Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Seorang Wanita Berniat Umrah Namun Saat Berada di Miqot Mengalami Haid, Apa yang Sebaiknya Dilakukan?

Pertanyaan:

Seorang wanita haid melewati miqot Madinah di akhir bulan Ramadhan. Karena ketidaktahuannya, ia menyangka bahwa seorang wanita yang haid tidak sah umrah (jika dalam kondisi demikian, pent). Maka ia pun tidak berniat umrah saat berada di miqot. Padahal ia sudah berniat (akan umrah) sebelum mengalami haid. Pertanyaannya: Jika wanita ini suci dari haid di bulan Syawwal, apakah ia sebaiknya keluar dari wilayah Halal (bukan wilayah Haram, pent) dan berihram? Ataukah ia (langsung) pergi ke Masjidil Haram melakukan thawaf, sa’i, dan memendekkan rambutnya (tahallul)? Berikanlah faidah kepada kami. Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.

Jawaban Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah:

Jika seorang wanita sampai di miqot dalam keadaan haid kemudian ia mengabaikan umrah, artinya membatalkan niat umrahnya, selama ia mengalami haid ia abaikan umrahnya, kemudian ia akan datang di safar berikutnya, wanita ini jika ia suci di waktu yang memungkinkan untuk melakukan umrah, maka ia berihram di tempat ia berniat umrah.

Misalkan, ia melewati miqot penduduk Madinah yaitu Dzulhulaifah atau dinamakan Bir ‘Ali, ia lewat dalam keadaan haid dan berkata: Selama aku mengalami haid aku akan membatalkan niat dan tidak berniat umrah, ia abaikan secara keseluruhan, dan saat tiba di Jeddah ia suci, dan berkata: Selama aku dalam kondisi suci aku akan melakukan umrah, maka dalam kondisi seperti ini ia berihram dari Jeddah, tidak mengapa. Karena ia mengabaikan niat (berumrah) secara keseluruhan.

Adapun kalau ia tidak mengabaikan niat yang pertama, artinya melewati miqot dalam kondisi haid dan menyangka bahwa seorang wanita haid tidak sah berihram, dan ia berkata: Aku akan abaikan ihram sekarang, kalau nanti aku suci aku akan berihram untuk umrah, maka kalau demikian keadaannya jika ia telah suci, ia kembali ke miqot yang telah dilewati dan berihram dari sana. Tidak halal baginya berihram dari tempat yang ia suci di dalamnya. Karena ia tidaklah membatalkan niat umrah, tapi ia hanya membatalkan niat ihram dari miqot. Ada perbedaan antara seseorang yang membatalkan niat manasik secara keseluruhan dengan yang membatalkan niat ihram dari miqot.

Lalu, apakah perbuatan yang benar jika seorang wanita melewati miqot dalam keadaan ingin umrah dan ia mengalami haid? Kita katakan bahwa perbuatan yang benar adalah ia tetap berihram meski dalam kondisi haid, karena ihramnya seorang wanita haid tetaplah sah. Ketika Asma’ bintu Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr –semoga Allah meridhai keduanya-, ia mengirim utusan untuk bertanya kepada Nabi: Apa yang harus saya lakukan? Nabi bersabda (yang artinya): “Mandilah, gunakan pembalut, dan berihramlah”. Nabi shollallahu alaihi wasallam tidak menjadikan keadaan nifas sebagai penghalang untuk ihram. Justru beliau menyatakan: “Mandilah, gunakan pembalut, dan berihramlah”. Maka kita katakan kepada wanita yang melewati miqot dalam kondisi haid hendak umrah: Berihramlah untuk umrah, namun jangan lakukan thowaf mengelilingi Ka’bah dan jangan pula melakukan sa’i antara Shofa dan Marwah hingga engkau suci.


Sumber: Majmu’ Fatwa wa Rosail al-Utsaimin 21/347)

Naskah dalam Bahasa Arab

السؤال

 امرأة حائض مرت على ميقات المدينة في أواخر شهر رمضان ولجهلها ظنت أن الحائض لا تصح منها العمرة فلم تنو العمرة عند الميقات مع أنها كانت ناوية قبل أن يأتيها الحيض، السؤال: إذا طهرت هذه المرأة من الحيض في شهر شوال، فهل تخرج من الحل وتحرم؟ أم أنها تذهب إلى الحرم وتطوف وتسعى وتقصر من شعرها أفيدونا جزاكم الله خيراً.

الجواب

 إذا وصلت المرأة إلى الميقات وهي حائض ثم ألغت العمرة أي: فسخت نيتها، وقالت: ما دام جاءها الحيض فإنها تلغي العمرة وتأتي بها في سفر آخر، فهذه إذا قدر أنها طهرت في وقت يمكنها أن تأتي بعمرة، فإنها تحرم من المكان الذي نوت فيه العمرة، مثلاً: مرت بميقات أهل المدينة وهي ذي الحليفة المسماة بـ أبيار علي، مرت وهي حائض فقالت: ما دام الحيض قد أتاها فإنها ستفسخ النية ولا تريد عمرة، ألغتها نهائياً، ولما وصلت إلى جدة طهرت، فقالت: ما دمت طهرت فإني سأعتمر، ففي هذه الحالة تحرم من جدة ولا حرج عليها، وذلك لأنها ألغت النية الأولى نهائياً، أما لو لم تلغ النية الأولى، يعني: مرت بالميقات وهي حائض وظنت أن الحائض لا يصح منها التلبس بالإحرام، فقالت: سألغي التلبس بالإحرام الآن وإذا طهرت أحرمت بالعمرة، فإن هذه يجب عليها إذا طهرت أن ترجع إلى الميقات الذي تجاوزته وتحرم منه، ولا يحل لها أن تحرم من مكانها الذي طهرت فيه؛ لأن هذه لم تلغ العمرة وإنما ألغت الإحرام من الميقات، وفرق بين من ألغى النسك نهائياً، وبين من ألغى الإحرام من الميقات

إذاً: ما هو العمل الصحيح إذا مرت المرأة وهي تريد العمرة بالميقات وهي حائض؟ نقول: العمل الصحيح أن تحرم وهي حائض لأن إحرام الحائض صحيح، ولهذا لما ولدت أسماء بنت عميس محمد بن أبي بكر رضي الله عنهما أرسلت إلى النبي صلى الله عليه وسلم: كيف أصنع؟ فقال: (اغتسلي واستذفري بثوب وأحرمي) فلم يجعل النبي صلى الله عليه وسلم النفاس مانعاً من الإحرام، بل قال: (اغتسلي واستذفري وأحرمي) فنقول للمرأة إذا مرت بالميقات وهي حائض تريد العمرة: أحرمي بالعمرة ولكن لا تطوفي بالبيت ولا بين الصفا والمروة حتى تطهري

(مجموع فتاوى ورسائل العثيمين 21/347)

Penerjemah: Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan