Bantahan Ilmiyah yang Padat Berisi Terhadap Pihak yang Mempersoalkan Definisi Bid’ah Menurut Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syathibiy (Bag ke-2)
Pada tulisan bagian pertama, kita telah mengulas tentang benarnya definisi bid’ah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan telah ditunjukkan pula bahwa definisi itu sesuai dengan penjelasan Ulama Ahlussunnah terdahulu yaitu Ibnu Jarir atThobariy dan al-Marwaziy.
Di bagian ke-2 ini kita akan mengulas definisi bid’ah menurut asy-Syathibiy. Definisi beliau tentang bid’ah dalam kitab al-I’tishom adalah definisi yang benar dan akan ditunjukkan bahwa definisi itu sesuai dengan dalil-dalil yang shahih.
Penjelasan Ringkas tentang asy-Syathibiy
Asy-Syathibiy yang dimaksud adalah Ibrahim bin Musa bin Muhammad. Kuniah beliau Abu Ishaq. Beliau wafat di tahun 790 Hijriyah. Beliau adalah Ulama dari negeri Andalus atau Spanyol. Terhitung sebagai Ulama madzhab Maliki.
Beliau menyusun beberapa karya ilmiyah yang bermanfaat, di antaranya kitab al-Muwafaqaat dalam ilmu Ushul Fiqh dan kitab al-I’tishom.
Definisi Bid’ah Secara Bahasa
Sebelum mengulas definisi bid’ah secara syar’i, al-Imam asy-Syathibiy mengulas asal kata bid’ah yang tersusun dari huruf ba’ – dal – ‘ain adalah terkait perbuatan mengadakan sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya. Sesuai dengan firman Allah Ta’ala dalam surah al-Baqoroh ayat 117 yang menunjukkan bahwa Allah adalah Sang Pencipta langit dan bumi, yang mengadakan langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya. Demikian juga surah al-Ahqof ayat 9 yang menunjukkan bahwa Nabi kita Muhammad shollallahu alaihi wasallam bukanlah Rasul permulaan. Telah berlalu Rasul-Rasul sebelum beliau.
Al-Imam asy-Syathibiy rahimahullah menyatakan:
وَأَصْلُ الْمَادَّةِ “بَدَعَ ” لِلِاخْتِرَاعِ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ، وَمِنْهُ: قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ} [البقرة: 117]، أَيْ: مُخْتَرِعُهَا مِنْ غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ مُتَقَدِّمٍ. وَقَوْلُهُ تَعَالَى: {قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ} [الأحقاف: 9]; أَيْ: مَا كُنْتُ أَوَّلَ مَنْ جَاءَ بِالرِّسَالَةِ مِنَ اللَّهِ إِلَى الْعِبَادِ، بَلْ تَقَدَّمَنِي كَثِيرٌ مِنَ الرُّسُلِ
Asal unsur kata Bada’a adalah mengadakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
(Dialah Allah) Sang Pencipta langit dan bumi (Q.S al-Baqoroh ayat 117) Artinya, Dia (Allah) yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.
Demikian juga firman Allah Ta’ala:
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
Katakanlah bahwa aku bukanlah Rasul yang permulaan (Q.S al-Ahqof ayat 9) Artinya, aku bukanlah orang yang pertama kali datang membawa risalah dari Allah untuk disampaikan kepada para hamba. Namun, telah berlalu sebelum aku banyak para Rasul. (al-I’tishom 1/49)
Definisi bid’ah secara bahasa ini tidaklah dipermasalahkan. Kita akan ulas definisi bid’ah secara istilah syariat, yang dipersoalkan oleh Habib Umar bin Hafidz dan sebagian pihak yang lain.
Penjelasan Definisi Bid’ah Secara Syariat Menurut asy-Syathibiy dalam Kitab al-I’tishom
Asy-Syathibiy rahimahullah menyatakan:
فَالْبِدْعَةُ إِذَنْ عِبَارَةٌ عَنْ: طَرِيقَةٍ فِي الدِّينِ مُخْتَرَعَةٍ، تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ.
Maka bid’ah adalah suatu ungkapan tentang sebuah jalan dalam beragama yang diada-adakan, menandingi syariat, yang dimaksudkan dengan upaya menempuhnya adalah bersungguh-sungguh (berupaya optimal) dalam beribadah kepada Allah Yang Maha Suci (al-I’tishom 1/50)
Dari definisi ini, dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah yang memenuhi ketentuan:
- Jalan dalam beragama yang diada-adakan
- Menandingi syariat
- Tujuan menempuh jalan itu adalah bersungguh-sungguh (berupaya optimal) dalam beribadah kepada Allah.
Berikut ini akan dijelaskan dan dijabarkan masing-masing poin tersebut.
Pada poin pertama, bid’ah adalah jalan dalam beragama. Jadi, bid’ah bukanlah hal yang terkait dengan masalah duniawi seperti kemajuan teknologi, dan semisalnya. Dalam urusan duniawi dipersilakan berinovasi seluas-luasnya selama tidak ada larangan dari alQur’an maupun Sunnah Rasul shollallaahu ‘alaihi wasallam.
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
Kalian lebih tahu tentang urusan duniawi kalian (H.R Muslim)
Sebagian pihak mengejek orang-orang yang mengikuti Sunnah Nabi dengan mengatakan: “Kalau begitu, kalian juga telah melakukan bid’ah. Karena di masa Nabi naik haji pakai unta, sedangkan kalian pakai pesawat”. Ucapan dan celaan demikian ini adalah tidak tepat sasaran, karena hal itu diungkapkan oleh seseorang yang tidak memahami definisi bid’ah dengan benar. Karena penggunaan teknologi adalah terkait duniawi, bukan Dien (agama). Selain itu, penggunaan teknologi tersebut untuk mendukung syariat, bukan menandingi syariat seperti yang akan disebutkan saat menjelaskan poin ke-2.
Masih pada poin pertama, bid’ah disebutkan sebagai sesuatu yang diada-adakan. Artinya, tidak memiliki landasan dalil alQuran maupun hadits Nabi yang shahih.
Kemudian pada poin ke-2 disebutkan bahwa bid’ah itu menandingi syariat. Definisi asy-Syathibiy di bagian ini sebenarnya semakna dengan definisi yang diungkapkan oleh Ulama sebelum beliau yaitu Ibnul Jauziy (wafat tahun 597 H) dalam kitab Talbis Iblis. Kalau asy-Syathibiy menggunakan ungkapan:
تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ
Menandingi syariat
Sedangkan Ibnul Jauziy menggunakan ungkapan:
تُصَادِمُ الشَّرِيْعَةَ
Menabrak syariat
Kita baca ungkapan lebih lengkap definisi bid’ah menurut Ibnul Jauziy dalam kitab Talbis Iblis:
والبدعة: عبارة عَنْ فعل لم يكن فابتدع والأغلب فِي المبتدعات أنها تصادم الشريعة بالمخالفة وتوجب التعاطي عليها بزيادة أَوْ نقصان
Dan bid’ah adalah sebuah ibarat (ungkapan) tentang perbuatan yang tidak pernah ada (sebelumnya) kemudian diada-adakan. Mayoritas dalam hal-hal yang diada-adakan adalah menabrak syariat dengan menyelisihinya yang mengharuskan perbuatan itu memberikan adanya penambahan atau pengurangan (Talbis Iblis 1/17)
Benarkah keberadaan suatu bid’ah akan menandingi syariat? Ya, benar. Tidaklah seseorang melakukan sesuatu bid’ah kecuali sunnah yang semisalnya akan mati.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
مَا أَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا رُفِعَ مِثْلُهَا مِنَ السُّنَّةِ
Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah, kecuali akan terangkat Sunnah yang semisal dengannya (H.R Ahmad dari Ghudhaif bin al-Haarits, dan Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (baik) dalam Fathul Baari (13/253)).
Sebagai contoh, Nabi shollallahu alaihi wasallam telah memberikan bimbingan dan teladan akan bacaan-bacaan dzikir yang dibaca setelah selesai shalat. Apabila ada seseorang mengadakan bid’ah tentang bacaan dzikir setelah shalat yang tidak ada tuntunannya dari Nabi, ia akan membuat sunnah-sunnah Nabi tadi terabaikan. Karena yang diamalkan adalah dzikir-dzikir bid’ah tadi.
Berbeda halnya dengan penggunaan microphone dan speaker misalkan untuk adzan. Apakah penggunaan microphone dan speaker itu menandingi syariat? Jawabannya tidak. Justru mendukung syariat. Membuat panggilan adzan lebih jauh jangkauannya bisa didengar. Membuat orang-orang yang terpanggil radius jangkauannya lebih jauh, dan membuat orang yang mengumandangkan adzan mendapat keutamaan lebih besar.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصَّفِّ الْمُقَدَّمِ وَالْمُؤَذِّنُ يُغْفَرُ لَهُ مَدَّ صَوْتِهِ وَيُصَدِّقُهُ مَنْ سَمِعَهُ مِنْ رَطْبٍ وَيَابِسٍ وَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ صَلَّى مَعَه
Sesungguhnya Allah dan para MalaikatNya bersholawat kepada shaf terdepan, dan muadzin diampuni sejauh jangkauan suaranya dan akan membenarkannya (menjadi saksi) makhluk yang mendengarnya baik yang basah atau kering, dan ia mendapatkan pahala seperti orang yang sholat bersamanya (H.R anNasaai dan Ahmad, dinyatakan sanadnya hasan oleh al-Mundziri)
Semakin luas jangkauan suara adzan terdengar, maka ampunan untuk muadzin semakin besar dan saksinya di akhirat nanti akan semakin banyak. Belum lagi peluang orang yang datang semakin banyak dan pahalanya pun semakin besar. Hal ini jelas mendukung syariat. Bukan menandinginya.
Sedangkan penjelasan poin ke-3, yaitu: “Tujuan menempuh jalan itu adalah bersungguh-sungguh (berupaya optimal) dalam beribadah kepada Allah”.
Niat menjalankan syariat adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, agar Allah semakin ridha dan cinta kepada kita. Itulah niat yang juga ada pada seorang yang melakukan kebid’ahan.
Sebagaimana ketika seseorang mengada-adakan suatu syair-syair pujian, baik itu pujian untuk Allah maupun pujian untuk Nabi, ketika ia melantunkan syair itu ia menganggap telah menjalankan syariat dan berharap semakin dekat kepada Allah, bisa jadi sebabnya adalah untuk menarik minat orang agar mau ke masjid, dan semisalnya. Ketika ia merasa bahwa orang-orang kurang ketertarikan jika sekedar dibacakan alQuran, maka ia pun membuat-buat kebid’ahan dengan syair-syair yang didendangkan itu. Dia bermaksud dalam melakukan itu adalah bersungguh-sungguh (berupaya optimal) dalam beribadah kepada Allah. Akibatnya syair-syair yang digubah itu karena liriknya menarik dan iramanya indah, kemudian menjadi viral, didendangkan oleh banyak orang di berbagai acara. Karena lafadznya dengan bahasa Arab, tidak banyak yang tahu artinya, tidak peduli apa kandungannya. Tapi orang yang mendendangkannya meniatkan bahwa itu sebagai ibadah, mendekatkan diri kepada Allah. Maka itu termasuk bid’ah, karena ada unsur menandingi syariat dan juga niat menjalankannya adalah untuk optimal dalam beribadah.
Hal tersebut semakna dengan yang disampaikan oleh Sahabat Nabi Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu:
فَيُوشِكُ قَائِلٌ أَنْ يَقُولَ: مَا لِلنَّاسِ لَا يَتَّبِعُونِي وَقَدْ قَرَأْتُ الْقُرْآنَ؟ مَا هُمْ بِمُتَّبِعِيَّ حَتَّى أَبْتَدِعَ لَهُمْ غَيْرَهُ، فَإِيَّاكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ، فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلَالَةٌ
Hampir saja akan ada orang yang berkata: Mengapa manusia tidak mau mengikutiku? Padahal aku sudah membaca alQuran? Mereka tidak mau mengikutiku hingga aku akan buatkan suatu yang baru selainnya. Maka berhati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan (bid’ah). Karena sesungguhnya apa yang diada-adakan (bid’ah) adalah sesat (H.R Abu Dawud)
Atsar Sahabat Nabi Muadz bin Jabal radhiyallahu anhu itu juga disebutkan dalam kitab al I’tishom karya asy-Syathibiy dalam bagian penjelasan poin yang ke-3.
Penutup dan Kesimpulan
Telah disampaikan dalam uraian di atas bagaimana definisi bid’ah menurut asy-Syathibiy. Definisi itu telah diulas dengan penjelasan yang didukung dengan dalil hadits yang shahih. Telah terbukti pula sebagian sisi dari definisi itu sama dengan penjelasan Ulama terdahulu, yaitu Ibnul Jauziy rahimahullah.
Sehingga tidak benar apabila dikatakan bahwa definisi bid’ah menurut asy-Syathibiy itu adalah sesuatu yang mengada-ada dan bertentangan dengan dalil alQuran, hadits, pemahaman para Sahabat Nabi ataupun Ulama Ahlussunnah sebelumnya.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat, taufiq, pertolongan, dan ampunan-Nya kepada segenap kaum muslimin.
Penulis: Abu Utsman Kharisman