
Semoga Allah Ta’ala merahmati al-Bukhari dengan rahmat yang luas.
Baca Juga: Segera Menyadari dan Mengakui Kesalahan
Pelajaran yang Bisa Diambil dari Fitnah yang Dialami al-Imam al-Bukhari
Beberapa pelajaran berharga yang bisa dipetik, di antaranya:
1. Penilaian manusia bisa berbolak-balik. Dari sebelumnya sangat menghormati al-Imam al-Bukhari, berbalik menjauhi tanpa ada proses tatsabbut yang benar. Karena itu, keridhaan manusia bukanlah sesuatu yang dicari, namun keridhaan Allah yang seharusnya dikedepankan.
2. al-Imam Muslim memberikan teladan untuk bersikap ilmiah, tidak taklid pada mayoritas orang yang salah dalam menyudutkan al-Imam al-Bukhari.
3. Meskipun al-Imam al-Bukhari dikucilkan dalam masa akhir kehidupannya, namun ilmunya tetap langgeng dan bermanfaat bagi kaum muslimin setelahnya.
4. Pentingnya tatsabbut dan klarifikasi sebelum menjustifikasi.
Alim terkemuka dapat tergelincir dalam vonis yang salah ketika meninggalkan tatsabbut dan hanya membangun penilaian dari orang lain yang walaupun masuk kategori terpercaya namun tidak lebih terpercaya dari pihak yang perlu diklarifikasi perkaranya.
5. Bahaya sikap hasad, ketersinggungan (sakit hati), dan fanatik buta pada madzhab, yang membuat seseorang tidak bersikap lurus dalam menilai.
Dikutip dari:
Buku “Rangkaian Nasihat untuk Muslimin Tanjungbalai (1443 H)” – dengan sedikit penyesuaian, Abu Utsman Kharisman