Jarir bin Abdillah Sahabat Rupawan Sang Penghancur Berhala Dzul Kholashoh

Jarir bin Abdillah radhiyallahu anhu adalah salah seorang Sahabat Nabi yang mulia. Beliau wafat pada sekitar tahun 51 Hijriyah. Umar bin al-Khoththob menyebut beliau sebagai Yusufnya umat ini karena ketampanannya, sebagaimana dalam riwayat al-Khoroithiy dalam I’tilaalul Qulub dengan sanad yang shahih. Postur fisik beliau juga tinggi besar. Kuniah beliau adalah Abu Abdillah. Ada pula yang menyebutnya Abu Amr.
Menurut Ibnu Sa’ad, Jarir awal datang ke Madinah pada bulan Ramadhan tahun 10 Hijriyah bersama kaumnya dari Yaman untuk masuk Islam dan berbaiat kepada Nabi. Saat Nabi berkhotbah menjelang kedatangan Jarir dan kaumnya, beliau bersabda:
يَدْخُلُ عَلَيْكُمْ مِنْ هَذَا الْبَابِ – أَوْ مِنْ هَذَا الْفَجِّ – مِنْ خَيْرِ ذِي يَمَنٍ، إِلَّا أَنَّ عَلَى وَجْهِهِ مَسْحَةَ مَلَكٍ
Akan masuk menemui kalian dari pintu ini – atau dari celah ini – orang yang termasuk penduduk Yaman terbaik. Hanya saja pada wajahnya terdapat usapan Malaikat (karena tampannya)(H.R Ahmad)
Jarir bin Abdillah pernah disuruh oleh Nabi untuk mengkondisikan para hadirin diam/tenang guna bersiap mendengar khotbah Nabi pada haji Wada’. Sebagaimana dalam hadits Shahih al-Bukhari Kitabul Ilmi.
Nabi shollallahu alaihi wasallam juga mengutus Jarir untuk menghancurkan berhala Dzul Kholashoh. Dengan sebab itu pula beliau mendapatkan doa kebaikan dari Nabi shollallahu alaihi wasallam.
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِىِّ قَالَ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا جَرِيرُ أَلاَ تُرِيحُنِى مِنْ ذِى الْخَلَصَةِ ». بَيْتٍ لِخَثْعَمَ كَانَ يُدْعَى كَعْبَةَ الْيَمَانِيَةِ. قَالَ فَنَفَرْتُ فِى خَمْسِينَ وَمِائَةِ فَارِسٍ وَكُنْتُ لاَ أَثْبُتُ عَلَى الْخَيْلِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَضَرَبَ يَدَهُ فِى صَدْرِى فَقَالَ « اللَّهُمَّ ثَبِّتْهُ وَاجْعَلْهُ هَادِيًا مَهْدِيًّا ». قَالَ فَانْطَلَقَ فَحَرَّقَهَا بِالنَّارِ ثُمَّ بَعَثَ جَرِيرٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً يُبَشِّرُهُ يُكْنَى أَبَا أَرْطَاةَ مِنَّا فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ لَهُ مَا جِئْتُكَ حَتَّى تَرَكْنَاهَا كَأَنَّهَا جَمَلٌ أَجْرَبُ. فَبَرَّكَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى خَيْلِ أَحْمَسَ وَرِجَالِهَا خَمْسَ مَرَّاتٍ
dari Jarir bin Abdillah al-Bajaliy ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam berkata kepadaku: “Wahai Jarir, bisakah engkau menghilangkan kegundahanku dari Dzul Kholashoh (rumah berhala)”. Itu adalah suat bangunan milik Khots’am yang disebut Ka’bah al-Yamaaniyah. Jarir berkata: Aku pun pergi dalam pasukan berkuda berjumlah 150 orang. Aku sebelumnya tidak bisa kokoh jika berkendara di atas kuda. Aku kemudian menyampaikan hal itu kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Beliau pun menepukkan tangan beliau ke dadaku dan berdoa: Ya Allah kokohkanlah dia, dan jadikanlah dia sebagai pemberi petunjuk dan orang yang mendapat petunjuk. Pergilah Jarir (ke Dzul Kholashoh) dan membakarnya dengan api. Kemudian Jarir mengutus seseorang yang memiliki kuniah Abu Arthoh kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam untuk memberikan kabar gembira kepada beliau. Kemudian ia mendatangi Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dan berkata: Tidaklah saya mendatangi anda hingga kami tinggalkan dia seperti unta yang berpenyakit kulit (hitam terbakar). Kemudian Rasulullah shollallahu alaihi wasallam mendoakan keberkahan kepada kuda Ahmas dan penunggangnya sebanyak 5 kali. (H.R al-Bukhari dan Muslim, lafadz sesuai riwayat al-Bukhari)
Jarir bin Abdillah pernah tinggal di Kufah. Beliau diutus oleh Ali untuk menemui Muawiyah, namun Jarir bin Abdillah menghindari konflik atau fitnah yang terjadi sehingga beliau menjauh ke daerah Qarqis hingga wafat di sana.
Jarir bin Abdillah juga memberikan keteladanan dalam menerapkan sikap an-Nashihah terhadap setiap muslim sebagai bentuk penunaian baiat beliau kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam.
An-Nashihah artinya tulus mengharapkan kebaikan untuk orang lain. Tidak ada niatan buruk ataupun keinginan berkhianat, atau memanfaatkan orang lain untuk kepentingan diri sendiri.
Suatu hari Jarir bin Abdillah radhiyallahu anhu perintahkan kepada maulanya (mantan budak yang dimerdekakannya) untuk membeli kuda seharga 300 dirham. Maka, maulanya tersebut kemudian mendapatkan penjual dan kudanya yang cocok dengan harga itu, didatangkan kepada Jarir. Sang penjual sebenarnya sudah setuju kudanya dijual dengan harga 300 dirham.
Ketika ditunjukkan pemilik kuda dan kudanya itu, kemudian Jarir memperhatikan bahwa sebenarnya kuda itu sangat bagus. Ia kemudian berkata: Wahai saudaraku, kudamu lebih tinggi harganya dari 300 dirham, apakah kau mau aku beli dengan harga 400 dirham? Penjualnya mengatakan: terserah engkau wahai Abu Abdillah (kuniah Jarir). Jarir berpikir ulang dan menimbang, kemudian berkata lagi : kudamu lebih baik dari 400 dirham, bagaimana kalau aku beli dengan harga 500 dirham. Pemilik kuda berkata lagi : terserah engkau wahai Abu Abdillah. Demikian seterusnya, Jarir menambah seratus-seratus dirham, hingga mencapai 800 dirham.
Setelah selesai transaksi, orang yang keheranan dengan sikap Jarir tersebut menanyakan mengapa Jarir berbuat demikian. Akhirnya Jarir berkata : Sesungguhnya aku telah berbaiat kepada Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam untuk bersikap anNashiihah kepada setiap muslim (Syarh Shahih Muslim karya anNawawy juz 2 halaman 40, dinukil secara ringkas dari riwayat atThobarony).
Kisah Jarir saat membeli kuda itu menunjukkan bahwa beliau benar-benar bersikap an-Nashihah kepada setiap muslim. Bahkan dalam posisi sebagai pembeli suatu barang. Beliau bukan hanya tidak ingin sang penjual rugi, tapi justru memberi harga yang jauh lebih tinggi dari yang disepakati pada transaksi awal. Tentu bukanlah keharusan bagi Jarir bersikap demikian, karena sang penjual sebenarnya sudah ridha dengan nominal harga yang disepakati di awal. Tapi Jarir tidak sekadar ingin menunaikan kewajiban dan suatu keharusan. Beliau benar-benar berusaha mewujudkan anNashihah pada level yang paripurna.
Sikap an-Nashihah itu levelnya lebih tinggi dari sekadar menjauhi kedzhaliman. Sebuah komitmen kuat dalam menjalankan isi baiat dengan Nabi shollallahu alaihi wasallam.
Dalam hadits riwayat an-Nasaa’iy, bagian dari baiat Jarir bin Abdillah terhadap Nabi shollallahu alaihi wasallam juga adalah komitmen beliau untuk menjauhi orang musyrik.
عَنْ جَرِيرٍ قَالَ: بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ، وَعَلَى فِرَاقِ الْمُشْرِكِ
Dari Jarir ia berkata: Aku membaiat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, bersikap an-Nashihah terhadap setiap muslim, dan memisahkan diri dari orang musyrik (H.R anNasaai, dishahihkan Syaikh al-Albaniy)
Pemulis: Abu Utsman Kharisman