Sen 5 Muharram 1447AH 30-6-2025AD

Innalilahi wa Inna Ilaihi Raji’un, Berucap Doa Menghapus Lara

Al Imam Ibnu Qoyyim al Jauziyyah rahimahullah menjelaskan,

Allah Ta‘ala berfirman:

وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أَوْلَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأَوْلَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata (yang artinya), ‘Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali.’ Mereka itulah yang akan mendapat shalawat dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah: 155–157)

Dalam sebuah hadits, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ما من مسلم تصيبه مصيبة فيقول ما أمره الله إنا لله وإنا إليه راجعون اللهم أجرني في مصيبتي وأخلف لي خيرا منها إلا أخلف الله له خيرا منها

Tidaklah seorang muslim tertimpa musibah, lalu ia mengucapkan sebagaimana yang diperintahkan Allah (yaitu kalimat yang artinya), ‘Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali. Ya Allah, berilah aku pahala atas musibahku dan gantilah untukku dengan yang lebih baik darinya,’ kecuali Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.

Ucapan ini adalah salah satu bentuk pengobatan yang paling ampuh dan paling bermanfaat bagi orang yang tertimpa musibah, baik dalam waktu dekat maupun jangka panjang. Karena ucapan ini mengandung dua pondasi dasar yang besar; apabila seorang hamba memahami keduanya dengan benar, maka hatinya akan terhibur dari musibah yang menimpanya.

Pertama: Bahwa hamba, keluarganya, dan hartanya adalah milik Allah Ta‘ala secara hakiki. Allah hanya menitipkannya kepada sang hamba sebagai pinjaman. Maka jika Allah mengambilnya kembali, itu seperti pemilik barang yang mengambil barangnya dari peminjam.

Selain itu, semua yang ada ini dikelilingi oleh dua ketidakadaan: tidak ada sebelum diciptakan dan tidak ada lagi setelah musnah. Kepemilikan seorang hamba hanyalah kenikmatan pinjaman yang singkat. Ia bukan pencipta benda itu dari ketiadaan, agar bisa disebut pemilik sejati. Ia juga bukan yang menjaga dari bahaya setelah benda itu ada, dan bukan pula yang bisa mempertahankan keberadaannya. Maka ia sama sekali tidak punya pengaruh atau kepemilikan sejati terhadapnya.

Kemudian, seorang hamba hanya boleh bertindak atas apa yang dititipkan kepadanya sesuai dengan perintah dan larangan dari Pemilik yang sebenarnya, bukan seperti pemilik mutlak yang bebas memperlakukan miliknya. Oleh karena itu, tidak halal baginya untuk bertindak terhadap apa yang ia miliki kecuali sesuai dengan kehendak Pemilik yang hakiki.

Kedua: Bahwa tujuan akhir dan tempat kembali hamba adalah kepada Allah, Tuan dan Pemiliknya yang sejati. Pasti pada akhirnya ia akan meninggalkan dunia ini, dan akan datang menghadap Rabbnya sendirian sebagaimana ketika pertama kali diciptakan: tanpa keluarga, tanpa harta, tanpa kerabat. Yang menyertainya hanyalah amal baik dan buruk.

Jika permulaan dan akhir hidup seorang hamba seperti ini, maka mengapa ia harus terlalu gembira terhadap sesuatu yang ia miliki, atau terlalu bersedih atas sesuatu yang hilang? Memikirkan asal-usul dan tempat kembali dirinya merupakan salah satu pengobatan paling mujarab bagi luka (batin akibat musibah).


Sumber: Kitab Ath Thibb An Nabawi, hal. 142

Teks ucapan beliau dalam bahasa Arab:

قال تعالى : وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أَوْلَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأَوْلَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ) [البقرة: 155-157]. وفي “المسند” عنه أنه قال : «ما من مسلم تصيبه مصيبة فيقول ما أمره الله إنا لله وإنا إليه راجعون اللهم أجرني في مصيبتي وأخلف لي خيرا منها إلا أخلف الله له خيرا منها. وهذه الكلمة من أبلغ علاج المصاب، وأنفعه في عاجلته وآجلته، فإنها تتضمن أصلين عظيمين إذا تحقق العبد بمعرفتهما تسلى عن مصيبته.

أحدهما: أن العبد وأهله وماله ملك لله عزوجل حقيقة، وقد جعله عند العبد عارية، فإذا أخذه منه فهو كالمعير يأخذ متاعه من المستعير، وأيضًا فإنه محفوف بعدمين: عدم قبله، وعدم بعده، وملك العبد له متعة معارة في زمن يسير، وأيضًا فإنه ليس الذي أوجده من عدمه، حتى يكون ملكة حقيقة، ولا هو الذي يحفظه من الآفات بعد وجوده، ولا يبقي عليه وجوده، فليس له فيه تأثير، ولا ملك حقيقي، وأيضًا فإنه متصرف فيه بالأمر تصرف العبد المأمور المنهي ، لا تصرف الملاك ؛ ولهذا لا يباح له من التصرفات فيه إلا ما وافق أمر مالكه الحقيقي.

والثاني : أن مصير العبد ومرجعه إلى الله مولاه الحق، ولا بد أن يخلف الدنيا وراء ظهره، ويجيء ربه فردًا كما خلقه أول مره بلا أهل ولا مال ولا عشيرة، ولكن بالحسنات والسيئات، فإذا كانت هذه بداية العبد وما خُوّله ونهايته، فكيف يفرح بموجود، أو يأسى على مفقود، ففكره في مبدئه ومعاده من أعظم علاج الداء.

Penerjemah: Abu Dzayyal Muhammad Wafi

Tinggalkan Balasan