Bab Ke-23: Ada Sebagian Orang Pada Umat ini Yang Menyembah Berhala (Bagian Kedua)
SERIAL KAJIAN KITABUT TAUHID (Bag ke-83)
Dalil Pertama:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُواْ نَصِيبًا مِّنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلَاءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ آَمَنُوا سَبِيلًا
Tidakkah engkau melihat kepada orang-orang yang diberi bagian dari al-Kitab yang mereka beriman kepada Jibt dan Taghut dan mereka berkata kepada orang-orang kafir: Inilah orang-orang yang lebih benar jalannya dibandingkan orang-orang beriman
(Q.S anNisaa’ ayat 51)
Penjelasan Dalil Pertama:
Ayat ini menunjukkan bahwa di antara Ahlul Kitab ada yang beriman kepada al-Jibt (tukang sihir, tukang tenung, Syaithan) dan Taghut. Nanti pada dalil keempat, akan disampaikan hadits Nabi bahwa akan ada dari kalangan umat beliau yang mengikuti perbuatan umat sebelumnya. Jadi, jika di kalangan Ahlul Kitab ada yang beriman kepada Taghut (yang disembah selain Allah), maka pada umat Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam akan ada yang meniru hal itu.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy rahimahullah menjelaskan makna ayat tersebut:
“Ini adalah termasuk keburukan Yahudi dan sikap hasad (iri) mereka terhadap Nabi shollallahu alaihi wasallam dan kaum beriman. Sesungguhnya akhlak mereka yang rendah dan tabiat buruk pada mereka membuat mereka meninggalkan sikap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka menggantinya dengan keimanan terhadap Jibt dan Thaghut. Yaitu keimanan terhadap segala peribadatan untuk selain Allah. Atau berhukum dengan selain syariat Allah.
Termasuk dalam hal itu adalah sihir, perdukunan, peribadatan kepada selain Allah, dan menaati syaithan. Semua ini termasuk Jibt dan Thaghut. Kekafiran dan sikap hasad mereka juga membuat mereka lebih mengutamakan jalan orang-orang yang kafir kepada Allah – para penyembah berhala – dibandingkan jalan kaum beriman.
‘Dan mereka berkata kepada orang-orang kafir’, yaitu ucapan untuk mengambil muka orang-orang kafir itu dan kebencian terhadap keimanan: ‘mereka ini jalannya lebih lurus dibandingkan orang-orang beriman’.
Duhai betapa jeleknya mereka. Betapa besar sikap penentangannya. Betapa kurangnya akal mereka. Bagaimana bisa mereka menempuh jalan jelek dan lembah yang tercela itu? Apakah mereka mengira (bahwa perkataan itu) akan mudah diterima oleh orang yang berakal atau masuk akal bagi orang-orang yang bodoh? Bagaimana bisa mereka lebih mengutamakan agama yang berdiri di atas peribadatan kepada patung dan berhala, mengharamkan hal-hal yang baik, membolehkan keburukan-keburukan, menghalalkan banyak hal yang haram, melakukan kezhaliman antar makhluk, menyamakan Sang Pencipta dengan para makhluk, kafir kepada Allah, para Rasul, dan Kitab-kitab-Nya.
(Apakah pantas mereka mendahulukan agama yang demikian ini), dibandingkan agama yang berdiri di atas peribadatan kepada ar-Rahmaan (Sang Maha Penyayang), mengikhlaskan (ibadah) kepada Allah dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan, mengkufuri segala yang disembah untuk selain-Nya, baik berupa berhala, tandingan-tandingan, dan para pendusta. Agama yang (mengajarkan) menyambung hubungan baik dengan karib kerabat, berbuat baik kepada seluruh makhluk, bahkan kepada hewan ternak. Agama yang menegakkan keadilan antar manusia, mengharamkan segala keburukan dan kedzhaliman. (Agama yang mengajarkan) kejujuran dalam seluruh ucapan dan perbuatan?
Tidakkah (ucapan Yahudi ini) melainkan igauan (ucapan ngawur)? Orang yang mengucapkan demikian bisa jadi termasuk orang yang paling bodoh dan paling lemah akalnya. Atau termasuk yang paling durhaka dan paling menentang kebenaran. Inilah kenyataannya.
(Taisiir Kariimir Rahmaan fi Tafsiiri Kalaamil Mannan (1/182)).
Ditulis oleh:
Abu Utsman Kharisman