Jangan Terburu Memvonis Atau Bersikap Sebelum Bertanya
Kadang kita melihat keadaan saudara kita terlihat aneh. Perilakunya tidak biasa.
Apabila kita punya kesempatan untuk bertanya, tanyakanlah. Jangan terburu menilai dia dengan penilaian yang buruk. Bisa jadi dia memiliki udzur.
Apalagi saat ini media komunikasi begitu mudah. Alat transportasi pun mudah jika ingin bertemu langsung dan bertanya. Kalau tidak bisa bertemu langsung, bisa telpon atau kirim pesan teks atau suara. Alhamdulillah semuanya dimudahkan saat ini.
Kita bertanya kepadanya agar jelas duduk permasalahannya. Jika ternyata ada sesuatu yang bisa kita bantu, bagus jika kita bisa membantunya. Kalau tidak memungkinkan bertanya, bukankah sebaiknya kita berprasangka baik pada saudara kita sesama muslim yang secara dzhahir menampakkan keadilan. Apalagi sesama ahlussunnah. Jangan terburu memvonis atau bersikap terhadapnya, sebelum jelas bagi kita apa alasan ia berbuat demikian.
Kadang perlu ngopi bareng. Duduk santai dalam perbincangan penuh keakraban. Tidak dalam suasana saling curiga atau sudah berburuk sangka dulu pada saudaranya.
Hal semacam itu (tidak terburu menilai sampai paham sebabnya) ada bimbingannya dalam alQuran. Disebutkan dalam surah al-Qoshosh ayat 23 bahwa saat Nabi Musa – yang pada saat itu belum menjadi Nabi – baru tiba di Madyan, beliau singgah di sumur tempat pengambilan air. Di sana banyak para lelaki yang mengambil air di sumur itu, termasuk untuk memberi minum binatang gembalaannya.
Musa –semoga keselamatan tercurah padanya- melihat pemandangan yang tidak biasa. Di belakang atau di bawah sumur yang para lelaki berkerumun untuk mengambil air itu, terdapat 2 wanita yang menahan kambing-kambingnya agar tidak segera mendekat ke sumur tersebut.
Melihat pemandangan tersebut, Musa alaihissalam kemudian bertanya: Apa yang terjadi pada anda berdua? Ternyata wanita itu menunggu saat para lelaki penggembala itu sudah selesai mengambil air, barulah mereka akan membiarkan kambing-kambingnya untuk mendekat pada sumur itu mengambil air yang tersisa. Mereka berdua terpaksa untuk menggembalakan kambing milik keluarganya, karena ayahnya sudah tua. Tidak ada para lelaki yang bisa menjalankan tugas itu, hingga kedua wanita itu terpaksa membawa kambing-kambing tersebut, yang sebenarnya itu pekerjaan para lelaki.
Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah berpandangan bahwa sikap kedua wanita itu terpuji, karena keduanya tidak mau berdesakan (ikhtilath/ bercampur baur) dengan para lelaki. Beliau menyatakan sebagai salah satu pelajaran dari ayat alQuran di surah al-Qoshosh:
تَأَدُّبُهُمَا فِي عَدَمِ مُزَاحَمَةِ الرِّجَالِ
Kedua wanita itu telah beradab (dengan baik dan tepat) karena tidak memilih berdesakan dengan para lelaki (yang bukan mahramnya, pen)(Tafsir Aayaatin minal Quranil Karim karya Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab 1/288).
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafidzhahullah juga menyatakan:
وَقَدْ جَاءَ فِي اْلقُرْآنِ الْكَرِيْمِ أَنَّ تَرْكَ الْاِخْتِلَاطِ بَيْنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ كَانَ فِي اْلأُمَمِ السَّابِقَةِ
Telah terdapat dalam alQuran yang mulia bahwasanya meninggalkan ikhtilath (percampuran) antar para laki dan wanita telah diterapkan (sebagai perangai yang baik, pen) pada umat terdahulu (ad-Difa’ anis Shohaabiy Abi Bakrah wa Marwiyyaatihi 1/35). Kemudian beliau menyebutkan dalil Quran surah al-Qoshosh ayat 23.
Nabi Musa pun kemudian berinisiatif untuk menolong kedua wanita itu dengan mengambilkan air untuk mereka. Beliau ikhlas melakukan itu semata berharap keridhaan Allah, tidak berharap imbalan.
Allah Azza Wa Jalla berfirman:
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
Ketika (Musa) tiba di (sumur tempat pengambilan) air Madyan, ia mendapati sekelompok manusia mengambil air. Ia dapati di belakang (atau bawah) mereka ada dua wanita yang menahan kambing-kambingnya. Maka Musa pun bertanya: Ada apa dengan anda berdua? Keduanya berkata: Kami tidaklah bisa mengambil air hingga para penggembala laki itu pergi (memulangkan ternaknya). Sedangkan ayah kami sudah tua (Q.S al-Qoshosh ayat 23)
Kembali pada sikap yang seharusnya, untuk jangan terburu-buru memvonis sebelum paham permasalahan, Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan sebuah pelajaran yang juga bisa diambil dari ayat tersebut:
أَنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَنْ يُحْكَمَ عَلَى الْأُمُورِ إِلَّا بَعْدَ مَعْرِفَةِ الأَسْباب، فَإِنَّ مُوسَى لَمْ يَحْكُمْ على المرأتين بِأَيِّ حُكْمٍ إِلَّا بَعْدَ أَنْ قَالَ: { مَا خَطْبُكُمَا } يعني: لماذا تَذُودان غَنَمَكُما عن السَّقْي؟ وَلَمْ يَحْكُمْ بِأَيِّ حُكْمٍ عَلَى هَذَا الْأَمْرِ، فسألهما. (تفسير سورة القصص لابن عثيمين صفحة ٩١)
Tidak boleh menetapkan hukum terhadap suatu perkara melainkan setelah mengetahui sebab-sebabnya. Karena Musa tidaklah menetapkan hukum (menilai; memvonis, pen) pada 2 orang wanita itu dengan hukum apapun kecuali setelah ia berkata:
مَا خَطْبُكُمَا
Ada apa dengan kalian berdua? (Q.S al-Qoshosh ayat 23)
Artinya: Mengapa para kambing kalian berdua dihalangi untuk mendekat ke tempat air itu? Musa belumlah menetapkan hukum apapun atas perkara ini (sampai) kemudian ia bertanya kepada kedua wanita tersebut (Transkrip pelajaran tafsir surah alQoshosh karya Syaikh Ibn Utsaimin halaman 91)
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memperbaiki hubungan kita, mempererat ukhuwah dengan komunikasi yang baik dalam suasana persaudaraan karena Allah Ta’ala.
Penulis: Abu Utsman Kharisman