Jual Beli yang Mabrur Adalah Termasuk Penghasilan Terbaik

سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَطْيَبِ الْكَسْبِ؟ فَقَالَ: عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ، وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ
Nabi shollallahu alaihi wasallam ditanya tentang penghasilan terbaik. Beliau bersabda: Pekerjaan tangan yang dilakukan seseorang dan setiap jual beli yang mabrur (H.R atThobaroniy dalam al-Mu’jamul Awsath dari Ibnu Umar, dinilai shahih sanadnya Syaikh al-Albaniy dalam Silsilah ash-Shahihah)
Apakah jual beli yang mabrur itu? Secara ringkas, itu adalah jual beli yang tidak mengandung kedustaan dan dosa (Ghoriibul Hadits lil Qosim bin Sallaam 4/469).
Ada 3 unsur utama agar jual beli terhitung mabrur, yaitu:
Pertama: Kejujuran.
Tidak menyatakan sesuatu yang berbeda dengan kenyataannya. Jangan bilang bahwa suatu barang bagus, kalau memang itu jelek. Jangan bilang kalau barang itu asli dan ori, kalau ternyata barangnya palsu.
Kedua: Menjelaskan.
Jangan hanya diam saja saat tahu bahwa pembeli akan membeli barang yang salah tidak seperti yang dimaksudkan. Misalkan, pembeli melihat barang itu dan berkata: “Wah, ini barang asli”. Kemudian penjual yang tahu kondisi itu diam saja. Padahal penjual tahu bahwa barang tersebut palsu atau KW. Hanya saja ia diam, tidak menjelaskan aib dan kondisi sebenarnya dari barang tersebut. Itu tidak dibenarkan.
Kalau ada aib atau cacat pada suatu barang yang harus diberitahukan pada calon pembeli, ia harus beritahukan. Jangan didiamkan tanpa penjelasan. Demikian juga calon pembeli saat tahu di alat tukar pembayaran itu ada cacatnya, yang kalau orang lain tahu ia tidak akan menerimanya, ia perlu menjelaskan juga. Misalkan dengan mengatakan: Maaf, uang ini sebelumnya sobek. Saya sambung lagi. Kalau penjual menyatakan: “Tidak mengapa”. Itulah yang diharapkan. Tapi kalau penjual menolak, pembeli harus membayar dengan uang lainnya. Hal yang demikian saja terlarang, apalagi kalau seseorang membayar dengan uang palsu. Jelas lebih terlarang lagi, karena ia telah melakukan penipuan.
Ketiga: Tidak bertentangan dengan syariat. Jangan melakukan jual beli yang haram. Baik keharaman pada barang dan alat tukar pembayarannya, maupun cara berjual belinya.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan: Jual beli yang mabrur adalah yang dibangun di atas kejujuran dan penjelasan. Kejujuran dalam menyebutkan sifat-sifat hal yang diperjualbelikan, dan menjelaskan jika ada aib (cacat)nya. Contohnya: Penjual tidak menyatakan kepada anda: Barang ini baik. Padahal buruk. Atau ketika ada cacat pada barang itu ia sembunyikan. Mestinya ia jelaskan. (Sebagaimana hadits Nabi):
إِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا
Jika keduanya jujur dan menjelaskan, akan diberkahi pada perniagaan keduanya (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Hakiim bin Hizaam, pen)
Ini adalah jual beli yang mabrur, yang dibangun di atas kejujuran dan penjelasan. Kita tambahkan hal ketiga, yaitu jika jual beli itu sesuai dengan syariat. Apabila menyelisihi syariat, meskipun dibangun di atas kejujuran dan penjelasan, bukanlah jual beli yang mabrur. Jika seseorang menjual sesuatu yang haram diperjualbelikan, meskipun ia jujur ketika menyebutkan sifat-sifat barang maupun menceritakan aibnya, kita tidak menyatakan bahwa ini adalah jual beli yang mabrur (Fathu Dzil Jalaali Wal Ikraam 3/459)
Penulis: Abu Utsman Kharisman