Lempar Batu Sembunyi Tangan (Bagian 1)
Merupakan bagian keajaiban penjagaan Allah terhadap keyakinan para pengusung kebenaran, bahwa ahlussunnah sering mendapati tuduhan dari orang-orang yang memusuhi kebenaran justru secara nyata isi tuduhan tersebut dilakukan sendiri oleh para musuh itu.
Kenyataan tersebut semakin menguatkan keimanan dan mengukuhkan manhaj setiap sunni. Mereka mendengar dan menyaksikan para musuh dakwah suka melempar tuduhan lalu bersembunyi menutupi aib perbuatannya sendiri. Memang, taktik lempar batu sembunyi tangan adalah gaya perlawanan musuh muslimin di berbagai tempat dan waktu, kala hujjah ahlul haq tidak mampu mereka tanggapi secara ilmiah. Menuduh serampangan adalah langkah menutupi fakta memalukan. Tapi sayang, kebanyakannya justru sebagai bumerang.
Berikut ini beberapa kutipan dari sebagian kecil para tentara Allah yang gagah berani menyingkap sandiwara gagal para penuduh itu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah membantah para penuduh ahlussunnah sebagai musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluk) dalam pembahasan Nama-nama dan Sifat-sifat Allah. Di antara poin bantahan beliau:
ﻭﻗﺪ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ: ﻫﻮ ﻋﺎﻟﻢ ﻗﺎﺩﺭ ﻣﺮﻳﺪ، ﺛﻢ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ: اﻟﻌﻠﻢ ﻫﻮ اﻟﻘﺪﺭﺓ، ﻭاﻟﻘﺪﺭﺓ ﻫﻲ اﻹﺭاﺩﺓ، ﻓﻴﺠﻌﻠﻮﻥ ﻛﻞ ﺻﻔﺔ ﻫﻲ اﻷﺧﺮﻯ , ﻭﻳﻘﻮﻟﻮﻥ: اﻟﻌﻠﻢ ﻫﻮ اﻟﻌﺎﻟﻢ ـ ﻭﻗﺪ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ: ﻫﻮ اﻟﻤﻌﻠﻮﻡ ـ ﻓﻴﺠﻌﻠﻮﻥ اﻟﺼﻔﺔ ﻫﻲ اﻟﻤﻮﺻﻮﻑ ﺃﻭ ﻫﻲ اﻟﻤﺨﻠﻮﻗﺎﺕ. ﻭﻫﺬﻩ ﺃﻗﻮاﻝ ﺭﺅﺳﺎﺋﻬﻢ، ﻭﻫﻲ ﻓﻲ ﻏﺎﻳﺔ اﻟﻔﺴﺎﺩ ﻓﻲ ﺻﺮﻳﺢ اﻟﻤﻌﻘﻮﻝ، ﻓﻬﻢ ﻣﻀﻄﺮﻭﻥ ﺇﻟﻰ اﻹﻗﺮاﺭ ﺑﻤﺎ ﻳﺴﻤﻮﻧﻪ ﺗﺸﺒﻴﻬﺎ ﻭﺗﺮﻛﻴﺒﺎ، ﻭﻳﺰﻋﻤﻮﻥ ﺃﻧﻬﻢ ﻳﻨﻔﻮﻥ اﻟﺘﺸﺒﻴﻪ ﻭاﻟﺘﺮﻛﻴﺐ ﻭاﻟﺘﻘﺴﻴﻢ؛ ﻓﻠﻴﺘﺄﻣﻞ اﻟﻠﺒﻴﺐ ﻛﺬﺑﻬﻢ ﻭﺗﻨﺎﻗﻀﻬﻢ ﻭﺣﻴﺮﺗﻬﻢ ﻭﺿﻼﻟﻬﻢ؛ ﻭﻟﻬﺬا ﻳﺆﻭﻝ ﺑﻬﻢ اﻷﻣﺮ ﺇﻟﻰ اﻟﺠﻤﻊ ﺑﻴﻦ اﻟﻨﻘﻴﻀﻴﻦ، ﺃﻭ اﻟﺨﻠﻮ ﻋﻦ اﻟﻨﻘﻴﻀﻴﻦ. ﺛﻢ ﺇﻧﻬﻢ ﻳﻨﻔﻮﻥ ﻋﻦ اﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﻭﺻﻒ ﺑﻪ ﻧﻔﺴﻪ، ﻭﻣﺎ ﻭﺻﻔﻪ ﺑﻪ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻟﺰﻋﻤﻬﻢ ﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﺗﺸﺒﻴﻪ ﻭﺗﺮﻛﻴﺐ. ﻭﻳﺼﻔﻮﻥ ﺃﻫﻞ اﻹﺛﺒﺎﺕ ﺑﻬﺬﻩ اﻷﺳﻤﺎء، ﻭﻫﻢ اﻟﺬﻳﻦ ﺃﻟﺰﻣﻮﻫﺎ ﺑﻤﻘﺘﻀﻰ ﺃﺻﻮﻟﻬﻢ، ﻭﻻ ﺣﻴﻠﺔ ﻟﻬﻢ ﻓﻲ ﺩﻓﻌﻬﺎ. ﻓﻬﻢ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻝ اﻟﻘﺎﺋﻞ: ﺭﻣﺘﻨﻲ ﺑﺪاﺋﻬﺎ ﻭاﻧﺴﻠﺖ.
“Mereka (para penuduh) berkata, ‘Dia (Allah), Alim (arti sebenarnya; Maha Mengetahui), Qodir (arti sebenarnya; Mahamampu), Murid (arti sebenarnya; Maha Menghendaki).’ Kemudian mereka sendiri berkata, ‘Pengetahuan (bagi Allah) maksudnya adalah Kemampuan, sedangkan Kemampuan maksudnya yaitu Kehendak.’ Sehingga mereka menempatkan (makna) pada setiap Sifat tertentu diarahkan ke makna Sifat lainnya.
Mereka (sendiri) juga mengatakan, ‘Ilmu yang dimaksud adalah Yang Maha Berilmu.’ Tapi terkadang mereka juga mengatakan ‘maksudnya adalah sesuatu yang diketahui.’ Jadi mereka (lancang) mengubah suatu Sifat menjadi perkara yang tersifati atau menjadi makhluk-makhluk. Dan demikianlah ucapan para tokoh mereka.
Yang ucapan-ucapan tersebut benar-benar pada puncak kerusakan secara akal yang jelas. Mereka sendirilah yang terdesak untuk mengakui melakukan perbuatan yang mereka sebut sebagai menyerupakan Allah dengan hal lain (tasybih) dan meyakini Allah tersusun dari hal lain (tarkib). Padahal mereka menyangka bahwa mereka berusaha meniadakan tasybih, tarkib dan taqsim (pembagian sifat).
Maka hendaknya seorang yang berakal sehat dapat mencermati kedustaan, kontradiksi ucapan, kebingungan dan kesesatan mereka itu. Karenanyalah mereka terpaksa menakwilkan pertentangan yang terjadi pada perkara tersebut dengan siasat menggabungkan 2 makna yang saling bertolak belakang, atau sama sekali mengosongkan kedua hal yang bertolak belakang. Lalu mereka meniadakan terhadap Allah Sifat Yang Allah sendiri telah Menyematkan Sifat tersebut untuk Diri-Nya.
Demikian juga (mereka) menolak berbagai Sifat Yang Rasulullah langsung menyebutkan-Nya. Hanya karena mereka menyangka bahwa penyebutan Sifat-sifat tersebut merupakan bentuk tasybih dan tarkib.
Sementara mereka menuduh orang yang menetapkan Nama-nama itu (sebagaimana mestinya). Mereka (para penuduh itu) yang mengharuskan berbagai konsekwensi itu berdasarkan teori-teori mereka sendiri. Hingga tidak ada celah menghindar bagi mereka untuk berkelit dari hal itu. Mereka itu seperti disebutkan dalam ungkapan: Dia melempar tuduhan kepadaku lalu dia berkelit.”
(Syarh Hadits Nuzul, hal. 17 & Majmu’ Al Fatawa 5/340)
?️ Penulis: Abu Abdirrohman Sofian